Cerpen Kota Tanpa Telinga



Ini nukilan dari perjalananku, perjalanan panjang yang bertumpu pada sebuah harap untuk menemukannya. Tapi sebelum aku sampai pada tempat yang kutuju-pada titik akhir dari perjalananku, aku terkejut ketika sampai pada satu kota. Kota yang sebelumnya belum pernah kulihat dalam peta, kota yang sama sekali belum pernah kudengar. Kota itu adalah kota yang penduduknya tidak punya telinga.
Mereka hanya bertukar senyum atau melambaikan tangan sebagai tanda saling sapa.  Mereka hanya menunjuk atau menuliskan apa yang menjadi keinginan mereka. Seperti ketika mereka ingin membeli pakaian atau makanan atau juga kebutuhan lainnya mereka hanya mengarahkan jari telunjuk kepada penjualnya. Penjualnya menuliskan harga pada secarik kertas. Pembeli membayar lalu pergi. Seperti itu transaksi jual beli yang ada di kota ini.
Meski semua penduduknya tak mempunyai telinga tidak lantas kota ini menjadi hening. Hening seakan menjadi hal yang tidak pernah ada di kota ini, karena hal itu kulihat secara langsung. Setiap mulut warga kota selalu bergeming dan susah untuk menutup. Jelas kusaksikan setiap penduduk kota selalu bicara meski lawan bicaranya tidak pernah bisa mendengar. Kupikir aneh. Bagaimana diantara penduduk mampu menerima suara-suara itu sementara mereka tak punya telinga? Apakah memang mereka memberi pemakluman yang lebih akan hal itu?
Satu keanehan dalam diriku bertaut dengan keanehan yang lain. Ganjil seakan berpadu dengan ganjil lain, melebur sampai akhirnya menjadi genap. Kulihat bangunan di kota ini sebagai gambaran sebuah modernitas, menurut pikiranku dan mungkin juga secara umum. Mal dan gedung-gedung pencakar langit tumbuh subur di kota ini, kendaraan-kendaraan pribadi yang bisa dikatakan mewah berlalu-lalang di jalanan kota. Sementara kota ini tak ada dalam peta, tak ada dalam gambaran nyata atau setidaknya bisa kukatakan tak pernah kulihat. Aku berpikir, mungkinkah kota ini memang sengaja dihilangkan karena kekurangan para penduduknya yang tak punya daun telinga.
Jujur aku sangat penasaran akan hal itu. Kota yang para penduduknya tak punya telinga namun tak juga risau akan hal itu. Sekali waktu kutanyakan pada seseorang yang ada di kota ini yang usianya kutaksir delapan puluh tahunan. Kuambil secarik kertas. Kutulis satu pertanyaan perihal kota ini. Jari-jarinya lantas menari membalas pertanyaanku.
Mau mendengarnya atau membacanya? Begitulah yang ditulis kakek tua itu.
Aku membalas. Jika aku ingin mendengarnya saja daripada harus membacanya. Lalu lelaki tua itu bercerita.
Dulu, warga kota ini normal semua, mempunyai telinga semua dan bisa berfungsi seperti kebanyakan orang. Saat itu kota dipimpin oleh seorang yang rakus dan kejam namun selalu membual dengan janji manis tentang kesejahteraan. Si Pemimpin lebih tepat jika dikatakan sebagai diktaktor. Apa yang keluar dari mulutnya seakan menjadi harga pasti. Para penduduk tidak ada yang berani melawan keputusannya. Sekali melawan nyawa mereka bisa melayang dengan mudah, semudah tebasan parang dari algojo yang diberi tugas oleh diktaktor itu. Karena kediktaktoran itu pula, penduduk kota akhirnya muak dan memberanikan diri berbondong unjuk rasa ke rumah Si Diktaktor ketika dia mengadakan perayaan ulang tahunnya. Merah pekat-darah terus menetes karena unjuk rasa itu. Mayat-mayat bergeletakan di jalan bagai sampah setelah acara pesta.
