Resensi: Relasi Kuasa, Kisah Asmara dan Pengorbanan



Oleh: Indarka P.P

Menyoal reformasi, dengan segala sengkarut yang menyertainya, terpikirkah kita tentang nasib pekerja-pekerja seni di masa-masa setelahnya? Bagaimana mereka yang dahulu tersohor karena ‘dekat’ dengan penguasa, lalu tiba-tiba harus menerima kenyataan Soeharto mundur dari kursi presiden?

Panji Sukma menggubah fenomena itu melalui novel terbarunya, Kuda. Mula-mula perlu dikemukakan bahwa novel ini tidak berbicara tentang binatang. Kuda adalah nama seorang tokoh manusia. Benih Kuda tercipta dari asmara Abdul Azis dan Marini sebagai sepasang kasih. Namun demikian, suatu ketika, Abdul Azis yang gemilang kariernya sebagai tentara dijodohkan sang atasan dengan anak perempuannya. Abdul Azis tak mungkin berkata tidak, sebagaimana tak mungkin ia rela mengorbankan pekerjaannya. Maka atas dalih rasa percaya dan kesetiakawanan, Abdul Azis meminta karibnya, Empu Manyu, untuk menikahi Marini sekaligus merawat jabang bayi yang akan lahir, kelak.

Panji tidak tiba-tiba mencipta satu pun tokoh tanpa asal-usul. Sebelumnya ia telah mendudukan Empu Manyu melalui kisah-kisah dalam beberapa bab. Empu Manyu sendiri anak seorang dalang. Namun rupanya darah seni mendalang tiada mengalir dalam tubuh Manyu, dan itu cukup membuat ayahnya kecewa. Ini semacam kronik yang jamak terjadi di masyarakat, ketika minat orangtua tidak mesti selalu diikuti anak-anak mereka. Sejak kecil Manyu justru lebih tertarik pada paku-paku yang sengaja ditaruhnya di rel kereta supaya tergilas, untuk kemudian dikikir menjadi bilah-bilah pisau. Manyu berupaya mencari jalan takdirnya. Hingga suatu waktu, ia bertemu seorang pandai besi. Darinya Manyu beroleh keahlian membuat keris.

Melalui jejaring Abdul Azis, kepiawaian Empu Manyu bak gayung bersambut. Abdul Azis-lah yang mewartakan keris-keris Empu Manyu pada para kolega tentaranya. Hari-hari melaju, membikin Empu Manyu semakin tersohor. Kedekatannya dengan tokoh-tokoh kenegaraan tak hanya membuatnya bergelimang harta, melainkan juga jadi tokoh yang terpandang. Tak terhitung tamu yang hilir-mudik ke kediaman Empu Manyu. Saat-saat itu tiada sehari pun Empu Manyu terpisah dari tungku api, sibuk membuat keris demi keris pesanan.

Relasi macam itu yang menjadikan Empu Manyu merasa utang budi pada Abdul Azis. Bagaimana pun, berkat Abdul Azis pula Empu Manyu mencapai titik ketenarannya. Karenanya, sewaktu Abdul Azis memohon kepada Empu Manyu supaya sedia menikah dengan Marini, tiada alasan Empu Manyu untuk menolak.

Untuk kepentingan penguatan latar, sebenarnya penulis tidak melulu menyebutkannya secara gamblang. Dalam hal ini Panji menguatkan novelnya yang berlatar masa-masa keruntuhan orde baru itu dengan sisipan serial Misteri Gunung Merapi pada bab enam. Titimangsa tersebut dapat ditelusuri dari awal pemutarannya di salah satu stasiun televisi yaitu tahun 1998. Selain Misteri Gunung Merapi, titimangsa lain yang secara cerdas dipilih Panji ialah menghadirkan Sheila on 7. Ia menggunakan dalam porsi pas alias tidak muluk-muluk melalui narasi demikian, “Layar televisi mendadak mati, nyanyian merdu Duta Sheila on 7—vokalis yang tengah melejit dan membikin hampir seluruh anak lelaki di seantero negeri memiliki cita-cita menjadi sepertinya—terhenti pada bait ketiga.” (hlm. 1).

