Cerpen : Mayat-Mayat Tercinta Karya Nanda Insadani



Nanda Insadani
Pada suatu hari, terdapat seorang pria yang hidup dengan tujuh mayat manusia dalam satu kamar. Mayat-mayat itu berjejer rapi dan terbaring dengan tenang di atas kasur. Tapi tidak semuanya dibaringkan oleh si lelaki. Ada yang duduk bersandar di dinding, ada yang berdiri dengan bantuan semacam penyangga, bahkan ada yang digantung sehingga dapat sewaktu-waktu bergerak memutar tatkala angin menerpa melalui jendela kamar.
Lelaki itu mulai hidup bersama mayat-mayat tersebut sejak lima tahun yang lalu. Pada waktu itu, ia masih bersekolah mengenakan seragam putih abu-abu. Ia kerap dipanggil Damang oleh teman-temannya. Damang merupakan anak yang baik, pendiam, dan tak suka keluar rumah. Malah, ia lebih banyak menghabiskan waktu hidupnya berada di kamar. Menulis, menggambar, mengerjakan tugas sampai tertidur pulas dengan sendirinya.
Damang senantiasa hidup dengan kesendirian dan kesepian yang begitu mengerikan. Itulah sebabnya ia lebih suka berada di kamar. Orang tuanya sangat jarang sekali meluangkan waktu untuknya.
Ayahnya, misalnya, merupakan pebisnis yang memiliki jam terbang yang sangat tinggi. Bangun tidur, ayahnya langsung bergegas pergi mengendarai mobil mewah entah ke mana, lalu kembali pulang setelah waktu larut malam. Rumah, bagi ayah Damang, hanyalah tempat untuk tidur.
Tidak beda jauh dengan ibunya Damang. Si ibu adalah pebisnis juga. Bedanya ialah si ibu merupakan seorang germo termasyhur. Ibunya memiliki sebuah panti yang sangat besar di sudut kota bagi perempuan-perempuan tunasusila. Terkadang, ibunya tak hanya berlaku sebagai germo. Damang kerap mendapati di siang bolong ibunya membawa seorang pria asing atau bahkan pernah dua pria asing sekaligus. Ia mencoba mengintip dari pintu kamarnya sendiri, si ibu seperti mabuk bersama dua orang pria dan mereka masuk ke dalam kamar si ibu. Damang harus merelakan hilang konsentrasinya dalam menulis saat suara desahan ibunya mulai merambat ke segala penjuru rumah.
Tak hanya kedua orang tua, Damang juga memiliki dua orang kakak laki-laki kembar yang juga sangat jarang di rumah. Mereka kerap menghabiskan waktu di luar bersama komplotan geng berandalannya. Kadang pernah pula dua kakak Damang tersebut beserta gengnya mengadakan pesta narkoba bahkan pesta seks bebas saat tahu kedua orangnya ada panggilan bisnis keluar kota untuk beberapa hari. Dunia Damang semakin sempit. Ia semakin mencintai kamarnya dan mencoba untuk terus bahagia di dalamnya.
Karena sadar kehidupan di rumah sangat neraka bagi Damang, ia mencoba membuka diri dengan pergaulan di luar rumah seperti sekolah. Pada akhirnya, usaha Damang untuk memperbaiki suasana hatinya tidak sia-sia.
Untuk pertama kali, Damang memiliki seorang sahabat laki-laki yang bernama Sae. Sae merupakan anak yang baik, sama seperti Damang. Tidak suka aneh-aneh, rendah hati, dan senantiasa membuat beberapa lelucon untuk ditertawakan. Tidak sama seperti Damang, Sae adalah seorang yatim piatu. Bapak ibunya telah lama mati. Ia hanya tinggal berdua dengan adiknya di rumah. Untuk mencukupi kebutuhan ia dan adiknya, Sae mencoba bekerja paruh waktu sebagai pengemis atau kadang pemulung.
Setelah bersahabat untuk beberapa lama, Damang dan Sae mendapatkan sahabat baru. Namanya Hira, murid pindahan dari sekolah negeri bagian timur. Selain ramah dan asyik, Hira juga sangat cantik. Jadi wajar rasanya bila Damang sampai jatuh hati terhadap Hira. Persahabatan mereka selalu berjalan baik dan penuh sukacita. Sampai pada akhirnya, sewaktu Damang berhenti di depan rumah Hira seusai mengantarnya pulang, Damang tak tahan lagi dan ia langsung mengecup Hira.
“Sungguh, aku mencintaimu, Hira. Atau jika ada kata yang lebih tinggi tingkatannya ketimbang cinta. Maka itulah perasaanku terhadapmu.”
Pada mulanya, Hira terkejut dan membelalak, lalu tersipu, tersenyum, dan menjadi dorongan bagi Hira untuk menyatakan kembali perasaannya.
“Aku juga. Bahkan sejak pertama kali mengenalmu.”
