Festival Kampung Langai dalam Pembacaan Masyarakat

Ilustrasi : Antar Nusa

Oleh : Dedi Andrianto Kurniawan – masyarakat awam
Dibuat sebagai statemen dan informasi, celotehan ini dikaitkan pada realita di balik megahnya penyelenggaraan Festival Kampung Langai menjelang lima tahun perjalanannya, dinamikanya, serta Festival Kampung Langai dalam pembacaan masyarakat lokal sebagai—boleh dikata—festival budaya, perhelatan artistik, sarana hiburan murah meriah, agenda ramai-ramai, lapak dadakan para pedagang, ajang malam mingguan muda-mudi pacaran, jambore selebgram regional, rembuk balita-balita budaya, hingga forum komunikasi artis perintis; OKB (Orang Kondang Baru).
Telah diulas dalam buletin-buletin sebelumnya mengenai gema Festival Kampung Langai yang bergaung demikin gempita dan menghenyakkan di tengah lesunya ruang artikulasi di Situbondo—sebuah kota sekat dalam kacamata saya, yang berusaha mensejajarkan diri dalam ragam kebaruan global yang seporadis, sementara di sisi lain tergelayuti oleh beban dan keterhambatan struktural—yang mau tidak mau memaksa pegiat-pegiatnya baik mandiri maupun kolektif untuk menciptakan ruang negosiasi agar keberadaan mereka tidak lagi dipandang semu, hangat-hangat tahi ayam, bumbu nyinyir di bibir, dan pantul memantul karambol[1], salah satunya adalah dengan Festival Kampung Langai yang 10-11 Agustus ini menginjak siklus tahunannya yang ke-5. Tidak lepas pula bedahan-bedahan empirik lewat luasnya cakrawala wawasan beragam latar belakang beberapa penulis dalam buletin-buletin terdahulu[2] yang nampaknya belum banyak menggugah rasa ingin tahu pembaca—atau menemui dinding penghalang literasi; minat baca—yang demikian lugas mempreteli Festival Kampung Langai melalui pisau bedah akademis ‘nan faktual, bernas dan trengginas, hingga romansa sayu mendayu dayu patah hati dan drama putus cinta, ala Kang Imron sang peracik romansa.
Adalah semata syahwat artistik ataukah benar-benar corong realita, Festval Kampung Langai (FKL) muncul dan berpusar pada stagnasi agenda; sebuah upaya banding sekaligus tanding terhadap narasi struktural yang lesu dan itu itu melulu. Awalnya bagi kami praktisi, pegiat, pebudaya, pemrakarsa sekaligus pengindera, plot yang ditawarkan Festival Kampung Langai hadir sebagai oase bagi kambing kambing perumput yang haus dan letih akan tandusnya ladang yang harusnya terhijaukan oleh ilalang atau setidaknya belukar—demikian kiranya analogi yang paling laik bagi kelas masyarakat yang sangat sekarat atas ketidak-hadiran kuasa dalam ekspektasi hidup yang berstandar; sejahtera, mapan dan memanusia, mbeeeeek. Namun kita dibiarkan mengembik kelaparan dan dijadikan kambing-kambing berjalan yang sangat butuh mobilisasi aturan yang ndakik-ndakik, terma kreativitas yang demikian kompleks, identifikasi diri yang konyol, bidang berkarya demikian kaku, kelas sosial-seniman rentan seteru, kubu-kubu, bidak-bidak yang subur plagiasi dan sangat butuh kawanan—tak berani bergerak mandiri; ketimbang sebagai manusia yang punya inisiatif maju, terdukung atau tidak, sendiri atau terdampingi, memungkinkan atau mustahil; kita jatuh kerdil, jebruutt!
