Panduman, Membuatku Jatuh Cinta Pedalaman



Cerita ini berawal dari keisenganku mengklik pranala pendaftaran yang ada di status teman. Setelah mendaftar aku tidak pernah memikirkan apapun tentang kegiatan ini. Nusantara Youth Care Chapter 2, namanya. Aku masih belum tahu banyak, tapi ada teman sekelasku yang sudah terjun di dalamnya.
Hari ini pengumuman, tapi aku sendiri lupa bahwa aku sudah mendaftar. Temanku mengisim pesan, bertanya apakah aku mendaftar kegiatan NYC Chapter 2? Segera kubuka instagram untuk melihat info, dan benar malam ini pengumuman tapi aku belum mendapat pesan apapun. Teman sekelasku itu kemudian memberi tahu bahwa aku lolos, dan dia yang mendapat mandat untuk menyampaikan pengumuman ini kepada relawan bidang sosial. Aku garuk-garuk kepala atas keisenganku itu.
Beberapa hari setelah pengumuman itu, diadakan tahap wawancara sebelum pengumuman final. Dan saat itu aku sedang pulang ke rumah. Aku hubungi teman sekelas yang lebih dulu terjun di komunitas itu. Dia berkata gampang, seolah aku adalah salah satu orang yang memanfaatkan sistem orang dalam atau nepotisme. Aku tertawa sendiri jika mengingat itu.
Sebelum melaksanakan kegiatan aksi pada nantinya, aku harus melakukan pelatihan terlebih dahulu sekaligus meet up pertama dengan mereka. Aku memilih bidang sosial tanpa tahu bagaimana di dalamnya. Aku tiba di lokasi pelatihan, yang kukenal hanyalah teman sekelas. Masuk ke dalam ruangan, menunggu dan pada akhirnya dimulai. Materi yang diberikan adalah tentang pengenalan Nusantara Youth Care, kerelawanan, dan gambaran tentang aksi. Diselingi dengan ice breaking sekaligus tahap mengenal satu sama lain.
Di tahap ini ada sesi berkupul perbidang. Aku jadi tahu siapa teman sebidangku dan siapa koordinatornya. Kami menyusun rencana yang akan dilakukan saat aksi. Merengreng kebutuhan dan menyusun jadwal. Saat waktu habis, kami kembali ke ruangan untuk mempresentasikan hasinya.
***

Setelah berfikir ulang berkali-kali. Kegiatan ini adalah kegiatan real berbasis kerelawanan yang pertama kali kuikuti. Sekali aku tercebur ke kolam buaya, maka aku harus berenang hingga ke tepi melewati semua buaya-buaya itu. Akan lanjut? Pasti.
Kenal dengan koordinator bidangku sekaligus ketua pelaksana kala itu adalah suatu keberuntungan besar, Haidar namanya. Ia mengenal pamanku yang ternyata adalah seniornya. Satu jurusan dan satu organisasi. Aku tahu dari status whatsaap mereka yang sama dan akhirnya memberanikan diri untuk bertanya.
“Mas, nanti pas ke tempat aksi saya numpang ya?” ucapku padanya. Aku sedikit tahu bagaimana rute menuju kesana, dan aku tidak bisa membayangkan bagaimana jika motor kesayanganku akan melewati jalan itu.
“Siap mbak, pasti saya jemput. Sudah dapat mandat ini dari ketum,” jawabnya.
“Pamanku bilang gimana?”
“Nitip ponakanku. Kalau aku ndak becus, bisa dipecat aku mbak.”
Aku hanya tertawa mendengarnya. Jadilah aku wanita beruntung yang merasa memiliki bodyguard karena perintah paman. Koordinasi menjadi lebih mudah karena dengan waktu yang sedikit kami mulai mengenal satu sama lain. Pernah sekali meet up bidang sosial di alun-alun Jember menjelang hari aksi, hanya empat orang yang datang dan pada akhirnya naik becak goes bersama-sama.
