Wajah Tanpa Daging dan Para Pengemis Berjubah
Oleh Nurul Fatta*
“Di akhirat kelak,
para pengemis akan muncul dengan wajah tanpa daging sebagai hukuman atas
perbuatan mereka di dunia.”
Kalimat itu keluar
dari mulut Kiai Jarwo, dan terus menghantui kepala Yudi Pecet tiap kali melihat
seorang perempuan tua pengemis menggendong bayi di seberang toko tempat ia
bekerja. Perempuan itu suka memonyongkan mulutnya kalau tak diberi selembar
uang oleh orang-orang yang melintas. Dan entah kenapa, Yudi Pecet belum yakin
tentang wajah pengemis yang bangkit tanpa daging di akhirat kelak. Benar gak
ya? Benar gak ya? Terus bertanya-tanya.
Begitulah cerpen
Adriyansah Subekti yang saya baca di Kompas, edisi 7 Mei 2025, membuat saya
ikut terbawa suasana. Bahkan sebelum sampai ke akhir ceritanya, saya langsung
teringat pengalaman pribadi di Situbondo. Kala itu saya sedang jalan-jalan
bersama istri dan anak saya yang masih bayi, berhenti di lampu merah depan SMP
1 Panji. Seorang pengemis perempuan mengetuk kaca mobil. Saat itu, istri saya
kerepotan ambil uang, dan saya tak sempat memberinya apa-apa.
Si pengemis lalu
ngedumel, marah-marah, lalu pindah ke mobil lain, sambil menggerutu. Wajahnya
sewot. Suaranya tinggi. Katanya, hanya minta sedikit, masa nggak diberi? Saya
mengingat betul momen itu.
Tapi yang paling
membekas bukan si pengemis itu.
Yang tiba-tiba
muncul dalam kepala saya adalah wajah beberapa kiai belakangan ini. Tentu,
bukan semua kiai. Ada satu, dua, sampai tiga mungkin. Hanya beberapa yang
belakangan ini getol bersuara, setelah Pilkada 2024 kemarin selesai dan
jagoannya kalah.
Kiai-kiai yang saya
maksud, sebelumnya diam seribu bahasa ketika Bupati sebelumnya terseret kasus
korupsi. Tak ada ceramah, tak ada nasihat. Seolah-olah kekuasaan adalah tempat
suci yang tak boleh diganggu, atau memposisikan netral saja--terlalu terdengar
hipokrit memang.
Lalu ketika
kekuasaan berpindah, mereka berubah galak. Misal soal "pembelian mobil
dinas" oleh Pemkab Situbondo dikritik habis-habisan, atau soal "dana
hibah yang tak dicairkan", mereka berkoar-koar di media online. Semua
ribut kalau sudah menyentuh urusan uang.
Saya tidak untuk
membela pemerintah, saya tidak anti-kritik, karena pikiran-pikiran saya lahir
dari kritik itu sendiri. Saya juga percaya bahwa tokoh agama perlu bersuara.
Tapi saya hanya heran, kenapa suaranya baru keluar saat jatah tidak turun? Saat
kepentingan tidak terakomodasi? Saat amplop tidak sampai?
Kritik atas nama
umat kecil, katanya. Tapi apa iya? Atau jangan-jangan itu hanya dalih untuk
menutupi rasa kecewa karena akses terhadap kekuasaan dan sumber daya sudah
tertutup? Kalau begitu, bedanya mereka dengan pengemis di jalan apa?
Saya jadi ingat
kembali cerpen tadi. Di bagian akhir, Yudi Pecet membuntuti si pengemis tua ke
sebuah gang sempit. Ia melihat perempuan itu menyerahkan bayi dan uang hasil
mengemis kepada seorang laki-laki tua renta. Ternyata... itu Kiai Jarwo. Kiai
yang dulu berceramah soal wajah tanpa daging. Dan sejak saat itu, Yudi percaya,
sepenuh hati, pada kata-kata gurunya.
Ironi memang sering
terasa seperti fiksi. Tapi kadang, justru fiksi yang membuka mata kita terhadap
kenyataan.
Dan saya pun
bertanya-tanya, kalau pengemis muncul dengan wajah tanpa daging di akhirat
nanti, bagaimana dengan mereka yang mengemis kuasa atas nama agama?
__
*) Penulis merupakan
konsultan politik nasional. Asli Situbondo, sekarang tinggal sementara di
Jakarta.
Editor: Hans.

Serem anjir 🥲🥲🥲🥲
BalasHapus