Cerpen: Kota Air Mata




 Oleh: Alif Febriyantoro

“Menangislah, Naila! Sebab air mata itu menyembuhkan,” ucap seorang pemulung kepada anak gadisnya, di sebuah terminal yang lengang, di sebuah trotoar jalan yang retak. Pada siang yang teriknya menembus kepala, mereka berteduh di bawah pohon Angsana.
“Menangislah, tidak apa-apa.”
“Ayah sudah janji!”
Laki-laki itu hanya diam. Dan setelah hampir 30 menit gadis kecil itu dibiarkan menangis, tiba-tiba saja ia berkata kepada ayahnya:
“Menangis itu melelahkan, Yah. Bukan menyembuhkan!”
Mendengar penjelasan anak gadisnya, laki-laki itu kemudian tertawa. “Sini duduk di pangkuan Ayah.”
Dengan girang gadis itu pun meloncat ke pangkuan ayahnya.
“Ini es krim untukmu,” tegas laki-laki itu sambil membasuh air mata anak gadisnya dengan tangannya, “tapi sepertinya es krimnya sudah mencair.”
“Tidak apa-apa, Ayah. Naila suka!”
Sementara di pipi gadis kecil itu terlihat debu-debu menempel, bersama bekas air matanya.
***
Ini adalah cerita tentang kota Goosamp, sebuah kota terpencil di sisi timur Pulau Jawa. Ini adalah cerita tentang air mata. Ini juga cerita tentang rasa kemanusiaan, dari segala keanehannya.
Di kota ini, air mata tidak dibasuh dengan tisu. Melainkan dengan tangan orang yang kita sayang. Di kota ini, tak ada pabrik yang memproduksi tisu. Pemerintah melarang tegas. Alasannya, pemerintah ingin masyarakat mengedepankan rasa kemanusiaan daripada rasa kebendaan.
“Tidak apa-apa kota kita menjadi kota yang miskin. Yang terpenting adalah kita semua kaya dengan rasa kemanusiaan,” tutur Pak Bupati yang sudah menjabat selama 2 periode pada media lokal yang sedang mewawancarainya.
Yang terpenting lagi adalah, terbukti bahwa tingkat kejahatan telah menurun,” tegas Kapolres di sebelahnya.
“Benar. Karena kebersamaan akan mengalahkan keresahan,” sambung seorang Budayawan.
Alhamdulillah…,” ucap Pak Kiai berkali-kali.
Selama dua tahun menjabat sebagai Bupati, kota ini terlihat baik-baik saja dengan rasa kemanusiaan. Masyarakat terlihat makmur. Mereka semua serba melengkapi, saling berbagi. Kota ini pun bersih dari yang namanya Kapitalis Sipit. Bahkan sudah banyak investor asing yang ingin masuk, namun pemerintah menolak mereka mentah-mentah.
Sebenarnya, kalau boleh jujur, ini adalah cerita yang miris sekali. Saya, sebagai penulis cerita, hanya bisa menggambarkan sebagian dari keadaan di kota ini yang terlihat baik-baik saja; seorang pengemis terlihat gembira, seorang petani masih tersenyum walau sebenarnya tak ada yang bisa dipanen, seorang nelayan pergi ke tengah laut, kemudian ia kembali menepi dengan keadaan tertawa walau tak mendapatkan hasil tangkapan. Ini adalah kota yang miskin, tapi kenapa masyarakat hidup dengan bahagia?
Karena pemerintah melarang saya untuk mengubah alur cerita, maka saya putuskan untuk menulis cerita tentang hal lain.
***
“Menangislah, Naila! Sebab air mata itu menyembuhkan.”
Hanya kalimat itu yang saya pikirkan saat ini. Sebuah kalimat yang disampaikan seorang ayah kepada anak gadisnya yang terus-menerus menangis karena janji ayahnya yang akan membelikannya sebatang es krim.
Ternyata laki-laki itu sudah menyimpan sebatang es krim di balik punggungnya. Hanya saja laki-laki itu menahannya untuk mengejutkan anak gadisnya itu. Dan pada saat itulah saya benar-benar melihat kebahagiaan yang murni.
Sementara di luar terminal, jalanan tampak ramai. Ada semacam karnaval. Hari ini, tanggal 15 Agustus 2019, kota ini merayakan hari jadinya. Di alun-alun kota, berbagai macam lomba diselenggarakan. Ramai sekali.
“Ayah, kenapa kota kita jadi rame begini? Ke sana yuk.”
