Cerpen: Kunang-kunang di Atas Perahu



Oleh: Rahman

–Teruntuk Kawanku–

“Adin, bangun nak! Sudah subuh,suara halus Ibunya membangunkan Adin yang sedang terlelap dalam mimpi Indah.

Dalam mimpinya, Ia sedang berlayar menelusuri lautan ganas penuh dengan ombak besar dengan begitu gagah. Tidak jauh berbeda dengan Columbus sang pelaut terkenal, mirip seperti Luffy sang bajak laut bertopi jerami.

Sedikit malas, Adin perlahan mulai bangun dari keseruan petualangannya. Suara halus dan sentuhan lembut sang Ibu yang berusaha membangunkan Adin jauh lebih menarik daripada perjalanan gagah ala Columbus yang dimimpikannya.

Adin yang sadar kemudian segera beranjak menuju kamar mandi. Mengambil wudu dan menunaikan ibadah salat Subuh.

Usai menuntaskan sebuah doa yang tidak terlalu panjang, juga tidak terlalu pendek. Adin kemudian membuka jendela rumah satu persatu. Bersapalah Dia dengan embun hangat pohon mangga samping rumah. Pohon mangga yang tidak tinggi namun selalu siap sedia menyediakan buah mangganya bagi Adin dan keluarga kecilnya.

Dikala Adin mulai bosan dengan masakan ikan laut yang hampir setiap hari dimasak Ibunya. Pohon mangga samping rumah tersebut menjadi penolong. Buah mudanya dipetik oleh Ibu kemudian dijadikan sambal mangga menemani pempek sayur masakan sang Ibu.

"Hari ini menunya pempek sayur dan tahu tempe. Bapak belum bisa kerja karena ombak sedang besar, Nak," jelas singkat Ibunya merujuk kepada bapak yang tidak melaut karena cuaca buruk dan ombak besar yang masih memenuhi pesisir laut Situbondo. Kota kecil Adin dan keluarga tinggal.

Sarapan selesai. Adin segera bersiap. Sang Ibu menyalakan motor dan menghangatkannya. Nana. Begitulah mereka menyebut motor satu-satunya di keluarga tersebut.

Adin yang sedang bersiap bergegas menuju depan rumah. Klakson nyaring Nana yang Ibunya bunyikan adalah kode keras bagi Adin untuk segera berangkat Sekolah.

Setelah salim kepada Bapak yang menyapu rumah, Mereka berdua kemudian berangkat menuju sekolah.

**

"Adinata Dirgantara." Sebut Ibu guru yang sedang mengisi absen kelas.

“Hadir, Bu.” Adin dengan sigap merespon panggilan absensi sang guru.

Ibu guru di depan kelas kemudian menyelesaikan absensi dan meminta para murid untuk membuka buku dan mempersiapkan pekerjaan rumah yang diberikan pekan lalu.

“Ada yang ingin maju terlebih dahulu dan presentasi di depan?” Tanya Ibu guru dengan nada menggoda seperti Santa yang ingin memberikan permen kepada anak-anak di malam natal.

Adin yang melihat pertanyaan Ibu Guru sebagai sebuah tantangan untuk dirinya yang begitu gagah tak kalah gagah dengan pelaut hebat Columbus dengan yakin mengacungkan tangan.

“Adin, Bu.” Ucap Adin dengan tegas dan lantang.

“Baik, Adin bisa maju ke depan dan langsung presentasi.” Ibu guru mempersilahkan.

**

Bapak adalah nelayan, seorang nelayan yang hebat. Nelayan yang sudah melewati banyak ombak yang ganas. Bapak juga nelayan yang suka bercerita. Bercerita tentang laut dan begitu banyak keindahannya.

Setiap pulang dari laut, bapak selalu bercerita kepada Adin. Tentang indahnya lautan luas dan begitu kayanya lautan.

Sempat, bapak pulang tanpa membawa ikan. Pagi itu, Bapak hanya pulang dengan sekantong plastik saja. Dalam kantong itu, tampak seekor Nemo yang hanya bisa kulihat dalam film-film kartun.

“Bapak tidak dapat ikan, hanya seekor Nemo ini yang nyangkut di jaring bapak hari ini,” jelas bapak kepada Adin.

Adin cuma bisa mengangguk, tidak kecewa namun antusias dengan Nemo yang dibawa bapak dalam sekantong plastik.

“Adin bersihkan toples kaca ya! Nanti Nemo taruh di sana,” perintah Bapak. Adin antusias dan segera membersihkan toples yang dimaksud.

“Hati-hati, awas pecah,” Bapaknya kembali mengingatkan.

