Cerpen: Waktu yang Pecah di Balik Pintu

 


Oleh: Hana Yuki Tassha Aira

Pukul lima sore. Pintu terbuka dengan kencang dari luar. Bagian dalamnya membentur tembok dengan keras. Bersama bayang pohon yang turut hadir dalam kamar itu, kamu berjalan tergesa ke arahku.

"Capek, benar-benar lelah aku berasa diperas setiap hari. Kerjaan sana sini, mengaku sudah selesai dengan pekerjaan sebelumnya langsung dikasih kerjaan baru. Tapi kalau nggak laporan sudah selesai pekerjaannya, diartikan performa menurun."

Lelahmu, kekesalanmu, semua terbaca dari kerutan dahi dan pancaran matamu. Kamu bahkan belum melepas sepatu. Sudah bersandar lelah begitu saja di salah satu sudut ranjang. Kepala disandarkan, jadi menengadah ke langit-langit kamar. Mandi jelas urusan nanti. Makan malam belakangan. Seringnya makan di kamar sambil teleponan entah dengan siapa, aku hafal betul.

Sambil melonggarkan dasi, "Rasanya mau resign saja. Tapi cari pekerjaan lain nantinya sama saja. Bikin usaha sendiri semakin pusing tujuh keliling."

Terdiam lima menit, baru beranjak seperti tersadar dari sesuatu yang besar, "Dah ah, mau mandi."

Bersama lenyapmu di balik pintu, aku turut menghilang dari kamar itu.

Masih dengan handuk di bahu, tangan kananmu sudah memegang ponsel. Berkata, "Iya Maa. Nanti kukirim yaa. Oh, okeee. Sabtu siang aku senggang."

Mengangguk-angguk, menutup telepon dengan salam. Berjalan ke arahku, kemudian menghela napas berat. "Nah, sekarang sepertinya aku harus pergi. Malam Sabtu ini makan malam di luar sambil rapat dengan Axel. Kita harus menyajikan presentasi yang bagus di depan Pak Kristo. Besok pagi, jogging kalau sempat kebangun lebih awal. Siangnya antar Mama belanja bulanan. Malamnya langsung rapat sama Pak Kristo.

"Malam Minggu?" Memandang langit-langit, "Ah biarlah! Yang penting kerjaan lancar, dapat bonus dan slip gaji penuh."

Setelah itu punggungmu lenyap termakan daun pintu yang tertutup dari luar. Baru hampir tengah malam pintu kamar terbuka kembali. Wajahmu sayu, pasti kelelahan. Bergumam sambil berganti pakaian, kemudian naik ke ranjang. Melirikku sebentar, kemudian merebahkan badan.

"Ah, ternyata aku dan Axel harus berlomba dengan dua karyawan lain. Kalau desain cabang perusahaan kami dipilih Pak Kristo, kami dapat bonus tiga kali lipat. Itu artinya, aku bisa ambil cuti barang seminggu untuk berlibur ke Singapura. Yang dekat dan sebentar saja. Aku benar-benar sudah butuh penyegaran."

Setelah itu tak terdengar apa-apa. Kamu tertidur dan aku juga melakukan hal yang sama. Paginya bangun terlambat, mengeluh keras-keras tak bisa lari pagi. Buru-buru bersiap mandi karena sudah ada janji menemani Mama siang ini.

Begitu sudah siap, mengomel lagi di depanku sambil merapikan pakaian, "Duh, kenapa Axel minta kerjaan direvisi siang ini? Kan masih bisa sore!" Asal muasalnya jelas karena kamu sempat melirik pesan masuk dari ponsel yang tergeletak di ujung ranjang.

Begitu pakaian sudah rapi, bergegas meraih ponsel. Menekan nomor Axel, meneleponnya. Marah-marah lagi. Padahal kamu tahu kamu akan bekerjasama dengan Axel, tapi menjelang siang kamu sudah bertengkar dengannya. Biasanya, suasana hati kita sepanjang hari akan dipengaruhi perasaan kita ketika bangun tidur. Kalau baru selesai mandi saja sudah marah-marah, apa kabar sore dan malam nanti?