Diam-diam, tanpa sepengetahuan Sae, mereka berpacaran.
Hubungan Damang dengan Hira tampak rapi dan tidak memperlihatkan tanda-tanda bahwa mereka tengah berpacaran. Bila sedang berkumpul bertiga bersama Sae, Damang dan Hira mencoba bersikap profesional. Namun, di saat Sae sudah pergi meninggalkan mereka berdua, di situlah aksi mereka berdua dimulai: Damang mengajak Hira main ke rumahnya yang begitu kosong tak berpenghuni. Mereka bermain sepuasnya di dalam. Menonton televisi, tertawa bersama, bercerita pengalaman pribadi, curhat, bermain playstation, karaoke, hingga bercumbu mesra di kamar Damang.
***
Tidak seperti hari-hari biasanya, kali ini Damang hampa tanpa kehadiran seorang sahabat dan pacarnya. Damang tak tahu di mana mereka dan mengapa mereka berdua tak hadir. Perasaan Damang mulai tak enak. Sepulang sekolah ia pergi mengunjungi rumah Sae dan Hira. Namun, tetap tak ada seorang pun yang tahu ke mana Sae dan Hira pergi.
Damang mulai letih, setelah dua jam berkeliling kota mencari dua manusia yang sangat berarti bagi hidupnya. Dengan wajah penuh muram, Damang pulang. Setengah kesadarannya terasa pecah berhamburan saat mendapati Sae dan Hira dalam keadaan tanpa busana di kamarnya. Dari situlah, langkah awal kegiatan pengumpulan tujuh mayat Damang dimulai.
Mayat 1: Sae
Mayat pertama yang berhasil didapatkan oleh Damang ialah sahabat karibnya sendiri: Sae. Beberapa detik setelah tertangkap basah oleh Damang tengah berbuat kotor bersama Hira, Kepala Sae buru-buru dihantam pukulan keras oleh Damang. Tanpa berkata-kata lagi, Damang langsung membuang Sae keluar kamarnya. Alih-alih meminta maaf dan merasa menyesal, Sae malah berusaha menyerang balik Damang. Pemuda tanpa sehelai benang itu pun mencoba menerkam Damang. Mereka berdua bergelut sampai berguling-guling di lantai. Dinding dan lantai rumah Damang menjadi penuh cipratan darah. Wajah mereka berdua lebam dan hancur penuh luka yang meneteskan darah.
Damang tetap tak mau kalah. Ia tak kehabisan akal. Ia bergegas menuju dapur dan melemparkan pisau tepat ke arah mata kiri Sae. Sae pun menjerit kesakitan. Damang langsung berlari ke arah Sae dan mencabut pisau itu dari matanya agar dapat ditancapkan ke perut Sae. Puluhan tusukan yang sangat cepat dan gila pun mendarat di tubuh Sae. Damang berlaku seperti monster.
Dalam sekejap kamar Damang banjir darah. Sae pun meregang nyawa dengan keadaan sangat hina dan mengenaskan: telanjang penuh sobekan dan darah.
Mayat 2: Hira
Selanjutnya adalah pacar Damang dan  kawan main belakang Sae, yakni Hira. Tak seperti Sae, Hira tampak begitu menyesali perbuatannya. Ia menangis penuh ketakutan. Sedari tadi ia hanya bisa menyaksikan aksi brutal Damang dengan gemetaran sembari menutupi tubuhnya dengan seprai yang juga penuh bercak darah.
Sama seperti tadi, Damang masih enggan bersuara. Perlahan ia mendekati Hira dengan pisau bekas menghabisi Sae tadi di tangan kanannya.
“Aku mohon, Damang. Jangan bunuh aku. Maafkanlah aku. Aku menyesali semuanya. Jika kau membiarkanku tetap hidup, maka aku janji akan melakukan apa saja demi kepentingan dan kesenanganmu. Yang penting adalah, jangan bunuh aku!”
Damang tertawa kejam.
“Bagaimana bila kesenanganku adalah melihat mayatmu yang penuh darah dengan wajah penuh derita menindih mayat si bangsat itu?”
Hira tewas, setelah lehernya digorok oleh Damang. Dua mayat berhasil dikumpulkan.
Mayat 3: Ibu
Keadaan di kamarnya berubah drastis. Yang semula damai dan penuh ketenangan, kini telah menjadi sangat mengerikan dan mencekam. Pelan-pelan ia membereskan mayat Sae dan Hira. Diambilnya kain yang telah dibasahi dan mengusapkannya ke sekujur tubuh mereka. Damang membersihkannya.
Beberapa menit kemudian, terdengar pintu rumah terbuka pertanda ibu Damang telah pulang. Tentu saja, ibu Damang melintas di depan kamar Damang dan ia melihat begitu banyak cipratan darah dan segalanya tampak menjadi bekas pertempuran.
“Damang? Apa yang telah terjadi?”
Pintu kamar Damang dibuka secara perlahan oleh Damang sendiri. Wajahnya muncul di balik kegelapan.
