Stop! Ngapain Banyak Baca?

pixabay

Siapapun anda boleh tidak suka dengan tulisan ini, akan tetapi jangan menyerah untuk melampiaskan kebenciannya dengan membaca sampai tulisan ini mengakhiri puncak kebencian itu. Lebih-lebih para pembaca yang sudah mengklaim dirinya sebagai kutu buku, baik yang keranjingan membeli buku sampai tidak punya bekal pulang ke sangkar peraduannya, atau mereka yang senang mengoleksi buku-buku temannya sampai akhirnya pura-pura lupa mengembalikannya, atau juga diantara kita yang suka memamerkan review buku setiap minggu bahkan setiap hari, mungkin juga kita yang suka memajang bukunya sampai berrak-rak menjadi sarang laba-laba hanya untuk dipamerkan ke tetangga.
Tulisan ini berawal dari sebuah teguran seorang senior peneliti muda LIPI di Jakarta melalui tulisannya di media sosial. Dia menyapaku seperti ini:
“Kamu ingat seorang novelis Amerika yang bukunya aku beli dari sana sebagai oleh-oleh dan hadiah untukmu? Apa komentar dia tentang membaca?”
“O ya, Lioyd Chudley Alexander (1924—2007) pernah bilang, keep reading. It’s one of the most marvelous adventures that anyone can have.” Beruntung aku masih ingat tentang itu, kalau tidak dia enggan lagi menghadiahi buku untukku. Bagi L.C Alexander, membaca adalah salah satu petualangan paling menakjubkan yang siapapun dapat melakukannya. 
Awal aku beranggapan bahwa senior itu ingin mengingatkanku agar selalu berpetualangan di dunia mantra-mantra intelektual seorang penulis, seperti yang diucapkan oleh Alexander tadi. Nyatanya tidak, berbeda dengannya, makna membaca bukan hanya itu. Membaca adalah soal apa yang kamu masukkan ke dalam kepala. Kalau yang kamu masukkan adalah sampah, kepalamu akan berisi sampah. Sebaliknya, kalau yang kamu baca adalah bacaan-bacaan yang berkualitas, isi kepalamu adalah emas.
Lantas bagaimana cara mengetahui seseorang bacaannya berkualitas atau tidak? Mudah sekali, kita tak perlu datang ke rumahnya hanya untuk menyaksikan berrak-rak buku yang terpajang. Tak perlu. Orang yang tak suka membaca pun bisa melakukannya.
Orang yang punya perpustakaan pribadi atau orang yang belanja buku sampai tak menyisakan uang nafkah untuk istrinya, atau mungkin juga tak sempat ngajak kencan pacarnya hanya karena uang habis untuk membeli buku, ya sebanyak apapun koleksi bukunya belum tentu dia adalah kutu buku. Bisa jadi dia hanya kolektor. Sebab dia menganggap buku tak lebih seperti pot bunga.
Untuk mengetahui apakah seseorang adalah pembaca yang baik, cukup menikmati kopi sambil dengar apa yang dia sampaikan. Kedua baca apa yang dia tulis.
Kata seniorku di lain waktu, kalau seseorang bisanya mencaci orang lain, berarti kepalanya hanya berisi kebencian dan kedengkian.
Diantara kita—aku mungkin termasuk juga di dalamnya—banyak manusia-manusia pembaca yang hanya sekadar menjadi penghafal kata-kata yang menurutnya keren, yang sewaktu-waktu dia lontarkan ke teman-temannya. Padahal dia tidak paham subtansi serta analisis konteks kata-kata itu arahnya ke mana dan seperti apa.
Menurutku lagi, sebagai seorang pembaca harusnya sudah bisa menulis dengan baik. Apalagi bukan hanya sekadar menunjukkan kebanggaannya lantaran banyak buku yang sudah ia beli dan ia baca. Barangkali aku dan teman-teman sering kali salah ketik, salah membedakan kata kerja, kata keterangan, kata benda, kata tempat, kapan kata “di” dipisah dan kapan disambung, kapan huruf kapital dapat kita gunakan, sesederhana itu kesalahan kita satu atau dua kali dapat dimaklumi, tapi yang sering terjadi berkali-kali. Ditambah lagi dengan angkuhnya tidak mau dikoreksi oleh temannya, parahnya ia malah merajuk. Saranku, lebih baik jual lagi buku-buku yang dibelinya.
Dalam tulisan ini, dapat aku simpulkan tanpa kesepakatan, lebih baik stop membaca kalau tidak menunjukkan perubahan. Stop membaca kalau tidak menerima kritik dan saran. Stop membaca, kalau itu membuat jurang pemisah antara kita—yang banyak bukunya—dan sahabat kita yang tak pernah kelihatan membeli buku. Stop membaca, kalau memaknai literasi hanya sebatas teks dan buku. Harapanku, semoga kita semua para pembaca menempatkan buku tidak sekadar barang hiasan hasil koleksi murahan.
Terakhir dari rangkaian tulisan ini, aku akan menyampaikan dan mengingatnya, bahwa sebuah kalimat yang terlontar dari mulut seseorang adalah sebuah kritik terhadap mulut itu sendiri. Termasuk aku!

Biodata Penulis
Fata Sang Pujangga. Pengamat para pembaca yang masih jomblo.

Stop! Ngapain Banyak Baca? Stop! Ngapain Banyak Baca? Reviewed by takanta on Juni 26, 2019 Rating: 5

1 komentar