Suka Duka Menjadi Anak Pejabat

freepik


Oleh: Hafizh Rafizal Adnan

Kasus penganiayaan oleh anak pejabat kantor pajak belakangan ini sangat menghebohkan. Tidak hanya tentang betapa sadis penganiayaan yang dilakukan, tapi juga sudah merembet ke sumber kekayaan pejabat yang fantastis dan cenderung kurang wajar. Tak heran, para netizen mulai berpikiran dan menggeneralisasi bahwa semua anak pejabat memang tidak ada yang berkelakuan baik, dan semua pejabat itu koruptif.

Kecurigaan dan amarah netizen tersebut sebenarnya bisa dimaklumi. Kesenjangan ekonomi antara masyarakat menengah ke bawah dan para pejabat memang masih tinggi. Alih-alih memiliki Harley, masyarakat kebanyakan masih bergulat dengan kecukupakan pangan tiap hari. Jadi wajar saja masyarakat kecewa dan meluapkan kekesalannya di dunia maya.

Namun menggeneralisasi sebuah peristiwa secara berlebihan adalah salah satu jenis kesesatan berpikir. Tidak semua anak pejabat seburuk yang sedang diberitakan akhir-akhir ini. Pejabat-pun juga tidak semuanya korupsi, walau saya paham, saking banyaknya, seolah-seolah masyarakat berpikir pejabat jujur hanya oknum. Saya jadi tergelitik untuk membagikan pandangan saya terkait suka dan duka sebagai anak pejabat, walau hanya di level kabupaten.

Bapak saya adalah seorang kepala dinas sejak lebih dari satu dekade yang lalu. Saya sebenarnya tidak terlalu banyak ikut campur dengan urusan kantor orang tua saya. Saya hanya bisa berprasangka baik bahwa orang tua saya bekerja dengan jujur dan amanah. Kalau ingat sepeda motor mio butut yang saya pakai ketika SMA, dan betapa rumah kecil saya di Panji Permai tidak banyak berubah sejak saya balita, sepertinya orang tua saya bekerja apa adanya.

Menjadi anak pejabat memang saya akui memberi banyak kemudahan. Karena negara ini masih sangat menjunjung tinggi feodalisme, tentu saja perlakuan orang akan terasa lebih istimewa ketika tahu bahwa saya anak pejabat. Saya juga merasa lebih cepat dalam mengakses informasi. Belum lagi relasi orang tua saya juga sangat berguna, contohnya untuk mencari informan penelitian skripsi saya waktu itu yang perlu akses ke orang-orang pemerintahan.

Tapi segala keistimewaan itu buat saya pribadi, di sisi lain, sangat menjengkelkan. Salah satu hal yang pasti dialami anak pejabat adalah minimnya validasi terhadap kemampuan diri. Tidak peduli seberapa keras kami berusaha, pasti akan ada anggapan bahwa semua pencapaian itu dikarenakan status orang tua sebagai pejabat pemerintah. Sebaliknya, jika kami melakukan hal yang memalukan, cibiran juga pasti berdatangan. “Gimana sih, anak pejabat kok gagal, bikin malu saja!”, kurang lebih sindiran semacam itu yang akan akrab diterima jika seorang anak pejabat melakukan hal yang kurang baik atau gagal mencapai sesuatu.

 

Saran Untuk Anak Pejabat

Terlepas dari suka dan dukanya, menjadi anak pejabat tetaplah harus diakui sebagai privilese. Lalu bagaiman dengan krisis eksistensi dan susahnya mendapat validasi kemampuan diri bagi anak pejabat? Saran saya adalah merantau, pergi jauh dari rumah, cobalah berkarya jauh dari orang tua. Saya sudah membuktikan dan rasanya cukup efektif. Sejak 2015, saya memutuskan meninggalkan Situbondo, berjuang di ibukota dan memulai kehidupan baru. Walau tentu sangat melelahkan, terlebih bapak saya sepertinya termasuk pejabat yang gak kaya-kaya amat, merantau adalah cara terbaik untuk membangun eksistensi sebagai individu dan terlepas dari bayang-bayang orang tua. Saat saya berhasil menjuarai suatu kejuaraan ketika kuliah, tidak ada yang mengaitkan itu dengan orang tua saya, dan itu sangat melegakan.

Langkah tersebut bukan murni dari saya sendiri. Saya hanya terinspirasi dari salah satu anak pejabat yang selalu dicontohkan oleh bapak saya sebagai teladan yang baik. Beliau adalah Mas Dr. Dawam Abdullah yang sekarang adalah peneliti di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN, sebelumnya LIPI), alumni Institut Teknologi Bandung dari jenjang sarjana hingga doktoral. Beliau adalah contoh anak pejabat yang berhasil membangun reputasinya sendiri sebagai peneliti hebat di Indonesia, terlepas dari bayang-bayang orang tuanya, (Alm) Drs. H.M. Diaaman, bupati Situbondo periode 2000 – 2005 yang notabene merupakan tokoh yang disegani di Kota Santri. Semoga saya ketularan suksesnya.

Sebagai penutup, anak pejabat tidak pernah memilih akan lahir dari orang tua seperti apa. Namun demikian, privilese yang dimiliki hendaknya tidak dibantah. Tidak ada yang salah dari memiliki orang tua pejabat, yang salah adalah ketika kita sebagai anak menyalahgunakan posisi orang tua kita untuk hal-hal yang tidak bermanfaat dan cenderung ego-sentris. Privilese dan segala keistimewaan sebagai anak pejabat, hendaknya dimanfaatkan untuk menghasilkan karya-karya yang memiliki nilai manfaat bagi orang-orang sekitar, terlebih untuk masyarakat luas. Dengan keistimewaan dan fasilitas yang dimiliki, anak pejabat seharusnya berani keluar dari zona nyaman, mencoba berdikari, dan berkarya untuk negeri.

 

 

TENTANG PENULIS

Hafizh Rafizal Adnan, orang Situbondo pada umumnya, sedang bersekolah dan merintis karir di negeri singa. Suka meneliti hubungan teknologi informasi dan kelakuan manusia yang aneh-aneh.

Akun media social: @hafizhrafizal

Suka Duka Menjadi Anak Pejabat Suka Duka Menjadi Anak Pejabat Reviewed by takanta on Maret 22, 2023 Rating: 5

Tidak ada komentar