Alek Melle Buku: Jangan Salahkan Masyarakat Soal Minat Baca Rendah

 

Oleh: Haryo Pamungkas


Sekurang-kurangnya ada dua laporan yang sering digunakan untuk menklaim rendahnya minat baca masyarakat Indonesia. Tapi benarkah kriteria laporan itu cukup valid?

Pada 8 September 1965, menteri pendidikan sedunia berkumpul di Teheran, Iran, untuk membahas pemberantasan buta huruf bagi individu, komunitas, dan masyarakat. Konferensi bertema "World Conference of Ministers of Education on the Eradication of Illiteracy ini didorong oleh tingginya tingkat buta huruf masyarakat dunia kala itu.

Setelahnya, pada 26 Oktober 1966 badan PBB yang mengurus soal pendidikan, keilmuan, dan kebudayan (UNESCO) merespon dengan menetapkan 8 September sebagai Hari Literasi Internasional dan memberikan penghargaan bagi tokoh yang dinilai berjasa di bidang literasi saban tahun.

Itulah cikal bakal peringatan International Literacy Day (ILD) yang diperingati setiap 8 September.

56 tahun setelah Hari Literasi Internasional kali pertama dirayakan dan 7.617 kilometer dari Teheran, orang-orang di Indonesia kerap merayakan Hari Literasi Internasional dengan semacam olok-olok yang anehnya, ditujukan untuk dirinya sendiri.

Menggaet sejumlah penelitian soal minat baca orang Indonesia, sebagian pihak tak hanya mengolok, tapi juga memberi stigma bahwa minat baca masyarakat kita menyedihkan, cerewet minta ampun di medsos tapi malas baca, bodoh, dan seterusnya, dan seterusnya.

Tidak jelas masyarakat mana yang dituduh. Namun, yang pasti, klaim itu cenderung menyalahkan masyarakat atas rendahnya minat baca. Sekurang-kurangnya ada dua laporan yang sering digunakan untuk menklaim rendahnya minat baca masyarakat Indonesia.

Pertama, laporan dari UNESCO yang menyebut persentase minat baca masyarakat Indonesia hanya 0,001 persen atau dari 1000 orang, hanya 1 saja yang rajin membaca. Kedua, studi yang dilakukan Most Littered Nation In the Word yang digagas Central Connectitut State University (CCSU) pada Maret 2016, yang mengklaim minat baca masyarakat Indonesia berada di urutan ke-60 atau kedua paling buntut dari 61 negara yang disurvei.

Pertanyaannya, benarkah minat baca masyarakat kita memang semenyedihkan itu? Benarkah kriteria laporan itu cukup valid untuk menjustifikasi bahwa minat baca masyarakat Indonesia rendah dan demikian pantas menerima segala stigma, tuduhan, dan olok-olok?

Saya coba mengobrol dengan Alek, pemuda asal Situbondo, Jawa Timur yang menjadi ilustrator takanta.id sekaligus pengelola toko buku @mellebuku untuk mendapatkan jawabannya. 

Alek: jangan keliru membaca survei!

Alek baru usai membersihkan kolam ikan koinya saat saya berkunjung pada Sabtu, 18 Maret 2023 lalu. Pria bernama lengkap Alek Sandra ini segera menyilakan saya duduk di balai-balai teras rumahnya begitu mengetahui kedatangan saya.

Usai basa-basi soal kopi, teh, atau air putih, saya langsung mengutarakan maksud, yakni ingin meminta tanggapannya soal klaim rendahnya minat baca masyarakat Indonesia.

Mas Alek, tentu sudah sering mendengar survei yang dicatut tokoh buat menghantam minat baca masyarakat Indonesia. Salah satunya laporan CCSU. Sebagai orang yang dekat dengan literasi dan buku, menurut Mas Alek sendiri bagaimana?

Ia tersenyum kecil, meloloskan sebatang kretek dan menawari saya sebatang sebelum memulai.

Ohh iya, Mas, laporan yang bilang kalau peringkat minat baca kita di urutan 60 dari 61 itu ya? Sebetulnya enggak ada masalah, tapi agaknya cara membaca kita cenderung keliru. Coba deh cek di website CCSU, kriteria apa yang digunakan pihaknya buat bikin laporan itu.

Kalau enggak salah ada 4 kriteria kan yang digunakan buat mengukur minat baca suatu negara: libraries (merujuk pada jumlah kunjungan ke perpustakaan), newspaper (peredaran surat kabar), education inputs & outputs (merujuk pada keluaran dan pemerataan pendidikan), dan computer availability (ketersediaan komputer).

Sekilas, memang enggak ada yang kurang dari keempat kriteria itu. Namun, jelas itu tak mengakomodir adanya perbedaan bentuk dari kultur membaca di masing-masing negara. Apakah, misalnya, karena intensitas kunjungan ke perpustakaan rendah lantas secara semena-mena bisa disimpulkan bahwa minat baca masyarakat kita juga melempem?

Artinya menurut Mas Alek 4 kriteria itu tidak cukup valid buat mengeneralisir minat baca di suatu negara ya?

Bisa dibilang begitu. Masalahnya 4 kriteria itu juga enggak mengakomodir masyarakat yang membaca buku dengan cara membeli dan meminjam ke orang lain. Padahal, menurut data Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI), pada 2014 saja terdapat 62.656 juta eksemplar buku yang terjual melalui toko buku. Ini belum termasuk buku yang terjual melalui kanal online loh.