Setelah itu, Si Diktaktor masih juga berkuasa. Unjuk rasa penduduk kota seakan sia-sia. Hanya menjadi panggung nyawa yang melayang, tak lebih. Sejak saat itu juga, semua penduduk kota semakin tenggelam dengan ketakutan mereka, meski mereka juga tak percaya lagi dengan ucapan manis dan janji busuk Si Diktaktor. Mereka yang muak dengan ucapan itu akhirnya memutuskan memotong telinga mereka sendiri. Lebih dari itu, bayi yang baru lahir juga dipotong telinganya. Supaya ketika mereka tumbuh dewasa tidak mendengar omongan Si Diktaktor.
Belum berhenti di situ. Kakek itu menceritakan versi lain kenapa penduduk kota ini tak bertelinga. Konon, dulu juga, ada seorang pemuda yang singgah di kota ini. Pemuda itu tak habis pikir, kenapa setiap penduduk kota suka sekali bergunjing. Ketika pemuda itu bertanya akan hal tersebut, dia justru dibentak oleh salah satu warga. Dia dicaci, ditendang dan diusir karena dianggap sebagai orang yang tidak tahu diri dan kebanyakan tanya. Akhirnya, pemuda itu meninggalkan kota, tapi sebelum dia jauh pergi dari kota, dia berdoa supaya setiap penduduk kota tidak bergunjing satu sama lain. Dan keesokan hari ketika penduduk kota itu membuka mata dari tidurnya. Mereka sudah tak punya telinga. Penduduk kota berpikir, mungkin Tuhan menghukum mereka agar tak mendengarkan hal-hal yang buruk-gunjingan. Telinga yang raib dari mereka pun turun ke anak cucu.
***
Begitulah yang diceritakan kakek itu. Aku tidak tahu versi mana yang benar dari cerita kakek itu. Aku hanya mengangguk dan pura-pura percaya akan dua cerita itu meski rasa penasaranku juga masih menyisa. Penasaran yang tersisa itu terus saja mendesak untuk keluar. Tapi kusadari, aku di sini hanya singgah. Bukan untuk menjadi penduduk kota ini. Kuurungkan untuk bertanya lagi.
Jeda panjang merambat diantara aku dan kakek itu. Dia meminta minuman kepadaku. Dia merasa haus karena sedari tadi bercerita. Kuturuti perintahnya. Tak lama berselang aku kembali ke tempat kakek itu. Dengan rakus air minum itu ditandaskannya. Bunyi keluar ketika air minum mengalir di tenggorokannya. Aku hanya melihatnya saja. Tak lama setelah itu aku minta pamit pada si kakek.
Ketika aku hendak pergi meninggalkannya, aku berpikir tanggung jika aku tak menuntaskan rasa penasaranku. Kembali kutulis pertanyaanku di secarik kertas yang sama saat aku bertanya padanya tadi. Kakek itu hanya menulis, Hati-hati!
Dia juga memberi tanda bahwa aku harus mendekat. Mulutnya ditujukan ke telingaku seakan ingin berbisik.
Jeritku memecah langit. Digigitnya telinga kiriku. Aku mengerang, tubuhku memberontak tapi gigitannya begitu kuat. Aku terus memberontak hingga akhirnya tubuh kakek itu terjatuh ke trotoar. Tak pernah kusangka, pertanyaanku tentang kenapa kota ini tak ada di peta berakhir dengan seperti ini. Aku berlari meninggalkan kakek itu. Di tengah lari teriakan kakek itu kudengar dengan samar. Dia mengatakan, “Aku berbeda denganmu. Jika dulu aku masih diberi kesempatan oleh penduduk kota ini. Sekarang kau tidak kuberi kesempatan.”

Biodata Penulis
Ruly R, tinggal di Karanganyar, Jawa Tengah. Bergiat di Komunitas Kamar Kata Karanganyar (K4) dan Litersi Kemuning. Kumcernya yang akan segera terbit berjudul Cakrawala Gelap dan Novel pertamanya yang akan segera terbit berjudul Tidak Ada Kartu Merah. Surat menyurat: riantiarnoruly@gmail.com

Cerpen Kota Tanpa Telinga Cerpen Kota Tanpa Telinga Reviewed by takanta on Mei 13, 2018 Rating: 5

Tidak ada komentar