“Itu tidak penting, Naila.”
“Kenapa seperti itu?”
“Kalaupun kita ikut berkumpul di sana, kamu tidak akan dapat es krim.”
“Naila tidak mengerti apa maksud Ayah.”
“Maksud Ayah, mending kamu di sini saja. Habisin es krimmu itu.”
“Oh....”
Melihat dan mendengar langsung percakapan mereka, saya jadi tersenyum. Menyaksikan keakraban mereka, sungguh gemas sekali.
Kemudian gadis kecil itu berdiri.
“Kota kita ulang tahun ya, Yah?”
“Lho kamu tahu dari mana?”
“Itu ada orang-orang yang membawa kue ulang tahun, besar banget.”
Laki-laki itu tersenyum. Saya juga tersenyum.
“Memangnya, ulang tahun itu harus dirayakan ya, Yah?” gadis kecil itu bertanya lagi.
Tiba-tiba wajah laki-laki itu menjadi murung. Seperti sedang memikirkan sesuatu yang cukup berat. Saya rasa laki-laki itu akan mengalihkan topik pembicaraan.
Namun ternyata laki-laki itu hanya diam. Dan anak gadisnya itu tak banyak melakukan sesuatu. Ia hanya duduk di sebelah ayahnya. Tangannya yang mungil meraih sesuatu dari dalam karung yang ada di sampingnya. Ia mengambil sebuah buku gambar dan sebuah pensil. Dan ia terlihat sedang menggambar sesuatu.
“Ayah bisa gambar wajah Ibu?”
Deg! Ada sesuatu yang membuat dada saya tersentak. Saat itu juga, saya melihat mata laki-laki itu berlinang.
“Tidak perlu digambar, Naila. Coba kamu ambil pecahan kaca di karung.”
Anak gadis itu menuruti apa yang dikatakan ayahnya.
“Ini, Yah.”
“Terus buat apa?” lanjut gadis itu dengan sepasang mata yang penuh dengan tanda tanya.
“Lho, kamu pegang sendiri. Lalu kamu lihat wajahmu sendiri. Dan kamu akan menemukan wajah ibumu di sana.”
Deg! Untuk kedua kalinya dada saya tersentak. Sedangkan di sepasang mata tua laki-laki itu mengalir air mata. Ia kemudian memeluk anak gadisnya itu. Air matanya mengalir ke pipi, lantas jatuh satu demi satu membasahi rambut anak gadisnya.
Gadis kecil itu menoleh ke atas, ke wajah ayahnya. “Ayah menangis?”
“Tidak, Naila. Ini keringat. Udara siang ini panas sekali.”
“Ayah bohong. Itu mata Ayah merah.”
“Hmm... Ayah ngantuk, Naila.”
Cukup lama mereka berpelukan. Memang, tak ada pemandangan lain yang bisa saya lihat selain keberadaan mereka. Terminal ini sungguh sepi. Semua orang sibuk merayakan hari jadi kota Goosamp. Sementara saya masih berada di sebuah warung. Kopi saya sudah habis. Dan saya tak tahu harus membayar kepada siapa. Karena sejak tadi saya juga tak sadar ke mana pemilik warung ini pergi.
Sampai di sini saya berharap ada hal lain yang dapat saya lihat. Tentang kota ini. Tentang kota yang mempercayai rasa kemanusiaan yang aneh. Karena ketika saya melihat ayah dan anak gadisnya itu, saya percaya bahwa di kota ini masih banyak menyimpan kesedihan-kesedihan lain. Memang tak bisa diterima akal, jika benar kota ini adalah kota yang miskin, kenapa masyarakat masih terlihat bahagia? Atau pura-pura bahagia?
Dan saya rasa jika pemerintah terus percaya dengan rasa kemanusiaan, lambat laun kota ini akan penuh dengan air mata.
“Ayah, Naila lapar.”
“Ayah....” Gadis kecil itu menarik-narik lengan baju ayahnya.
“Ayah tidur ya?”
Laki-laki itu terpejam. Di sela-sela matanya, masih terlihat dengan jelas bekas air matanya. Sementara anak gadisnya itu masih berusaha membangunkan ayahnya. Namun tetap tak ada jawaban.
Sebenarnya masih banyak yang ingin saya ceritakan. Tetapi entah kenapa pada titik ini,  saya tak bisa melanjutkannya lagi. (*)
Situbondo, 16 Agustus 2019
Alif Febriyantoro, lahir di Situbondo. Masih suka melamun.
Cerpen: Kota Air Mata Cerpen: Kota Air Mata Reviewed by takanta on Agustus 17, 2019 Rating: 5

2 komentar