Usai mengenalkan Nemo kecil dengan habitat barunya dalam toples kaca. Adin segera mendekat kepada Bapak yang sudah beberes dan berganti pakaian usai datang melaut. Bapak juga sudah siap duduk di ruang tamu, dengan sebungkus tembakau tambeng yang siap dia linting. Menjadi teman cerita panjang Bapak dan Adin.

“Perjalanan hari ini berat, Din! Ombaknya besar, ikannya pada takut. Bapak sampai heran, kenapa bisa Nemo kecil ini malah nyangkut di jaring bapak,” mulai Bapak bercerita.

Adin hanya menyimak. Terdiam terkesima dengan pembawaan bapaknya yang gagah dan lantang. Begitu berwibawa selayaknya pelaut ulung yang sudah melintasi 7 lautan.

“Curiga bapak, si Nemo kecil itu nyasar. Di tengah jalan, dia terpisah dengan bapak Ibunya dan akhirnya nyangkut di jaring bapak,” lanjut Bapaknya bercerita. Mata Adin semakin berbinar.

“Sementara, si Nemo kamu rawat ya, Din. Nanti kalau cuaca sudah baik, bapak bawa si Nemo jalan-jalan. Kalau bertemu dengan bapak Ibunya nanti bapak lepas tidak apa ya?” bapaknya bertanya.

Adin hanya mengangguk setuju. Bapaknya lantas mengelus kepala Adin dan berkata. “Anak pintar. Bapak pasti besarkan kamu jadi anak hebat. Tidak hanya mengarungi lautan, namun juga jadi penguasa daratan nanti!” Bapaknya kemudian tertawa bersama Adin yang senyum cengengesan.

**

“Adin ingin jadi seperti bapak. Jadi pelaut hebat yang begitu bangga dengan pekerjaannya!” ucap Adin lantang di depan kelas. Menjelaskan tugas dari Ibu Guru untuk menceritakan pekerjaan orang tua dan mimpi seluruh murid yang ada di kelas.

Seisi kelas bertepuk tangan. Kagum dengan pembawaan Adin yang mempesona di depan kelas.

**

“Bangun,” Suara halus Ibunya berusaha membangunkan Adin. “Ayuk, jemput bapak!” ucap Ibunya kepada Adin yang segera bangun dan cuci muka. Bersiap menuju dermaga menjemput Bapak pulang dari lautan.

Cuaca dini hari itu begitu dingin. Hujan semalam suntuk yang mengguyur rasanya membuat tidur kembali jauh lebih nyaman daripada bangun. Belum lagi mimpi indah Adin cukup seru untuk dilewatkan.

Kali ini, dia sedang berlayar di tengah lautan. Di tengah guyuran hujan yang deras dan ombak besar nan ganas yang menggoyang kapalnya. Tapi, Adin tidak takut. Nahkoda kapalnya kali ini adalah Columbus. Rambut putihnya begitu jelas dan gagah. Pemegang kendali dan orang kepercayaan yang ada di sampingnya juga sangat bisa diandalkan. Sang Bapak berdiri di sampingnya, memberikan senyum mengisyaratkan perjalanan mereka baik-baik saja.

“Perjalanan ini pasti seru! Ada dua orang hebat di atas kapal ini,” teriak Adin meski tidak terdengar karena hujan yang terus mengguyur. Belum juga suara tabrakan ombak dengan lambung kapal.

Ombak makin ganas karena hujan yang tak kunjung reda tapi makin menjadi. Semua awak kapal mulai panik karena kapal yang sedikit oleng.

“Semuanya pegangan!” Bapak Adik berteriak menyadarkan seluruh awak kapal.

Adin begitu terkesima.

“Kita berlayar kesana, keluar dari badai ini,” ucap Columbus sang kapten kapal kepada Bapaknya Adin.

 

Perlahan mereka mulai keluar dari zona badai bersamaan dengan Adin yang kemudian bangun dari mimpinya. Petualangan seru itu harus berakhir karena elusan hangat tangan ibunya jauh lebih kuat dan ampuh membangunkan Adin dari petualangan mimpinya. Segera ia beranjak dan mencuci muka di kamar mandi.

“Jangan lama-lama, nanti ndak sempat salat Subuh,” ingat Ibunya kepada Adin yang sedikit lama dari biasanya mencuci muka di kamar mandi.

Mereka harus menjemput bapak di dermaga pagi-pagi sebelum subuh. Setelah itu mampir sejenak ke pasar dan kemudian pulang bertiga ke rumah. Begitulah rutinitas keluarga kecil Adin.