Meski bertajuk Kuda, sejatinya lebih dari separuh novel ini terpusat pada pergulatan hidup Empu Manyu. Awal-awal setelah menikah, hubungan Empu Manyu dan Marini terasa begitu canggung. Banyak momen dihadirkan Panji untuk menggambarkan betapa beku sikap Empu Manyu kepada perempuan yang dinikahinya tanpa kehendak tulus hatinya sendiri. Berbeda dengan Marini. Beberapa kali justru ia mengawali inisiatif demi melayani Empu Manyu. Kesediaan Empu Manyu menerimanya tentulah menghindarkan Marini dari aib. Oleh karena itu, Marini menaruh terima kasih yang ia wujudkan dalam laku seorang istri sebagaimana seharusnya.

Hari ke hari, Empu Manyu mulai tersadar bahwa perlakuan Marini haruslah disikapi dengan baik. Empu Manyu akhirnya menandaskan rasa kasih sayangnya untuk Marini, termasuk bayi yang Marini kandung. Kemesraan mereka terkisah jelas. Mulai dari rutinitas jalan-jalan mengendarai motor Grand Bulus, hingga menonton film-film di bioskop. Namun sayang, kisah percintaan mereka harus berujung haru, tepatnya ketika Marini mulai mengalami gangguan pada perutnya. Empu Manyu gegas membawa Marini ke rumah sakit, dan selama sekian hari istrinya terbaring di sana.

Empu Manyu harus mengambil pilihan yang ditawarkan dokter tentang keselamatan Marini. Persis saat Empu Manyu tengah menyelesaikan urusan administratif di ruang dokter, pekik suara terdengar lantang dari arah kamar Marini. Di situlah emosi pembaca terkoyak. “Ketika sampai di lorong, ia lihat perawat keluar dari kamar Marini dengan gemetaran dan suara jeritan itu berasal darinya. Jelas adanya, ada hal buruk telah terjadi, dan itu membuat langkah Empu Manyu melambat. Semakin gontai seakan copot semua sendi dalam tubuhnya. Usai membuka pintu lebar-lebar, ia menemukan perut Marini terbuka oleh luka sayat melintang. Marini telah beku dengan pisau buah tergenggam lemah di tangannya. Ranjang berubah warna darah. Dan di sisi Marini, tergeletak bayi merah seukuran termos yang entah bernyawa atau tidak.” (hlm. 76).

Dalam kesendirian, Empu Manyu merawat bayi itu—yang dinamainya Kuda—hingga tumbuh dewasa. Hari ke pekan, pekan ke bulan, tak terasa zaman berangsur berubah. Reformasi, sebuah cita-cita yang diharapkan orang banyak rupanya memerlukan tebusan yang tak main-main. Konflik politik kemanusiaan pecah di titik-titik kota, dan itu berdampak juga bagi kehidupan Manyu sebagai empu terpandang. Begitu Soeharto turun, surutlah pesanan keris-kerisnya. Itu membuat Empu Manyu harus banting setir mencari penghidupan lain; dari bekerja di bengkel hingga jadi tukang ojek.

Novel setebal 94 halaman ini ditutup dengan kedatangan Abdul Azis dan ajudannya ke kediaman Empu Manyu. Abdul Azis ingin meminta anak yang lahir dari rahim Marini untuk ikut bersamanya. Permintaan itu ditolak Empu Manyu. Menurutnya, Abdul Azis tak lebih dari seorang pecundang. Maka kegaduhan pun terjadi. Masih dalam waktu yang sama, Kuda datang menuju sumber kegaduhan. Tenaganya melemah karena sebelumnya mengambil keris di lemari kamar Empu Manyu. Begitu tiba di sana, Kuda menyeret langkah mendekati Abdul Azis sembari mengayunkan keris di genggamannya. Namun, belum sempat keris itu menyentuh kulit Abdul Azis, dua tembakan lebih dulu bersarang di punggung Kuda. Darah Kuda pun mengalir menyambangi ujung sepatu kulit Abdul Azis.

 

Identitas Buku:

Judul                 : Kuda

Penulis              : Panji Sukma

Penerbit            : Gramedia Pustaka Utama

Cetakan            : Pertama, Oktober 2022

Tebal                  : 94 halaman

ISBN                   : 978-602-06-6455-2

 

TENTANG PENULIS

Indarka P.P, lahir di Wonogiri (Jawa Tengah). Saat ini bermukim di Mamuju (Sulawesi Barat). Menulis buku “Penumpasan” (Sirus Media, 2021), dan terbagung dengan Komunitas Kamar Kata.

 

Resensi: Relasi Kuasa, Kisah Asmara dan Pengorbanan Resensi: Relasi Kuasa, Kisah Asmara dan Pengorbanan Reviewed by takanta on Mei 31, 2023 Rating: 5

Tidak ada komentar