***
Semangatku semakin menggebu-gebu menjelang hari aksi. Jemputan sudah menunggu di pintu gerbang kost. Segera kulangkahkan kaki untuk menemuinya dengan tas yang berisi perbekalan selama beberapa hari. Kami mengarungi kemaraian kota menuju basecamp. Meneliti satu per satu perlengkapan yang akan dibawa.
Air turun membasahi jiwa yang mulai redup. Membuat kegelisahan menyelimuti. Waktu keberangkatan terpaksa mundur menunggu langit kembali cerah. Aku hanya bisa berdiam diri tanpa melakukan apapun. Aku yang saat itu menjadi peserta (relawan) hanya bisa menunggu perintah, yang bertindak untuk mengatur semuanya adalah panitia.
Semua persiapan telah selesai. Hujan telah menghentikan alunan syahdunya. Kami segera bersiap-siap. Mengatur pasangan bonceng-membonceng motor lalu berangkat agar tidak terlalu malam. Kami sampai di pertigaan untuk menunggu rombongan yang ada di belakang. Agar tidak ketinggalan dan tersesat arah. Setelah semua lengkap, kami melanjutkan perjalanan. Dan aku mendapat kesan pertama disana, aku masih setengah mengangkat kaki untuk naik ke atas motor, Haidar menarik gas yang membuatku relfek memukulnya karena hampir terjatuh.
Sesaat setelah azan Magrib berkumandang, kami sampai di polindes Panduman. Memarkir sepeda dan bersilaturahmi kesana sembari menunggu tuan rumah yang nantinya akan kami jadikan basecamp selama tiga hari. Melaksanakan kewajiban lalu dilanjutkan dengan diskusi ringan. Makan malam tersedia dengan rapi setelah kami kembali dari musala.
Makan malam kali ini termasuk salah satu ajang adaptasi dan perkenalan lebih jauh lagi. Inilah mereka-mereka yang akan menghabiskan waktu tiga hari bersamaku di pedalaman Sumber Candik, Desa Panduman, Kecamatan Jelbuk, Kabupaten Jember. Setelah makan malam selesai, kami masih belum beranjak karena terlalu asyik dengan zona kala itu. Terlebih masih ada beberapa orang yang kami tunggu karena harus berangkat terlambat.
Mereka datang, tapi pemilik rumah yang akan kami tempati nantinya masih belum juga sampai. Suara motor mendekat ke arah polindes, teman-teman panitia mengenal betul suara motor itu. Dan benar, Pak Rus namanya. Dia datang dengan kasur dan bantal guling baru. Aku mulai berfikir jangan-jangan ia membeli itu semua karena kami akan menumpang di tempatnya. Jika ia, betapa mulianya.
Hari mulai malam, tetapi ada satu yang membuat kami masih belum beranjak untuk melanjutkan perjalanan menuju rumah Pak Rus. Beliau berkata kami mendapat keberuntungan karena malam ini diselenggarakan arisan kesenian di salah satu rumah warga. Acara itu merupakan acara arisan warga Desa Panduman, dan siapa yang mendapat arisan tersebut pasti mengundang gamelan dan penyanyi untuk hiburannya.
Tunggu apalagi, kami tidak mungkin melewatkan kesempatan itu. Kami segera berangkat ke rumah tersebut dengan menggunakan motor dengan rute yang tidak begitu mudah dilalui. Turun, menanjak, batu, tanah, lumpur dan sempit menjadi tantangan malam itu. Kami sampai, dengan sambutan yang meriah dari tuan rumah. Kami digiring masuk ke dalam rumah dan disediakan hidangan khas desa. Lalu dipersilahkan untuk menikmati hiburan yang ada. Suasana desa sangat terasa malam itu. Tidak seperti desa lainnya, yang mungkin kesenian tradisional mulai menghilang dikikis oleh zaman dan era global. Di desa ini masih kerap kali mengadakan dan melestarikan kesenian tradisional.