“Kenapa Ibu mau tahu terhadap bekas darah yang baru saja ada? Kenapa Ibu tak peduli terhadap seonggok daging yang kini telah menjelma menjadi seorang lelaki kuat yang telah hidup tujuh belas tahun di rumah ini?”
“Damang? Kenapa...”
Sejurus kemudian, seisi rumah dikejutkan dengan lengkingan seseorang yang seperti ditikam secara mendadak. Itu suara ibu Damang yang dadanya ditusuk oleh anaknya sendiri. Ia menjadi mayat yang ketiga.
Mayat 4 & 5: Kakak Kembar
Kedua kakak Damang pulang dengan tampang resah dan gelisah. Mereka mencari-cari ibunya. Sepertinya mereka butuh uang sebab hutang mereka dalam perjudian sudah sangat banyak.
“Oi, Damang!”
“Apakah kau tahu di mana Ibu berada?”
Tidak ada jawaban. Hening. Sunyi. Begitu pula dengan kematian mereka: dua bilah pisau dapur yang dilengkapi dengan semacam pemberat jatuh tepat di atas kepala mereka dan membelahnya menjadi dua bagian setelah kaki mereka tak sengaja menyentuh sebuah benang yang sangat transparan. Tetap sunyi. Dan mereka pun mati. Damang memang berniat menghabisi seluruh anggota keluarganya dan orang-orang terdekatnya. Lima mayat sudah berhasil dikumpulkan. Ia tinggal menanti kehadiran ayahnya.
Mayat 6: Ayah
Damang harus rela menunggu sampai lima hari untuk kedatangan ayahnya. Ia sudah menyiapkan sebuah jebakan yang sekiranya sangat ampuh dan ciamik sebagai pencabut nyawa ayahnya.
Maka pulanglah ayah Damang dalam keadaan begitu basah karena keringat. Ia tampak kusam dan muram. Damang mengawasi dari balik sofa. Dilihatnya ayahnya itu melangkah menuju kamar dan keluar dengan tali tambang di genggamannya. Ayah Damang tak mengeluarkan sepatah kata pun. Entah apa yang terjadi padanya. Namun, dapat dipastikan, ia tengah mengalami nasib buruk di luar sana.
Tak kalah sunyinya dengan kematian kedua kakaknya, kematian ayah Damang malah terasa begitu mencekam. Dalam beberapa menit saja jasadnya sudah berputar-putar di bawah langit-langit yang kelamaan tampak kelabu. Lidahnya menjulur ke bawah dan matanya setengah terbuka.
Damang tahu apa langkah selanjutnya. Sudah pasti ia juga harus membereskan mayat ayahnya dan mengumpulkannya menjadi satu di kamar bersama lima mayat lainnya.
Mayat 7: ?
Cerita kembali ke cuplikan awal, di mana Damang tengah menulis beberapa kata dengan sebuah spidol di dinding kamarnya. Enam mayat tampak tenteram: mayat Sae dan Hira tengah terbaring berdua di atas kasur; mayat ibu Damang yang senantiasa berdiri menghadap Damang; mayat kedua kakaknya yang tengah bersandar dan saling bertatapan; mayat si ayah yang bertindak seolah hiasan kamar dan terus tergantung berputar-putar; sisanya satu mayat yang tak dikenal dalam keadaan telungkup dengan punggung tanpa kulit.
“Kau tahu, aku sangat kesepian. Selalu kesepian. Tak punya sesiapa, selain kalian. Itulah mengapa aku selalu tersenyum di kamar ini. Sebab, senantiasa berada di dekat orang-orang yang kusayangi merupakan impian terbesarku!”
Mayat ketujuh, yang belum kita ketahui siapa dia sampai sejauh ini, ternyata masih hidup! Ia bergerak, menolehkan kepalanya ke arah Damang. Tersenyum.
Tiba-tiba Damang mengayunkan sebuah pisau jagal dua kali ke kaki si mayat ketujuh. Putus. Damang pun berujar, "teruslah bercerita. Tetaplah menceritakan kisah-kisah yang sekiranya dapat menghiburku dari kesepian ini. Tapi kau tak perlu pergi ke mana-mana. Di sini saja.”
Damang tersenyum puas. Mayat itu adalah saya sendiri, selaku pencerita. Bagaimana bisa saya berada di sini dan menjadi korban si Damang? Entah. (*)

Tentang Penulis:
Nanda Insadani, bukan siapa-siapa. Gemar membaca dan berpikir. Karyanya banyak dimuat di beberapa buku antologi bersama dan berbagai media. Kumpulan cerpennya: In-love-nia (bersama Ulfah M. Khoi) (Jejak, 2018).
Cerpen : Mayat-Mayat Tercinta Karya Nanda Insadani Cerpen : Mayat-Mayat Tercinta Karya Nanda Insadani Reviewed by Redaksi on Desember 09, 2018 Rating: 5

1 komentar