Cerpen: Dengan Rasa




Oleh: Muhtadi ZL*

Saat azan lima waktu berkumandang, aku ingin menjadi al-Quranmu, yang selalu kau lihat dan kau eja secara tepat sesuai makhroj dan tajwidnya. Tatapanmu tak pernah lepas dari rangkaian huruf hijaiyah itu. Ingin sekali aku seperti itu. Semoga kau mengerti bahwa setiap azan berkumandang aku ingin seperti al-Quran yang selalu kau pangku.

Namun jika tertidur, aku ingin menjadi mimpimu yang silih berdatangan sesuai doa yang kau panjatkan sebelum dirimu lelap bersama malam. Di sana aku bisa memergokimu bertemu dengan kekasih masa lalumu, kakak jauhmu dan kenangan manis yang tiba-tiba datang tanpa permisi dan salam. Lalu kau bangun secara spontan dan mengambil wudu’ untuk melupakan mimpi burukmu. Tapi meski aku hilang waktu itu, aku sudah cukup senang, karena aku bisa menemanimu di malam kelam, lebih bahagia lagi aku dapat mencari mimpimu di antara ribuan kembang tidur di dunia ini.

Lain lagi bila kau sedang berangkat sekolah, jujur aku ingin menjadi kacamatamu. Di sana aku bisa membantumu melihat sesuatu yang kecil sebab kornea matamu tak bisa menjangkaunya. Bukan hanya itu, aku akan tahu apa-apa yang kau lihat selama menggunakan seragam putih-abu-abu itu. Sekali lagi aku senang bisa membantumu dengan menjadi kacamatamu. Sungguh aku tidak bercanda, kau tahu sendiri kalau aku orangnya tidak begitu humoris, justru sebaliknya. Kuyakin kau tahu perangaiku.

Banyak yang bilang, kalau diriku sudah gila tingkat qutub. Kata kitab-kitab klasik, qutub itu tingkatan wali paling tinggi. Meski banyak cemooh yang menghujani hari-hariku, aku tak merasa terganggu atau sejenisnya. Aku biasa saja, sebab aku yakin kalu diriku bukanlah sesuatu yang berwujud. Tapi aku benar-benar ingin menyangimu, dan kuharap kau mengerti akan hal itu.

Bila kita berpapasan denganmu, kau selalu memasang wajah masam, acuh, mungkin lebih pasnya kusebut begitu. Bila tidak kusapa lebih dulu, kau akan menganggapku seperti lampu jalan, adanya tak kau hiraukan. Bukan aku tak sedih, tapi berhubung aku tidak punya hati untuk menampung semua sakit yang kau berikan aku telan bulat saja semuanya.

Memang aneh, jika kita dekat namun jarang berbicara laksana sandal yang selalu menyatu namun tak mau tahu jika satu hilang. Lalu mengapa kau selalu menganggapku tak ada, padahal aku ingin seperti mereka—temanmu—yang kau akrabi dengan senyum dan tawa yang pecah. Begitu lama kita tak melakukan hal itu, kuhitung, mungkin empat tahunan sudah. Itu waktu yang teramat lama, bagi orang yang menyayangi.

Sakit jangan ditanya, buka hati tidak meronta-ronta, dan mata tidak berlinang air mata, tenggorokan tercekik seketika. Semua aku tahan karena aku tidak mempunyai rasa, untuk menyimpan dan menghayati semua peristiwa yang berlalu begitu saja, seperti kau yang selalu mengacuhkanku ketika hendak tutur sapa. Aku teramat menyayangimu, tapi kau tak pernah paham maksudku melakukan hal itu. Ingin sekali aku menjelaskan semuanya, jika bagimu perlu dan baik untuk kita semua, kapan pun aku bisa selalu. Asal kau mendengarkan ongghu (betul), demi kamu orang pertama yang kusayangi.

Aku percaya apa kata remaja, mencintai tanpa dihargai, ibarat kucing yang tak disusui dan ayam ditabrak sepeda mati. Sakit. Sekali lagi aku tegaskan sakit, teramat sakit. Jika itu kau yang menglami, aku yakin kau lebih memilih diam dan bungkam, menikmati drama ala kadarnya. Namun aku juga menglami hal itu. Sekali lagi aku yakin kalau engkau tahu. Tapi mengapa kau tidak mengubah semua itu menjadi bahagia yang tidak dibatasi ruang dan waktu? Mengertilah, aku tidak pernah menganggapmu selingkuhan belaka, aku benar-benar menyayangimu, di sini aku belajar bertahan dari busur acuhmu yang membuatku, seringkali geram. 

Sakit bukan hanya menyapa kepala, mata, hidung dan telinga pun turut terdera.
Pernah suatu hari, aku mendatangimu yang terbaring dalam kamar. Aku duduk didekatmu. Kau memunggungiku. Aku diam, bisu. Takut menggangu ketenanganmu yang sedang menahan sakit. Entah penyakit apa itu, sebab ketika kusentuh kulitmu, panas menyetrum ke kulitku. Seringkali bila kau terbujur dengan sakitmu, kau selalu menggelengkan kepala. Padahal aku ingin membelikanmu nasi untuk makan. Andai kau tahu rasa khawatirku, mungkin kau tidak akan melakukan hal itu. Aku yakin. Tapi mengapa kau terus begitu sampai aku jemu dengan sikap apatismu?