Kami tidak bisa berlama-lama meski sebenarnya kami sangat menikmati. Perjalanan harus segera dilanjutkan karena masih ada tugas yang harus kami selesaikan. Kembali ke polindes untuk mengambil barang dan semua perlengkapan, lalu naik ke atas menuju rumah Pak Rus. Bukan rute yang bisa dibilang mudah karena jalan menanjak dan tidak begitu mulus. Terlebih tidak ada penerangan yang memadai. Hampir saja masuk ke lubang besar di tengah jalan yang membahayakan, bahkan teman kami ada yang hampir mundur namun berhasil menahan motor lalu menarik gas perlahan-lahan.
Belok kanan sedikit, turun dan kami sampai di sebuah yang bisa dibilang lebih mapan di banding rumah yang berada di sekitarnya. Di sana sudah tersedia rapi tempat kami, tempat istirahat untuk putri dan tempat istirahat untuk putra. Sebenarnya aku ingin segera tidur karena kelelahan di perjalanan. Namun disayangkan jika aku tidak menikmati malam di daerah pedalaman seperti ini. Udaranya masih segar.
Segera kami selesaikan pekerjaan yang belum rampung untuk kegiatan aksi esok pagi. Membuat head piece, membuat pohon cita-cita dan semua yang berkaitan dengan aksi pendidikan. Satu per satu terlelap dengan sendirinya di teras rumah. Pekerjaan rampung pukul 00.15 WIB. Dan kami harus segera memulihkan tenaga.
***
Kicauan burung menyambut pagi kali itu. Teman-teman duduk di teras rumah. Tidak perlu berjalan jauh, cukup di depan pintu aku melihat pemandangan indah yang memanjakan mata pagi itu. Kami harus bergantian dan mengantri kamar mandi yang jumlahnya hanya satu. Beberapa anak laki-laki yang telah siap pergi ke sekolah untuk memasang banner kegiatan dan menyiapkan segala sesuatunya.
Sabtuku di sambut dengan keceriaan dan tawa canda anak pedalaman kali itu. SDN 3 Panduman tempatku berbagi keceriaan kala itu. Ku ubah segala segi pandang dalam diriku, menjadi seorang periang yang tak memiliki beban apapun di hadapan mereka. Tugasku hanya satu kala itu, terlihat bahagia dan membuat mereka bahagia.
Acara dimulai dengan pembukaan lalu senam bersama. Tidak nanggung-nanggung aku berdiri di depan untuk memimpin senam Ge Mu Fa Mi Re. Mereka semua tercengang melihatku yang semula dianggab paling pendiam di antara mereka. Terkecuali Linda yang memang mengetahui background-ku di dunia pramuka dan bagaimana diriku di dalam kelas.
Kami segera membagi tugas untuk mengisi acara di dalam kelas, aku mendapat bagian di kelas 6, yang sebenarnya aku bukan divisi pendidikan. Aku yang biasa membina pramuka di sebuah SMP tentunya tidak akan kelabakan untuk mengisi beberapa jam dan berhadapan dengan anak Sekolah Dasar. Kami mulai berkenalan, berbagi keceriaan dan pengalaman. Aku jatuh cinta, dengan Liana dan Dewi, siswi kelas 6 di sekolah itu.
Siswa di sekolah itu bukan hanya anak-anak yang berada di sekitar sekolah. Banyak anak-anak yang menempuh perjalanan jauh dengan berjalan kaki. Jarak rumah mereka tidaklah dekat dengan sekolah, namun mereka melakukannya setiap hari. Dan saat ku tanyakan mereka akan kemana setelah lulus, hampir semua mencurahkan keinginannya untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
Siswa sekolah ini masih di bilang miris. Sebagian banyak siswa datang ke sekolah menggunakan sandal sebagai alas kaki, meski sebagian lainnya telah menggunakan sepatu. Seragam yang dipakai pun bisa dibilang lusuh. Entah sudah lama atau memang karena mendapatkannya dari pemberian. Sekolah dimulai pukul 08.00 WIB dan biasanya diakhiri pukul 11.00 WIB karena jarak tempuh yang dijalani oleh siswa cukup jauh.
Terlihat guratan wajah anak-anak pelosok desa yang masih polos. Tidak ada kebohongan yang terpancar di wajah mereka. Jauh berbeda dengan apa yang ku temukan di kota. Ketika semua manusia telah bersembunyi di balik topengnya masing-masing. Manusia itu memang memiliki banyak topeng, namun kita tidak pernah tahu topeng mana yang sedang ia gunakan.
