Dik, Mengapa Kau Tak Mau Menemaniku ke Kampung Langai Malam Itu?



Oleh: Rahman Kamal*
Dik, entah kenapa kamu tiba tiba menolak ajakanku pergi ke Kampung Langai malam itu. Dengan berat hati akupun melangkahkan kaki. Perlahan tapi pasti, aku tetap meninggalkan jejak. Menyimpan harap engkau datang menyusul sehabis menemukan jejak perjalananku menuju Langai malam itu.
Dik, Langai begitu dingin malam itu. Andai kau tahu betapa dinginnya suasana malam itu, masih ditambah dinginnya hati yang tak diisi hadirmu. Lampu-lampu mulai hidup satu persatu. Cahaya mulai menyeruak menyinari Festival Kampung Langai ke-6 malam itu.
Candaan Pak Ti, timpalan Pak Tapu, suara-sara merdu, serta lantunan tembang-tembang merdu membuat malam itu tidak lagi terasa dingin, Dik. Walau dalam hati terdalam, sebenarnya hati ini masih beku. 
Benar memang, dibuang sayang, perasaan ini tumbuh liar tak terkendali. Kubegitu berharap dirimu ada di situ malam itu. Tepat duduk di sampingku, turut larut dalam emosi serta rasa yang tersampaikan secara sederhana. Cukup sederhana. Melalui lantunan musik rasa serta emosi tersampaikan sedemikian rupa.
Dik, andai kau mau menemaniku malam itu, aku akan mengajakmu duduk paling depan. Memberikan jaketku saat kau mulai merasa kedinginan, menawarkanmu secangkir kopi saat kantuk mulai merenggut antusiasmu. Tapi semua itu adalah angan, mimpi, khayalan
Tapi aku sadar, aku baru saja mengenalmu, Dik. Mana mungkin kamu begitu mudahnya menambatkan percaya kepadaku. Begitu bodohnya diriku yang menumbuhkan pengharapan berlebih saat memintamu menemaniku menonton Festival Kampung Langai#6 malam itu.
Aku juga sadar, betapa bodohnya aku. Betapa mudahnya rasa ini tumbuh dalam hatiku, padahal baru kemarin lusa diriku berpisah dengan kenangan yang telah menemaniku sejak lama.
Dik, hadirmu memberi warna, hadirmu begitu berarti, itulah alasan jatuhnya hatiku begitu cepat padamu, Dik. Sebagai manusia, sepatutnya kita memang tidak terlalu berharap, agar semenanya kita tidak terjatuh dalam keputus asaan karena harapan yang terlambung begitu tinggi, hingga diri kita sendiri juga tak pernah mampu menggapainya.
Dik, jika kau membaca tulisan ini, aku hanya ingin mengabadikan kenangan. Selayaknya Sukab yang dengan begitu gagahnya membungkus sebuah senja dan menyelipkannya dalam amplop untuk Alina tercintanya.
Sama sepertiku, aku juga ingin menyimpan sedikit potongan kisah di Kampung Langai untukmu, Dik. Untuk kita, untuk dinikmati bersama saat engkau sudah membuka hatimu padaku suatu hari nanti. Satu hari di antara hari-hari yang entah tak tahu kapan datangnya. Atau bahkan tak akan pernah datang sama sekali. Maka lebih bijak jikala kupasrahkan hari itu menjadi misteri ilahi saja.
Dik, jika kau juga turut hadir malam itu. Aku yakin akan banyak hal yang bisa kita bahas berhari-hari setelahnya, berbulan-bulanm atau mungkin tak kunjung usai pembahasan tentang acara malam itu. Tapi Dik, itu hanya mimpi, karena kamu tidak bisa menemaniku malam itu.
Sepertinya aku harus rela memenuhi kolom chat media sosialku berisi dengan pesan-pesan tak jelas serta hal-hal absurd lainnya demi tidak mengakhiri percakapan kita, walau hanya maya, walau tidak bersua muka, setidaknya tulisanku pernah berbalas mesra dengan tulisanmu. Walau hanya diwakili oleh 2 centang biru dari aplikasi pesan instan.
Dik, malam itu Langai begitu meriah. Banyak keindahan, kebahagiaan, serta suka cita. Akupun turut merasa bahagia turut bisa hadir di Festival Kampung Langai#6 malam itu. Walau dalam hati ini masih sedikit menolak, masih sedikit sakit, masih sedikit ingin mengajakmu kembali ke Langai. Walau acara telah usai, tapi setidaknya aku dapat menunjukkan padamu kalau di langai pernah ada keajaiban.
Sebuah kejaiban rasa, rasa yang mungkin hanya tumbuh sebelah pihak. Rasa yang mungkin hanya tumbuh dalam hatiku.
Dik, jika tulisan ini sempat kau baca sampai akhir, jika kemudian kamu ingin mengenang semuanya. Aku sudah menyimpang sepotong kenangan dari Kampung Langai. Sepotong kisah yang sudah kusimpan sedemikian rupa, sepotong harapan yang hanya akan kubuka dan kunikmati bersamamu suatu saat nanti.
Dik, kalau kau ingin tahu potongan yang kusimpan itu, tahu kan harus japri siapa?
___________________
*) Penulis merupakan blogger dan fotografer yang banyak memotret air mata.


Dik, Mengapa Kau Tak Mau Menemaniku ke Kampung Langai Malam Itu? Dik, Mengapa Kau Tak Mau Menemaniku ke Kampung Langai Malam Itu? Reviewed by takanta on September 02, 2019 Rating: 5

4 komentar

  1. Air mata adalah kenangan yang patut untuk diabadikan agar tidak kunjung lekang oleh kenangan lain yang muncul kemudian

    BalasHapus
  2. Salam Kenal dari blogger situbondo

    BalasHapus