Perempuan dalam Pusaran Konflik Agraria di Indonesia



Oleh : Agus Hiplunudin
Perempuan bekerja baik dari desa ke kota maupun dari desa ke luar negeri tak lain tujuannya adalah untuk mencari nafkah, memang terdapat keserba-salahan di sini—ketika perempuan di rumah ia menjadi sosok yang tak berdaya karena tidak bisa menyediakan sandang, pangan, dan papan bagi keluarga. Dan ketika perempuan di luar rumah sebagai pencari nafkah, hidup mereka tidak tertolong mereka tetap saja menjadi sosok terpuruk dan terpojok di wilayah domestik. Hal inilah yang kemudian memicu krisis bagi perempuan.
Mengenai keterlibatan perempuan dalam dunia agraria, hal ini cukuplah menarik untuk disimak. Sejalan dengan maraknya perkebunan di Indonesia, berikut keterlibatan perempuan di dalamnya, ternyata menyimpan sisi gelap bagi perempuan. Sebagai gambaran hal itu dapat dilihat dari “Laporan Hasil Kinerja Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, pada Tahun 2012. Adapun laporan tersebut adalah sebagai berikut;
Pemantauan KtP (Kekerasan terhadap Perempuan) dalam Konflik Sumber Daya Alam (agraria) dan Pemiskinan Terhadap Perempuan. Pemantauan ini dilakukan di beberapa wilayah perkebunan sawit dan pertambangan, antara lain konflik SDA di Lapindo di Jawa Timur, Sape di Kabupaten Bima, dan Ogan Ilir Lampung. Laporan ini fokus bagaimana dampak konflik SDA dan terhadap pemiskinan perempuan, dimensi KtP dan bagaimana survival perempuan korban. Kajian pemiskinan ini dilihat dari skema HAM, menelisik peran non state actor dari corporate dan agen-agen lain, ketersentuhan dengan isu sektor keamanan, dan rekomendasi kepada negara.  Ditemukan ada 5 (lima) pola pemiskinan yang terjadi dalam konflik SDA (agraria), yakni Perempuan sebagai properti dan komoditi; Alat pelanggeng reproduksi sosial; Pengabaian perempuan berbasis kelas; Intervensi pasar/capital; Mengecilkan peran perempuan sebagai penjaga pangan/ kedaulatan pangan. Juga ada 7 (tujuh) pola survival perempuan dan pemiskinan, yakni Menikah dan Kontrasepsi; Pergundikan dan Pacaran; Berhutang dan Menjual Barang; Alih profesi; Alih konsumsi; Spiritual (Adat, berdoa, pasrah); Memungut. Selanjutnya Pemerintah didorong tidak mengkriminalisasi perempuan korban konflik SDA yang melakukan pola-pola survival perempuan dalam pemiskinan, sebaliknya mengaku dan melindungi perempuan korban pemiskinan dalam konflik SDA. Lebih lanjut bencana ekologis yang terjadi di Sidoarjo dengan semburan lumpur Lapindo sesungguhnya mendatangkan kerugian bagi perempuan. Prinsip kehati-hatian yang diabaikan oleh para investor tambang menyebabkan perempuan tercerabut dari kehidupan sosial dan ekonominya. Sebutlah perempuan harus kehilangan harta bendanya, usaha produktif untuk mengidupi diri dan anak-anaknya, dan hilangnya ruang sosial mereka. Ketiadaan data terpilah antar perempuan dan laki-laki tidak pernah ada baik sebelum kejadian maupun sesudah kejadian. Sehingga perhitungan kepemilikan aset laki-laki dan perempuan misalnya tidak dapat dilakukan. Dalam Penetapan-Penetapan Presiden yang lahir sesudah bencana juga tidak ada perhitungan mengenai data tersebut, ini juga menggejala dalam keputusan parlemen, dalam perhitungan ganti rugi yang dilakukan oleh  PT. Lapindo Brantas. Komnas Perempuan di tahun 2011 juga sudah