"Axel, jujur saja aku tidak bisa revisi siang ini. Siang ini aku ada janji lain."

"Apa janjimu itu lebih penting dari projek ini?"

Menghela napas, "Tentu lebih penting."

"Urusan apa sih? Nanti malam kita harus presentasi ke Pak Kristo. Kalau tidak dibereskan siang ini, terus kapan lagi?!"

"Nanti sore. Sekarang, kamu bisa revisi terlebih dahulu. Nanti kulanjut sendiri sore hari. Malamnya, kita berangkat lebih awal dari Pak Kristo, kita diskusi sebentar. Masih ada waktu, Axel."

"Nggak keburu, Samuel Abrisam."

Wajahmu keruh usai mendengar Axel menyebut nama lengkapmu. "Oke, kita revisi siang ini. Tapi jam 2 siang."

"Nggak keburu sore, tuh?"

"Pokoknya jam 2 siang, dan aku nggak akan terlambat. Kalau perlu, di rumahku. Aku akan pergi setelah ini, dan kupastikan sebelum jam 2 siang aku sudah di rumah."

Lanjut, telepon Mama.

"Ma, sebentar lagi aku berangkat. Begitu aku sampai, kita langsung pergi ya. Jam satu aku harus pulang lagi."

"Pulang? Ini juga masih rumahmu kan, Sam?"

Menghela napas dan berharap tidak didengar Mama, "Ya, Ma. Maksudku, aku harus kembali ke sini. Ada yang harus kusiapkan untuk malam nanti."

"Wah, oke-oke. Dinner dengan kekasihmu?"

"Bukan, Ma. Udah ya, aku berangkat dulu."

Kalau Mama tahu itu urusan pekerjaan, matilah kamu Sam. Setiap akhir pekan seharusnya kamu di rumah Mama. Sebab Mama tidak suka kamu berkutat dengan pekerjaan di hari Sabtu atau Minggu. Kalau Sabtu dan Minggu saja tetap bekerja, kapan istirahatnya?

Sebelum berbalik, kamu menyempatkan diri untuk memberikanku senyuman, "Sampai nanti."

Begitulah, lagi-lagi aku menghilang mengikuti punggungmu yang sirna di balik pintu.

***

Tujuh jam. Lumayan lama. Pukul lima sore, kamu masuk kembali ke kamar. Seperti orang menahan marah dan lelah. Terlihat berusaha mengatur napas, kemudian bersegera mengambil berkas di atas meja. Kembali lagi ke bawah tanpa menutup pintu sebab sudah terdengar teriakan Axel dan kamu perlu menjawabnya sembari terburu keluar, "Sebentar!"

Setengah tujuh malam. Baru kurasakan hadirmu benar-benar untuk menghabiskan waktu di kamar ini. Banyak perasaan yang terlukis di paras yang seharusnya indah itu. Kini rasa lelah, kecewa, marah, sedih, dan rangkaian emosi negatif lainnya hadir di sana.

Setelah menutup pintu, kamu berjalan perlahan ke arahku. Kemudian duduk.

Tersenyum perlahan, tentu hasil dipaksakan, "I'm… home."

Kalimat itu turut hadir bersama lelehan hujan dari kedua matamu. Membentuk anak sungai yang sayangnya tak bisa kuseka.

Seharusnya sekarang kamu sudah bersiap untuk menemui Pak Kristo di tempat yang sudah ditentukan. Dengan Axel tentunya. Presentasi, kemudian pulang –larut malam tentu saja. Sekarang malah menangis di depanku. 

Hal yang menyedihkan adalah melihat seorang laki-laki pekerja keras dan tangguh tiba-tiba menangis diam-diam. Sebesar apa masalah yang selama ini mengganggu ketenteramannya?

"Kamu tahu hari ini ada apa saja yang terjadi? Setelah menjemput Ibu dan menemaninya berbelanja, akhirnya Ibu tahu aku perlu pulang terburu-buru karena urusan kantor. Tentu Ibu tahu sebab Axel beberapa kali menelepon. Tidak sabaran betul anak itu. Akhirnya kena omel Ibu. Tahu sendiri kan, Ibu mana suka anaknya tetap kerja di akhir pekan?