Kami datang seakan memberikan air penghapus dahaga. Waktu istirahat kami gunakan untuk bermain sekaligus bersih-bersih lingkungan sekolah. Mereka terlihat sangat antusias. Setelah pemberian materi di kelas selesai, kami melanjutkan dengan penulisan cita-cita yang akan ditempelkan di pohon harapan. Lalu penulisan cita-cita lagi untuk dijadikan sebuah kapal kertas. Kegiatan pendidikan diakhiri dengan penerbangan kapal kertas dan foto bersama. Mereka diijinkan pulang namun kebanyakan dari mereka memilih untuk tinggal dan bermain bersama kami.
***
Berakhirnya kegiatan pendidikan bukanlah merupakan akhir dari kegiatan aksi NYC Chapter 2. Masih ada beberapa rangkaian acara yang harus kami lanjutkan. Sore hari ketika matahari tak menyengat, dan angin mengalun sayu. Kami mengelilingi dusun Sumber Candik dengan berjalan kaki. Bersilaturahmi ke satu rumah dan ke rumah lainnya untuk melakukan aksi kesehatan yaitu periksa gratis. Serta mendata lansia dan penduduk yang tidak mempunyai KK dan KTP.
Kegiatan ini tidak berlangsung dengan maksimal karena keterbatasan alat. Tapi setidaknya kami telah melakukan dengan semampunya. Kebanyakan yang kami temukan adalah lansia dengan penyakit hipertensi. Juga dari lansia tersebut tinggal di rumah seorang diri tanpa keluarga, anak ataupun cucu. Mirisnya, terdapat seorang nenek yang sudah tidak bisa melakukan kegiatan apapun. Ia hanya bisa berbaring di tempat tidur dan melakukan semuanya di sana dengan bantuan orang lain. Saat kami menemuinya, anak dan keluarganya sedang tidak berada di rumah.
Kami hanya mampu bersilaturahmi ke beberapa rumah saja karena jarak antara dan satu rumah tidak begitu dekat. Sedangkan hari mulai menampakkan perubahan warna langitnya. Kami kembali ke basecamp untuk bersih diri dan menanti azan Magrib tiba. Beberapa orang harus pulang hari ini, Fina dari divisi kesehatan dan Haidar ketua pelaksana saat itu. Karena rasa tanggung jawabnya, ia telah menitipkan aku kepada salah satu peserta yang tidak memiliki penumpang agar bersedia mengantarku kembali dari desa aksi ke indekos.
Dua acara telah terselenggara. Hanya satu yang belum, yaitu aksi sosial yang akan dilaksanakan besok. Malam ini satu-satunya tujuan kami adalah menikmati indahnya malam. Kami di ajak Pak Rus untuk naik ke atas, ke pertigaan menuju RT 04 dan Dusun Tenap. Di sana terdapat sebuah warung kopi satu-satunya. Kami menikmati dinginnya malam sekaligus pemandangan lampu-lampu kota yang indah. Yang membuatku jatuh cinta dengan daerah pedalaman yang semula hanya ketidak-nyamanan yang aku pikirkan.
Saat itu aku mendapat banyak cerita dan pengetahuan. Tentang masa lalu seorang Pak Rus hingga saat ini bisa bertemu dengan kami. Masa lalu suram yang memberi kami pelajaran bahwa semua orang bisa menemui hidayah-Nya dan berubah menjadi orang yang berguna. Serta kami tidak perlu membenci bagaimana seseorang di masa lalunya. Karena bisa jadi orang itu di masa depan akan berubah 360 derajat dari masa lalunya. Biarlah kita bersama mereka saat ini untuk menjadi masa depan yang lebih baik tanpa memperdulikan seperti apa mereka di masa yang lalu.
Aku ingin tetap tinggal di dalam keindahan pedalaman. Namun ada yang memanggilku untuk pulang demi berbagi sepotong kisah ini. Tak terasa kenyamanan telah membuat kami lupa akan waktu yang tak pernah bisa dihentikan. Kami segera turun karena semakin lama udara terasa semakin dingin memeluk tubuh. Aku ingin kembali lagi untuk menemui lampu-lampu kota di atas puncak Sumber Candik. Nanti.
