Cerpen: Gerimis dalam Ingatan



Oleh: Ahmad Zaidi

Aku masih terjaga, dalam kealpaan yang hadir dalam gelap. Mengingatmu adalah sesuatu yang melelahkan dan mematikan. Serupa nyala api yang membakar perlahan rasa takut sekaligus menjalarkan kekhawatiran lain. Bisakah aku tidak mengingatmu kali ini saja, dan kamu selesai sebagai kenangan yang terus berebut tempat di dalam kepala seseorang yang ingin melupakan?

Pernah ada hari-hari yang membahagiakan, saat kita benar-benar menikah. Nyatanya, kebahagiaan tak selalu bertahan lebih lama dari apa yang kita bayangkan. Orang-orang tak lagi memilih menumpang bus, lebih asyik dengan kendaraan pribadi dan akhirnya aku berhenti menjadi sopir. Aku mengajakmu tinggal di kampung, hidup dalam kesederhanaan yang selalu kekurangan. Tetapi, betapa aku takjub padamu yang masih saja tersenyum dan menenangkanku sebagai teman juga seseorang yang setia menemani. Hingga akhirnya, malam yang terkutuk itu datang seperti gelombang yang ingin menenggelamkan kita ke dasar laut. Aku menambahi beban dengan lilitan utang yang belum sepenunya terbayar. Utang yang terus tumbuh, berbunga kata orang koperasi simpan pinjam sialan yang memanfaatkan situasi para peminjam uang, salah satunya adalah kita.

Untuk sejenak, aku melupakan apa yang dilarang olehmu: berjudi.

“Berhentilah meminjam uang dan menggunakannya untuk berjudi.”

Saat itu, aku terkejut melihatmu dengan penuh keberanian berteriak menegurku. Berhenti, katamu. Bukankan hidup ini sendiri adalah sebuah meja judi? Tentang siapa yang beruntung dan sebagian lagi kurang mujur. Aku memilihmu, bukankah itu juga seperti pertaruhan untuk masa depan siapa yang akan menemaniku hingga ajal nanti. Beruntungnya, pilihanku tepat. Kamu yang sedikit sial, memilih seseorang sepertiku. Pernahkah, sekali saja dalam hidupmu bersamaku, kamu merasa menyesal? Pernahkah kamu mengutuk dunia yang tidak memberikan banyak pilihan terhadap perempuan sepertimu?

Kamu sering mengingatkanku bahwa aku tidak bakat dalam hal itu. Tetapi aku masih ngotot mengadu keberuntungan dengan menebak angka-angka. Hutang kita semakin menumpuk dan tak terhitung berapa kali orang –orang datang menagih ke rumah kita yang atapnya menangis setiap kali hujan, menyembunyikan tangis lain yang dipadatkan di bawah bantal.

Tetapi, sungguh aku butuh ketabahan yang lebih dari sekadar yang dilimpahkan kepada orang-orang yang setia menunggu. Bagiku, kata tunggu merupakan kebetulan yang sedikit menghibur untuk mereka yang sedang menghadapi gerak waktu. Kamu bisa menemukannya di mata mereka yang hadir dalam deret antrian panjang. Juga seorang perempuan yang berjalan sendirian meninggalkan terminal sore itu, saat aku tidak jadi datang menjemputmu.

Mungkin ada sesuatu yang selalu kamu percaya, dan itu membuatmu sejenak bisa tenang. Kamu seperti terlempar ke sebuah ruangan yang dihiasi oleh lukisan-lukisan tentang waktu yang mengelupas, jam dinding yang berdetak dengan pelan dan itu membuatmu betah berlama-lama di sana. Sampai segala sesuatu seperti kedatanganku yang menyerupai sorotan cahaya tipis dan berdebu menembus jendela dan masuk ke ruangan yang gelap tadi. Mungkin saja kamu selalu percaya padaku, yang beberapa sore setelah penantianmu kembali datang untuk memberi kabar bahwa aku harus pergi tak lama lagi. Ke tempat yang jauh yang bahkan jarak akan begitu lelah menempuhnya.

Sore itu kamu mengantarku ke terminal. Di terminal itulah kita pertama bertemu, melakukan pertemuan rahasia sepulang kamu sekolah. Saat kamu masih malu-malu dan itu terlihat dari pipimu yang bersemu padam. Kamu pula yang rela mengantarkan rantang makanan saat aku masih jadi sopir sebuah bus malam, jauh setelah kita menjadi sepasang kekasih. Ditunggui olehmu cara makanku yang pelan, sambil kau dengarkan cerita-cerita berbau perjalanan, tentang kota-kota juga rinduku untuk segera pulang. Bertemu denganmu. Dan rupanya, aku tidak terlalu mampu bahkan untuk menghadiahimu waktu yang panjang dalam percakapan.

