Menjadi Hamba: Membesarkan Allah, Mengerdilkan Diri


Hasil gambar untuk Bersujud HD
Di halaman kosan yang terang oleh lampu neon, saya duduk memperhatikan langit yang gelap. Menyeruput teh, dan menakar segenap gelisah kepada bayangan-Nya. Angin yang dingin tidak kuasa mendinginkan pikiran yang mendidih, hati yang kelimpungan, semua kecemasan yang bercampur aduk menjadi kekhawatiran.
Ada kebanggaan yang tiba-tiba saja runtuh, ada kepongahan yang dalam sekian detik luruh, ada kesalahan manusia dalam memaknai kata “Allahu Akbar”. Tidak hanya dalam salat, kalimat takbir ini acap kali diucapkan di jalanan, tulisan-tulisan yang terpampang di media sosial, diobral murah oleh orang-orang yang mengaku mujahid, diperdagangkan oleh para politisi dalam kampanye. Namun, sepertinya kata itu hanya didengungkan saja, kita kehilangan maknanya. Kalimat takbir itu meluncur deras dari mulut kita tentang kebesaran Allah yang Maha Agung, tetapi kita lupa mengkerdilkan diri sebagai seorang hamba.
Kata Akbar kita sifati sama dengan kegiatan-kegiatan yang sepele, menyandingkan keagungan Allah sebagai dzat dengan dimensi pencapaian manusia. Semisal; Rapat Akbar, Pengajian Akbar, Diskusi Akbar, Pemilihan Akbar dan sebagainya.
Maka tidak heran jika dalam sembahyang kita (baca;posisi sebagai hamba) terus saja merasa angkuh, kebathilan masih saja melekat, karena kepala yang tertunduk tidak mencerminkan hati yang melunak, sehingga kejadian fatalnya adalah melihat orang lain selalu kecil.
Anugrah Allah terkubur dalam kufur! Seperti kecerdasan, ketampanan, kecantikan, kedudukan, kekayaaan dan sebagainya. Seolah menjadi milik pribadi tanpa campur tangan Allah di dalamnya. Apalagi semua kelebihan yang melekat kepada diri dibenarkan oleh sebagian pandangan masyakarat sekitar. Bertambah sombonglah diri!
Manusia yang sudah terlalu mengangunggkan dirinya sendiri, sehingga percaya dirinya melampui batasnya sebagai seorang hamba---akan memaknai dirinya sebagai Tuhan baru---yang tumbuh dalam nuraninya. Kita terus melalaikan diri, berbuat dzalim atas nama agama, memaksakan kehendak, dan memandang jabatan dunia sebagai kekuasaan yang mutlak.
Seharusnya, sikap Tawaddud itu yang harus kita tanam, pelihara, dan menjadi bunga paling harum di sudut-sudut hati paling busuk.
Pada waktu tertentu Allah memberikan kita pelajaran-pelajaran kecil; mulai dari sakit, kematian, kegagalan, sampai musibah paling besar sekalipun. Yang semuanya itu tidak lain dan tidak bukan hanya untuk menjadi obat penyadaran bagi kita yang telah lalai.
Sekalipun kita diangkat menjadi seorang khalifah untuk mengambil peran menyelesaikan tanggung jawab sebuah jabatan. Kecongkaan yang berusaha menjamur di tangan-tangan kekuasaan seharusnya dipadamkan. Kambali sadar bahwa jabatan adalah hadiah Allah yang dianugrahkan untuk kemaslahantan umat dan agama.
Lihatlah perhari ini para pejabat semakin arogansi, membuat kebijakan seenak udel mereka. Merasa paling benar di atas keputusan-keputusannya. Jika menentang berarti lawan, jika terus menganggu kekuasaan maka siap-siap saja dihilangkan. Kenapa semua ini bisa terjadi? Sekali lagi, kita lupa menjadi hamba dan memilih menjadi Tuhan di atas muka bumi. Sehingga tidak ada yang berhak disembah selain kekuasaan.
Jika kita belajar kepada sejarah, di mana Amerika Serikat menjadi kiblat kekuasaan Negara adidaya. Dengan berdirinya dua bangunan pencakar langit WTC (Word Trade Centre) dan Pentagon sebagai simbol adiluhung. Dalam sekejap luluh lantah menjadi puing-puing kecil, menjadi butiran debu yang berserakan. Bangunan itu tidak lagi menjadi simbol kejayaan ekonimi, simbol kedigdayaan militer. Tepat 11 September 2011 manusia-manusia gempar simbol kepongahan itu hancur akibat serangan yang ditengarai oleh teroris.
Maka apa yang bisa dibanggakan? Sekelas Amerika saja hancur, apalagi negara kita yang hari ini mengalami sakit komplikasi. Mulai dari korupsi yang terus menjalar, pelanggaran HAM yang tidak pernah tuntas penyelesaiannya, Hak-hak korban penggusuran yang tidak terbayarkan, perusakan alam yang membabi buta. Penjarahan tanah-tanah pertanian, dan sebagainya.
Kalimat takbir semoga kembali didengungkan selaras dengan hati dan perkataan. Melantangkan kata Allahu Akbar merendahkan hati dan menundukkan kepala. Sehingga bunyi yang keras tidak melupakan jati diri sebagai seorang hamba yang kerdil dihadapan yang  Maha Kuasa yaitu Allah.
Kembali memikirkan hal-hal sederhana, tidak akan pernah membuat resah dan gelisah. Sebab  hakikatnya kita kembali melihat diri sendiri.
Allahu Akbar!
__________________
*) Penulis lahir di Bondowoso. Sekarang berdomisili di Bali. Ia merupakan salah satu pengiat literasi di “Perpustakaan Jalanan Lentera Merah Singaraja”. Lelaki yang men-dewi-kan ibunya. Suka menulis Cerpen, Esai, Puisi. Juara III lomba karya esai Festival Anti Korupsi 2017 yang diselenggarakan oleh Aliansi Jurnalis Independent (AJI) Denpasar dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Puisinya pernah menjadi kontibutor di CV. Saweupena Publisher, Aqla media, Mazemedia, Writing is Amazing WA Publisher Bukit tinggi-Sumatra Barat, Withim Of The 2nd Asean Poetry Writing Competition Them “Puisi dan Perdamaian”. TribunBali. Tulisannya juga bisa dilihat di Tatkala.co
Media sosial fb : Taufikur Rahman Al habsyi
Ig : @kokoopik
**) gambar: wallpaper kartun

Menjadi Hamba: Membesarkan Allah, Mengerdilkan Diri Menjadi Hamba: Membesarkan Allah, Mengerdilkan Diri Reviewed by takanta on November 22, 2019 Rating: 5

Tidak ada komentar