"Sampai di rumah hampir bersamaan dengan Axel. Kita sepakat buat revisi di sini, bukan di kafe tempat biasa kita ketemu. Kena marah lagi sama Axel karena kita jadi terburu-buru untuk revisi. Malam ini harus presentasi di depan Pak Kristo. Axel maunya jam tiga sudah kelar revisi, kemudian kita latihan presentasi sebentar. Dasar, seperti anak SMA saja, harus ada latihan sebelum presentasi. Dikira apa?

"Ternyata, sampai jam empat sore kita belum kelar. Matilah aku disalah-salahkan Axel karena punya ide revisi sore hari. Dia berulang kali menegaskan, harusnya revisi dari siang. Ditambah dia mengolok-olok soal menemani Ibu belanja bulanan. Katanya alasanku tidak masuk akal, sebab lebih penting revisi desain daripada menemani Ibu belanja.

"Begitu bahan presentasi selesai dan kita juga sudah latihan presentasi beberapa kali, Pak Kristo mengabari kalau beliau tidak bisa bertemu kami hari ini. Dia memilih menghabiskan malam Minggu dengan istri dan anak-anaknya. Katanya, jarang-jarang istrinya memiliki waktu longgar. Kemudian berjanji meladeni presentasi kami besok Senin di kantor.

 

"Sudah dimarahi Ibu, diomeli Axel, diberi harapan palsu oleh Pak Kristo. Tapi itu hanya sebagian kecil dari rangkaian kekesalanku yang lain. Rasanya semua yang kulakukan dan semua yang kuutamakan menjadi sia-sia."

Aku memang mengenalmu semenjak SMA, Sam. Aku mengerti segala keaktifanmu mengikuti berbagai organisasi. Juga saat kamu kuliah, berbagai ormawa dan pekerjaan manapun rasanya tidak berhasil membuatmu merasa lelah. Begitu pula ketika kamu sudah terjun ke dunia kerja. Kamu selalu menaruh harapan tinggi pada hasil akhir kerja kerasmu. Memberikan ekspektasi pada diri sendiri bahwa kelak setelah pekerjaan berat itu selesai, akan ada hari di mana kamu menikmati libur panjang yang tenang. Tapi kapan waktu istirahat itu datang, Sam?

Waktumu terkuras untuk berbagai kegiatan. Liburmu sirna untuk berbagai keperluan. Katamu pasti ada saatnya untuk liburan, tapi kapan?

Sampai lulus kuliah, keadaan masih sama. Terus saja berkorban demi banyak orang. Ketika sudah lelah, banyak hal disesali. Hasil tak sesuai ekspektasi, akhirnya menyalahkan diri sendiri.

Hidupmu terlalu dikejar waktu, Sam dan aku hanya mengetahui ceritamu sebatas apa yang kamu katakan di kamar ini. Selebihnya, aku tak tahu sebanyak apa waktu yang pecah di balik pintu itu.

Sam, aku memang pendengar setiamu dalam berkesah. Tapi apa yang harus kulakukan, dan solusi apa yang harus kuberikan? Aku tak bisa berbuat apa-apa, Sam. Sebab aku hanya bayanganmu dalam cermin besar di sudut kamar itu.

 

Yogyakarta, 30 Januari 2023

 

TENTANG PENULIS

Hana Yuki Tassha Aira tinggal di Instagram @hana___yuki. Beberapa karya mahasiswi Sastra Indonesia Universitas Negeri Yogyakarta ini sudah diterbitkan dalam 13 antologi bersama.

Sosial media @hana___yuki (Instagram). Email tassha.aira@gmail.com.


ILUSTRATOR

Alexong, Situbondo, 09 September 1999. Kuliah di Universitas Pendidikan Ganesha, Prodi Pendidikan Seni Rupa. Bahagia membaca, menulis, melukis, dan bejualan buku di Instagram @mellebuku. Ia dapat dihubungi melalui akun Instagram @alex.ong1999.


Cerpen: Waktu yang Pecah di Balik Pintu Cerpen: Waktu yang Pecah di Balik Pintu Reviewed by takanta on Maret 12, 2023 Rating: 5

Tidak ada komentar