***
Pagi-pagi setelah sarapan, aku dan beberapa anak berniat mengunjungi salah satu situs yang sempat Pak Rus sebut-sebut. Namanya Selo Bonang, batu yang apabila dipukul akan menghasilkan nada yang berbeda-beda. Aku dan lima teman lainnya bergegas untuk pergi. Dua orang panitia terpaksa turun ke bawah untuk membeli peralatan aksi sosial yang lupa kami siapkan. Beberapa kali salah jalan akhirnya kami sampai juga. Dengan jalan yang ekstream, di kanan tebing dan di kiri jurang. Aku memilih untuk bejalan kaki saja. Sebenarnya kami belum puas, tetapi salah satu founder NYC menghubungiku dan meminta kami segera kembali ke basecamp.
Aksi sosial segera dimulai. membersihkan lingkungan sekolah dan daerah sekitar bersama-sama. Membenahi pot, membuat juglangan, menyapu halaman dan memperindah semuanya. Kami bersemangat karena beberapa siswa datang membantu kami tanpa diminta. Sembari bermain, sekaligus memberi pengertian kepada mereka bahwa sebentar lagi kami akan kembali ke kota.
Matahari mulai menyengat, mau tidak mau kami harus menyudahi kenyamanan ini. Setelah puas makan es di tengah sawah bersama Pak Rus. Kami berbenah dan membersihkan diri untuk pulang. Mengatur pasangan dan mulai menjauh dari Sumber Candik.
Desa itu merupakan desa yang memberikan banyak kenangan. Ada anak kecil yang sangat bersemangat untuk berangkat ke sekolah dengan jarak tempuh sekolah yang cukup jauh, menggunakan sandal sebagai alas kaki. Sedang kebanyakan siswa dan mahasiswa yang sudah duduk di bangku sekolah atau kuliah dengan nyaman malah tidak memiliki semangat.
Sumber Candik, Panduman. Tiga hari dua malam bersama mereka di sana. Membuatku belajar tentang apapun keadaan saat ini harus selalu disyukuri. Karena kita tidak pernah tahu bahwa diluar sana banyak orang yang tidak seberuntung kita. Dan belajarlah berbagi, jika tidak dengan harta, maka dengan inspirasi, motivasi juga senyum dan canda tawa untuk membuat mereka bahagia.
Terimakasih telah membuatku jatuh cinta dengan dunia pedalaman. Suatu ketika pernah aku ditanya “bagaimana jika jodohku kelak mengajak tinggal di pedalaman dan membuat peradaban baru?” tentu itu akan menjadi hal yang menyenangkan pastinya.
Hari itu aku berjanji akan kembali ke desa itu, ke Sumber Candik. Dan aku menepatinya beberapa bulan kemudian. Tepat di hari ualng tahunku yang ke-21. Melewatkan malam di puncak yang sama dengan orang dan cerita yang berbeda. Menemui Liana dan Dewi keesokan paginya. Mendapat sambutan pelukan hangat dari siswa SDN 3 Panduman. Ternyata sedikit yang kami lakukan disana menjadi kesan tersendiri untuk mereka. Cobalah berbagi.... yang di pedalaman, yang di pelosok, mempunyai cerita indah sendiri. []

Nusantara Youth Care Chapter 2
3 – 5 Agustus 2018

-Ilari Dawashy-


Biodata Penulis
Ika Wulandari. Memiliki nama pena “Ilari Dawashy”. Lahir di Bondowoso, 14 Nopember 1997. Anak pertama dari pasangan Muhamad Eksan dan Ria Farida. Kakak dari Retno Dwi Yanti dan Muhamad Nizar Zakaria.

Panduman, Membuatku Jatuh Cinta Pedalaman Panduman, Membuatku Jatuh Cinta Pedalaman Reviewed by takanta on Maret 31, 2019 Rating: 5

Tidak ada komentar