Barangkali benar, jika mencintai tanpa dihargai itu sakit bahkan lebih sakit dari tertusuk  belati dan tangan terkena gergaji. Jika saja, hati yang sakit itu berdarah, maka aku pastikan berliter darah sudah kutampung, itu terlalu banyak. Sekali lagi aku mohon, mengertilah, terlalu lama aku menyimpan rasa ini, sebab aku tidak mau di antara kita ada drajat yang ditanggalkan karena kata cinta yang penuh misteri.

Padamu yang berkacamata, izinkan aku memilikimu walau sekadar dalam dimensi tertentu. Katakanlah penjara suci, atau sel yang akan membawa kita pada keabadian, keutuhan cinta yang sesungguhnya. Karena dengan begitu, banyak orang yang akan iri kepada kita karena bisa saja kita terlalu romantis untuk ditiru. Dan kuyakin mereka tak akan mungkin melakukan hal itu, karena di samping hal ini tentulah sangat langka dan jarang terjadi. Mengertilah, kau bukan seperti yang kau bayangkan atau yang sedang kau angankan. Kau adalah kau yang sudah menerima kodrat dari Sang Kuasa ketika umurmu masih empat bulan dalam kandungan.

Biarkan hati ini lebur bersama tawa, canda, senda gurau dan semacamnya. Aku mohon, aku ingin hal itu terjadi pada kita kembali, seperti beberapa tahun lalu. Sekali lagi, aku memohon, padamu yang berkacamata, biarkan aku menjaga rasa ini meski kau tetap dengan sikapmu, acuh dan begitu. Di sini, aku hanya bisa menahan sakit yang terus menjera dan membatku derita, berat untuk kupikul sendiri. Mengertilah, semua anggapanmu itu bisa saja salah dan bahkan memang salah. Di sini, entah untuk yang ke berapa kali, aku hanya bisa begitu, mencintaimu dalam diam.

***

Terkadang kepergianmu membuat aku tak bisa tidur. Padahal dari awal aku sudah mencanangkan agar engkau selalu ada di sisiku. Tapi begitu, semua laksana daun yang layu, landai diterpa angin,  jatuh ke tanah paling dingin, diam bersama malam yang sunyi, didekap gelap kabut hitam sampai pagi. Sungguh mencintaimu bukan takdir sejati, sebab di kerak hatimu tak ada benih cinta yang kutanam, melaikan aku memupuk  sayang yang selalu menjadi andalan Tuhan bagi seluruh hamba-Nya, agar hambanya ingat pada-Nya.

Kalimat panjang di atas belum seberapa perih, ada yang lebih sakit dan perih. Katika mata bulat penuh rindu ini tak melihat senymmu, buta sudah mataku. Barangkali begitu, sebab jika aku tak melihatmu satu hari saja, kiamat terasa ada di depan mata. Aku tidak tahu mengapa hal ini menjadi candu, tak bisa menatapmu. Penyiksaan paling sakit yang pernah kualami dalam hidup, di setiap embusan napasku kau tak ada di retinaku.

Padahal, aku yakin kau tahu, dulu, ketika kita masih ingusan seringkali jatuh. Tapi kita hanya menangis, lalu tak berapa lama kita tertawa kembali. Namun sakit yang timbul karena tidak bertemu atau menemuimu ini berbeda dari sakit yang telah lama kualami. Dari hal ini aku tidak mengerti bahwa cinta atau sayang yang pas untuk kekagumanku terhadap dirimu. Aku tak mengerti, jika kau tahu nama apa yang pas untuk rasa ini, secepat mungkin katakanlah padaku yang selalu mencari dan menunggu.

Padamu yang berkacamata, di bawah sinar lampu yang temaram, sering kali aku mendatangimu untuk mengecek keadaanmu atau keberadaanmu. Jika kau lelap bersama bunga tidur, tentu aku lega. Tapi jika kau masih mendelikkan mata, aku tak bisa apa-apa. Jika terpaksa mendekat, kau akan memalingkan tubuh dan wajahmu dari orang yang selama ini bertahan menahan rasa sakit yang merajam. Sebab cinta yang terlalu gila ini sudah utuh dan kekal dalam ulu hati. (*)

Annuqayah, 2019 M.
 
Muhtadi ZL, mahasiswa Institut Ilmu Keislaman (INSTIKA) Guluk-guluk, Sumenep, Madura dan Pengurus Perpustakaan PP. Annuqayah daerah Lubangsa. Aktif di Komunitas Penulis Kreatif (KPK) dan Komunitas Cinta Nulis (KCN) Lub-Sel. Akun Fb: Muhtadi.ZL dan  E-mail azzamdy09@gmail.com
Cerpen: Dengan Rasa Cerpen: Dengan Rasa Reviewed by takanta on Februari 02, 2020 Rating: 5

Tidak ada komentar