Survei yang dilakukan Picodi.com pada 2019 itu menyebut 47 persen masyarakat Indonesia memang mendapatkan buku dengan cara membeli di toko buku, Mas. Sedangkan soal alasan membaca, 49 persen masyarakat Indonesia mengaku membeli buku karena suka membaca; 27 persen untuk belajar; 16 persen untuk menghilangkan stres, dan 8 persen untuk hadiah. Bahkan, masih dalam survei yang sama, sekitar 63 persen masyarakat Indonesia mengaku membeli minimal 1 buku setiap tahun.

Lalu, di bagian hulu, berdasarkan data IKAPI pada 2015 disebutkan bahwa ada sekitar 30.000 judul buku yang diterbitkan setiap tahun di Indonesia. Jumlah itu pun hanya mencakup catatan toko toko dan pengajuan ISBN oleh penerbit.

Data ini menunjukkan bahwa, masyarakat kita memang enggak terbiasa berkunjung ke perpustakaan untuk membaca buku. Namun, ini bukan berarti masyarakat enggak membaca. Masyarakat lebih gemar membeli dan meminjam buku kepada orang lain.

Lagipula, mengapa hanya masyarakat yang menjadi tersangka tunggal atas minimnya tingkat kunjungan ke perpustakaan?

Padahal bisa jadi di balik minimnya tingkat kunjungan ke perpustakaan itu ada masalah: koleksi buku yang enggak lengkap, sistem pinjam yang semrawut, manajemen pengelolaan yang buruk, dan fasilitas yang minim.

Kita sekarang jujur-jujuran deh. Bahkan di perpustakaan tingkat daerah saja, misalnya, sudah menjadi rahasia umum bahwa pengelolaannya seringkali serampangan. Orang-orang yang ditugaskan di sana acapkali bukanlah orang yang kompeten dan memahami gerak literasi di daerah. Alhasil, kebijakan yang diambil enggak sesuai dan minim inovasi.

Saya setuju, Mas, berarti mestinya survei itu jadi bahan buat membenahi regulasi dan insfrastuktur ya?

Iya toh. Sekarang coba, alih-alih membangun infrastuktur yang nyaman, membenahi sistem, mengapresiasi penulis daerah, dan melibatkan komunitas literasi daerah, orientasi kebijakan yang dicanangkan enggak jauh-jauh dari ‘bimbingan teknis’, sosialisasi, dan bazar buku setahun sekali.

Kalau sudah begini, apa bijak terus mengolok-olok ‘minat baca masyarakat Indonesia rendah’ dan memberi stigma kepada masyarakat, tanpa menelisik lebih jauh; bertanya ‘mengapa’, dan tanpa adanya kesadaran bahwa program literasi memang enggak pernah menjadi prioritas dan tepat sasaran sejauh ini?

Saya mengangguk-angguk, beberapa ekor ikan koi melompat dan terdengar kecipak air dari kolam. Alek segera bangun dan berjalan menuju kolam. Sambil melihat-lihat kondisi ikan dan kolam, ia melanjutkan bicara.

Dulu, saya sempat menelan mentah-mentah dan mendukung klaim itu. Tapi dari cerita seorang kawan yang terlibat dalam program pendidikan alternatif di sejumlah desa di Jember sejak 2020, saya menemukan fakta lain. Anak-anak berusia 5-15 tahun di tempatnya mengajar justru sangat antusias saat dibawakan buku.

Maka, saya menduga persoalan rendahnya minat baca sama sekali bukan didorong oleh kemalasan masyarakat untuk membaca. Tapi karena akses, kultur, kesenjangan pendidikan, sosial, ekonomi, dan fasilitas pendukung serta bahan bacaan yang belum merata.

Ditambah kebijakan yang belum tepat sasaran, Mas, singkatnya, masalah rendahnya minat baca ini jadi teramat kompleks.

Artinya ini juga menyangkut kesenjangan pendidikan, ekonomi, dan aspek lain ya, Mas?

Menurut saya begitu. Keluarga yang masuk kategori miskin dan miskin ekstrem, misalnya, lebih memilih mengalokasikan pendapatan untuk memenuhi kebutuhan dasar ketimbang membeli buku. Sudahlah sulit untuk memenuhi kebutuhan dasar, mengapa pula terpikir untuk membeli buku?

Seandainya fasilitas bacaan merata, Mas, masih ada alternatif bagi anak-anak mereka untuk mendapatkan buku. Namun, sayangnya, perpustakaan yang dekat (perpustakaan sekolah) seringkali hanya berisi buku-buku pelajaran sekolah. Itu pun terbitan tahun-tahun yang lewat dan tidak terawat.

Bangunannya ada, tapi tak lebih dari tumpukan batu-bata teratur yang hanya menunaikan kewajiban untuk berdiri dan mengisi list ketika terdapat survei. Ini kan problem mendasarnya.

Pada akhirnya, persoalan rendahnya minat baca memang harus dilihat sebagai salah satu akibat dari kesenjangan pendidikan. Jadi enggak bisa yang disalahkan justru masyarakat. Kan lucu jadinya. (*)

 

 

Tentang Penulis

Haryo Pamungkas, selamanya belajar membaca dan menulis. Dapat dihubungi lewat surel pakujatuh@gmail.com dan Instagram @haryokpam.

 

ILUSTRATOR

Ahmad Zaidi, lahir dan tinggal di Situbondo.

Alek Melle Buku: Jangan Salahkan Masyarakat Soal Minat Baca Rendah Alek Melle Buku: Jangan Salahkan Masyarakat Soal Minat Baca Rendah Reviewed by takanta on Mei 05, 2023 Rating: 5

Tidak ada komentar