mengeluarkan Laporan Pemetaan Pelanggaran Hak Asasi Perempuan dalam Bencana Luapan Lumpur di Kec. Porong, Kab. Sidoarjo –Jawa Timur: Pengabaian dari Mula Belum lagi jika kita melihat posisi perempuan di lokasi pengungsian, dengan fasilitas seadanya dan ruang yang sangat terbuka, rasa aman dan nyaman dan bagi perempuan korban tidak ada lagi. Malah ruang terbuka ini mendatangkan dampak buruk bagi anak-anak. Baik dalam pergaulan maupun pendidikan yang semestinya didapatkan. Perempuan yang hidup di pengungsian kini, tidak pernah tahu sampai kapan mereka akan tinggal di pengungsian. Untuk itu, mereka survive dengan cara  (1) membangun sesuatu yang tidak disediakan di lokasi pengungsian seperti taman kanak-kanak, juga (2) menelusuri informasi yang kurang dan membuat tuntutan hukum dan rehabilitasi lingkungan. Lebih lanjut, kemiskinan dan pemiskinan terjadi karena paling tidak dua hal mendasar; struktur yang tidak adil dan kebijakan pembangunan yang bias, yang mencabut sumber-sumber kehidupan sampai tingkat desa bahkan rumah tangga. Akumulasi kapital korporasi yang didukung negara merusak sumber-sumber kehidupan. Lahan subur terganti menjadi pertambangan, perkebunan, industri, dan perumahan. Sumber air dikalahkan untuk kepentingan korporasi, sehingga petani tidak mendapatkan kecukupan air untuk menopang kehidupannya. Kondisi ini memaksa perempuan bekerja apa saja untuk bertahan hidup bagi dirinya maupun keluarganya. Pilihan pekerjaan yang ada adalah menjadi pekerja rumah tangga, pekerja migran, buruh pabrik, buruh tani, buruh kebun, atau menjadi pekerja seks atau perempuan yang dilacurkan (pedila). Karena lapangan pekerjaan yang tesedia tidak menghargai keahlian yang dimiliki perempuan, seperti: pengetahuan mengenai benih, pengelolaan pertanian dan pengetahuan kekayaan intelektual dalam hal berkesenian (membatik, membordir, menari).
Dalam hal ini dimana kiprah perempuan tani dalam perjuangan tata kuasa lahan dalam agraria tidak dapat diremehkan. Tanah kawasan hutan yang dikuasai oleh pemerintah adalah bukan atas nama perempuan atau laki-laki, tapi tanah petani. Tanah rakyat. Gerakan perempuan sudah selayaknya terlibat aktif dalam gerakan tani, meski begitu pada ranah domestik dan fase perjuangan selanjutnya yakni fase penataan produksi masih terdapat ketimpangan pembagian kerja antara perempuan dan laki-laki. Masih banyak kaum perempuan tani yang tidak percaya diri akibat dari terlalu lama mengalami penindasan.
Salah satu caranya—agar perempuan bergeliat  maka perempuan harus terlibat dalam politik agar mereka dapat memperjuangkan kaumnya sendiri. Rendahnya perwakilan perempuan di parlemen, itu menandakan bahwa selama ini politik masih berwajah maskulinitas, sehingga politik begitu tidak peka gender—dan ini sangat mungkin membuat perempuan mengalami penindasan pada ranah agraria.

Biodata Penulis
Penulis adalah pengarang buku “Politik Gender. Alamat Sekarang: Perum Persada Banten Blok D3 No.1, Kelurahan Teritih, RT 06/07 Kecamatan Walantaka, Kota Serang-Banten. Email: agus.hiplunudin@yahoo.com. Fb : Agus Hiplunudin. Phone      : 081-774-220-4.

Perempuan dalam Pusaran Konflik Agraria di Indonesia Perempuan dalam Pusaran Konflik Agraria di Indonesia Reviewed by takanta on Maret 19, 2018 Rating: 5

Tidak ada komentar