Tentang Anggota DPRD dan Aspirasi Rakyat

 


Oleh Abdul Wahab*


Salam Perjuangan. Saya merasa bahagia sebagai anak Sumberanyar,  pasalnya,  sejauh perjalanan demokrasi elektoral di Indonesia, baru pada 2024 Desa ini punya kader yang duduk sebagai legislator daerah.

 

Tak sekedar itu, legislator yang terpilih masih muda dan progresif, punya ide dan berkomitmen pada agenda kerakyatan. Anak muda itu biasa disapa Yogi.

 

Berkenaan dengan fungsi DPRD, dalam berbagai pertemuan, baik di warung kopi, acara warga, maupun diskusi resmi, satu pertanyaan yang kerap diajukan adalah: "Bisakah anggota DPRD memperjuangkan aspirasi rakyat di luar program komisinya?" Pertanyaan ini mungkin tampak sederhana, tetapi mengandung persoalan mendasar tentang fungsi representasi dan artikulasi kepentingan publik dalam politik lokal.

 

Jawaban saya: tentu bisa.

 

Komisi dalam DPRD memang dibentuk untuk membagi ruang kerja berdasarkan urusan pemerintahan. Ia ibarat spesialisasi tugas agar fungsi pengawasan, legislasi, dan anggaran berjalan efektif. Namun, seorang politisi bukan sekadar operator teknis yang tunduk pada pembidangan komisi. Ia adalah representasi politik yang memikul janji-janji perjuangan kepada rakyat pemilihnya. Maka, aspirasi rakyat yang disampaikan, bahkan di luar bidang komisinya, tetap dapat diperjuangkan melalui berbagai mekanisme negosiasi, lobi anggaran, dan forum resmi DPRD lainnya.

 

Dalam konteks ini, peran seorang anggota DPRD menempati posisi strategis dalam siklus perencanaan pembangunan daerah. Meskipun bukan pemegang kuasa anggaran, anggota DPRD memiliki kekuatan untuk menyampaikan pokok pikiran rakyat sebagai hasil dari reses, jaring aspirasi, maupun pertemuan informal. Pokok pikiran ini lazim disebut sebagai “dana aspirasi” atau POKIR, dan seringkali menjadi landasan kebijakan dalam pembahasan APBD.

 

Memang benar, istilah “dana aspirasi” tidak disebutkan secara eksplisit dalam undang-undang. Namun, dalam UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3), terdapat konsep Program Pembangunan Daerah Pemilihan yang menjadi payung formal bagi keterlibatan anggota dewan dalam pembangunan di daerah pemilihannya. Dalam praktiknya, POKIR menjadi instrumen politik yang menjembatani suara rakyat dengan proses penganggaran daerah.

 

Namun di sinilah letak tantangan besar itu. Dalam memperjuangkan aspirasi, seorang anggota DPRD tidak bisa bekerja sendirian. Dibutuhkan partisipasi aktif masyarakat sebagai pengontrol, penyampai, sekaligus pengingat akan amanah publik. Di sinilah pentingnya gerakan ekstra parlementer—gerakan rakyat di luar institusi formal yang mendorong agenda perubahan dari bawah.

 

Gerakan ekstra parlementer bisa bersifat sementara (ad-hoc), seperti aksi mahasiswa atau petani saat menyuarakan tuntutan, atau bisa juga melembaga dan berkelanjutan seperti LSM, NGO, maupun ormas sipil lainnya. Dalam sejarah politik demokratis, kekuatan sipil di luar negara inilah yang sering menjadi benteng terakhir melawan potensi penyimpangan kekuasaan. Karena, sebagaimana Lord Acton pernah mengingatkan: “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely.”

 

Dengan demikian, kolaborasi antara rakyat, pemerintah daerah, dan wakil rakyat di DPRD harus dijaga sebagai bentuk kemitraan kritis. DPRD bukanlah menara gading, tapi perpanjangan tangan rakyat. Sementara rakyat bukanlah penonton, tetapi aktor utama dalam panggung demokrasi lokal.

 

Akhirnya, apapun profesi dan posisi kita—sebagai legislator, birokrat, petani, guru, atau mahasiswa—semua memiliki peran dalam menjaga marwah republik ini. Karena demokrasi tidak tumbuh dari pemilu lima tahunan semata, tapi dari keterlibatan warga dalam setiap tahap pembangunan dan kebijakan publik.

 

Selamat bekerja untuk negeri. Jangan lupa ngopi!


__

*) Penulis merupakan anak Sumberanyar Banyuputih yang terdampar ke luar pulau.

 

Tentang Anggota DPRD dan Aspirasi Rakyat Tentang Anggota DPRD dan Aspirasi Rakyat Reviewed by takanta on Mei 12, 2025 Rating: 5

Tidak ada komentar