Saat semuanya sudah siap, Ibu segera mengeluarkan sepeda motor Astrea Grand yang benar-benar dirawat baik oleh keluarga kecil tersebut. Ia panaskan mesin motor antik itu dan segera memanggil Adin untuk berangkat menuju dermaga.

Pelan-pelan Ibu mengendarai motor, takut membangkunkan tetangga sepanjang jalan. Sesekali juga mereka bertukar sapa dengan beberapa orang yang sudah terbangun dan bersiap untuk bekerja pagi-pagi buta. Sepanjang jalan, Adin banyak bercerita tentang keseruan sekolahnya.

“Ibu, kemarin Adin dapat banyak tepuk tangan dari teman sekelas. Cerita Adin luar biasa katanya Ibu guru dan teman-teman,” cerita Adin dari jok belakang Astrea putih itu.

“Pinter banget anaknya Ibu, bangganya Ibu…” ucap Ibunya. “Nanti jangan lupa cerita ke bapak sebelum berangkat sekolah ya!” respon Ibu sambil mengendalikan Astrea putih yang sedikit ganas karena jalan yang licin usai hujan lebat semalam suntuk.

Setelah berkendara sekitar 15 menit, Adin dan Ibunya sampai di dermaga. Segera Adin turun dan ibunya memarkirkan sepeda. Biasanya sekitar 10 menit menunggu, Bapak dan para pelaut lain sudah datang dan selesai berlabuh di dermaga.

Di dermaga yang sedikit basah karena sisa hujan semalaman, mereka berdua akhirnya menemukan tempat duduk. Tempat menunggu kedatangan Bapak dengan tangkapan dan kisah heroik dan gagahnya.

15 menit berlalu. Tidak ada kapal yang nampak berlabuh. “Sebentar lagi bapak pasti datang ya, Bu!” ucap Adin yang sudah tidak sabar menunggu kedatangan Bapaknya.

“Iya Adin, habis ini bapak datang,” ucap ibunya. Nadanya sedikit berbeda, sedikit bergetar. Namun Adil kecil yang antusias tidak paham dengan hal tersebut.

10 Menit berlalu, kapal Bapak mulai terlihat dari kejauhan. Tak lama kemudian kapal tersebut berlabuh. Para nelayan satu persatu turun, namun tidak dengan ekspresi bangga. Namun dengan muka tertekuk. Nampaknya tangkapan kali ini jelek.

Adin segera berlari mencari bapaknya. Pria yang selalu cerah mau sejelek apapun hasil tangkapannya di laut.

Adin terus mencari namun tidak menemukan senyum bapaknya yang hangat. Adin menoleh untuk melihat Ibunya. Bermaksud untuk bertanya apakah Ibu melihat Bapak. Kaget, yang Adin temui hanya Ibunya yang menangis dan dihibur oleh beberapa nelayan dari kapal yang sama dengan Ayahnya.

Adin mendekat.

 

Ibunya mendekat.

Adin dipeluk. Dielus lembut kepalanya. “Adin, bapak lagi melaut.”

“Jadi bapak tidak pulang ya? Lanjut melaut lagi soalnya gak dapat ikan?” tanya Adin.

Ibunya menggeleng. Tangisnya tumpah.

“Bapak pergi melaut, di laut yang jauh. Dan sepertinya tidak akan pernah kembali dari petualangannya menaklukkan lautan,” Adin bingung, namun hanya kesedihan yang mengisi hatinya pagi itu. (*)

 

 

 

TENTANG PENULIS

Rahman,pustakawan magang di Perpustakaan Jalanan Besuki Membaca serta pewarta junior di TIMES Indonesia Probolinggo Raya. Penikmat coklat dan kunang-kunang dalam balutan senja.

 

ILUSTRATOR

Alexong, Situbondo, 09 September 1999. Kuliah di Universitas Pendidikan Ganesha, Prodi Pendidikan Seni Rupa. Bahagia membaca, menulis, melukis, dan bejualan buku di Instagram @mellebuku. Ia dapat dihubungi melalui akun Instagram @alex.ong1999.

 

Cerpen: Kunang-kunang di Atas Perahu Cerpen: Kunang-kunang di Atas Perahu Reviewed by takanta on Maret 26, 2023 Rating: 5

1 komentar

  1. Sebuah kebanggan dan kehormatan dapat lolos dalam seleksi karya sastra redaktur Takanta.id

    Memang namanya Takanta, namun Saya sangat tahu dan paham seberapa serius setiap redaksi melakukan filter, seleksi, pemilihan sekaligus produksi ilustrasi yang tidak dikerjakan sebelah mata.

    Salut dengan Takanta dan redakturnya. Terus konsisten memberi cerita dan kenangan untuk kota kecil Situbondo.

    BalasHapus