“Sabarlah sedikit lebih lama lagi. Setelah itu kita menikah.”

“Benarkah?”

“Tentu, sayang. Kita akan menikah.”

Dan sebelum benar-benar kuselesaikan mengecup keningmu, suara dari ruang operator selalu memaksaku beranjak. Sama seperti suara operator yang kembali memaksaku segera pergi.

“Dek.”

“Ada apa, Mas?”

“Aku akan pergi.”

“Tentu. Mas selalu ingin pergi, bukan? Kali ini aku tidak akan melarang.”

“Aku akan lama.”

Kamu diam, menggenggam ujung daster yang kian kumal dengan sesuatu yang tertahan dan kamu tidak ingin menumpahkannya di hadapanku.

Maka pada sebuah senja yang belum genap dan masih terbata, aku melangkahkan kaki dari kota ini kemudian lenyap meninggalkan bayang-bayang. Tapi, apa yang sebenarnya ingin aku temukan di sana? Di sebuah tempat bernama jauh dan untuk membayangkannya saja kamu tidak akan sanggup. Orang-orang menganggapmu terlalu lugu untuk ukuran perempuan seumuranmu. Kamu tidak menuntut apa pun dariku. Dan apa yang kuberikan kepadamu, sebuah rasa sakit dan benih kekecewaan yang harus kau tanggung sendirian.

Aku, tega sekali kepadamu.

Mungkin, itu adalah kali terakhir kita bertemu dan tidak akan kutemukan lagi jalan pulang. Mungkin itu adalah satu-satunya tatapanmu yang akan senantiasa menghantuiku mulai saat itu sampai jauh-jauh hari berikutnya. Mungkin aku akan sedikit lupa, tetapi sesuatu akan membawanya lagi pada saat yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Mungkin kamu akan hadir mengetuk kepalaku dengan palu kenangan dan menancapkan paku kesedihan di sana. Mungkin….

Segalanya masih serba mungkin, bukan?

Pada akhirnya aku pergi, ke negeri yang jauh demi menjanjikan sesuatu agar hidup kita lebih baik. Nyatanya, semua malah memperburuk keadaan. Aku lupa memberi kabar sebab di sana aku bekerja penuh waktu dan sering berhadapan dengan razia. Sering, berhari-hari aku harus bersembunyi di hutan dan terus berlari bersama sesama imigran gelap. Kami diburu seperti kawanan penyakit yang harus segera dibasmi. Bila tertangkap, aku akan dipulangkan dan kembali mengulang cerita yang sama denganmu. Aku tidak berani.

“Terima kasih, aku suka kalungnya.”

Kamu tampak bahagia sekali, kita merayakan ulang tahun pernikahan dengan sederhana dan itu membuatmu merasa segala bentuk keberuntungan telah ditumpahkan di hadapanmu. Tanpa percakapan yang diperpanjang lagi, kamu tersenyum malu-malu dan memelukku dengan mesra, lalu kata itu kau ucapkan berulang kali di telingaku, “aku sayang kamu, mas.”

Saat itu, kamu tahu? Aku menangis keras-keras dalam bak mandi.

Selanjutnya, aku benar-benar jauh darimu. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana caramu merawat ketabahan sendirian. Saat sesuatu belajar menendang dalam perutmu. Saat setiap senja kamu habiskan dengan menunggu jadwal kepulanganku di terminal. Seolah kamu memiliki rute lain yang mesti kamu lalui dalam sepi. Bahkan kamu tidak peduli dengan omongan orang-orang yang mulai menganggapmu gila.

Sebenarnya, ada berapa banyak cerita tentang perempuan yang menunggu?

Lalu datang kabar yang tak pernah kusangka sebelumnya. Kabar yang menyebabkan sebagian diriku ikut lenyap bersamamu. Masa depan menjadi semacam lorong panjang yang harus kulalui sendirian. Aku limbung. Orang-orang menenangkanku dan hampir saja aku terjatuh dari atap gedung tempatku bekerja. Aku belum sepenuhnya sadar. Saat aku kembali mengingat telepon dari kampung.

“Pulanglah, istrimu meninggal.”

 

 

Tentang Penulis

Ahmad Zaidi, lahir dan tinggal di Situbondo. Seorang petani.


Cerpen: Gerimis dalam Ingatan Cerpen: Gerimis dalam Ingatan Reviewed by Redaksi on Mei 01, 2024 Rating: 5

4 komentar

  1. Zaidi selau bisa mengobok kesedihan.

    BalasHapus
  2. Saya tidak mau menunggu kelak, untuk merindukan karya-karya Mas Zaidi. Hari ini pun, jika di baca sehari dua, rasanya kurang. Seperti sebuah malam pertama sepasang kekasih, yang tak enak jika dilakukan hanya sekali saja.

    BalasHapus