Namun dalam perkembangannya narasi kebaruan yang diusung gawe semacam Festival Kampung Langai ini mendadak hambar semenjak pencapaiannya berhenti di titik puncak estetikanya semata. Semacam terbantahkan seketika gembar-gembor visi dan misi awalnya. Bahkan pada situasinya yang lebih brutal, Festival Kampung Langai seolah Kaca Benggala[3] yang merefleksikan siapa kita sebenarnya; benar manusia ataukah yang seolah manusia—saya teringat akan sebuah tulisannya, Buya Hamka; kalau hanya untuk kepala, dompet dan perut, apa bedanya dengan topeng monyet? Semenjak peliknya lekok-lekok hegemoni global yang menggerus sendi kehidupan yang terkecil sekalipun, kita demikian lena dengan bau-bau materialistik kemudian memandang segala sesuatu semata mata sebagai duit, dagangan, bakulan, kekuasaan, fasilitas, keenakan; asuw! Bahkan dinarasikan terstruktur melalui bahasa “pariwisata” sehingga tidak sadar kita sudah mulai menjual segalanya—seperti etalase besar, kita hidup merangkak di sebuah terarium kaca, kamu belukar, dia bakung, ada yang jadi lily, anggrek, mawar, kenanga, mereka yang di sudut sana jadi teratai, sementara aku masih jadi bunga bayam; hijau kecil lagi keriput terabaikan, cih. Lalu kemanakah motivasi awal Kampung Langai? Tundukkah ia pada modernitas yang menurut Lawrence V. Stockman modernisasi tidak menciptakan sesuatu yang baru melainkan meresosialisasi sesuatu yang lama? Amati-tiru-modifikasi!
Sebagaimana saya sempat menyisir mula bergeliatnya perhelatan ini melalui penuturan foundernya,  bahwa kreativitas orang kampung—sebagaimana dituturkan melalui sebuah bincang santai—yang digulirkan sebagai wacana banding adalah juga dapat diperhitungkan secara layak ketimbang gawe serupa yang diselenggarakan rezim anu dengan gelontoran anggaran tak main-main[4] hanya mampu menelurkan semarak yang itu itu saja, bah! Awalnya FKL mampu menukaskan dengan mantap (jlabbb!) bahwa kualitas gerakan bawah jauh lebih punya bobot ketimbang yang awang-awang di atas angin belaka, apalagi yang berbilas kucuran dana—kuyup dan kelimis, semua ada tinggal leha-leha. Namun pada perkembangannya di belakang hari justru konten FKL ini berbalik menemui titik nadirnya—banal dan puso—semenjak mereka memalingkan muka dari realita kampung yang sebenarnya bahkan tak ayal justru menjadi bagian dari tangan besi yang tadinya ingin dikoreksinya; sebuah kejatuhan telak! Bertolak belakang sama sekali dengan motivasi awal sebagaimana wasiat founder bahwa FKL mengusung misi untuk menginisiasi warganya untuk mandiri di kaki sendiri mengubah keheningan Langai yang terpuruk menjadi kampung yang penuh positivisme, lagi gigih mengubah nasib, kreatif tak main main, menjadi kampung pemberi bukan dusun pemohon hibahan-hibahan; lebih lebar membuka mata terhadap sesamanya—anak yatim, janda, orang cacat dan orang renta yang sakit; cengkerama tetangga, khas geliat desa. Keberadaan warga serta segenap aspirasinya yang butuh untuk diteriakkan sekencangnya justru dibekap agar manut tak bersuara, nunut saja kehendak konseptor, engkau hanya menukangi saja wahai warga! Karena kami orang kota, orang berpendidikan tinggi yang lebih tambun pengetahuan dan wawasannya, dan banyak pengalaman membidani perhelatan-perhelatan besar. Dan dengan sangkil warga mengangguki; “Sendiko dawuh, Ndoro Kanjeng Juragan!”. Miris!
Dan dewasa ini yang membawa kita kepada kenyataan bahwa perhelatan demikian semata hanya merupakan transit bagi oportunis (watak aji mumpung) untuk menjejakkan kakinya demi menyematkan namanya dalam kancah lebih meng-global; jualan (tampil) agar dikenal atau mati matian dikenal agar dapat jualan (tampil). “Mompong badha san misan ngampong”. Nyatanya, dari 5 kali helat,  Festival Kampung Langai semata hanya keblasuk keberadaannya di tengah tarik ulur antara globalitas dan narasi struktural yang keduanya sama sama menumpulkan ketajaman berpikir, apalagi lumatan birahi industri; uang, siapa yang tak mau? Konkretnya, karya yang seharusnya menjadi sesuatu yang jujur, bersih, mengkilap, oleh libido jual-berjualan diramu supaya kian memuluskan gelaran dagangannya agar diterima jadi sesuatu yang market captive yang hambar, kaku, tak masuk akal bahkan justru membingungkan, fasik! Dan lebih jauh lagi—sebuah karya dalam definisinya agar mampu dicerna dan diterjemahkan penikmat sebagai racikan estetika pembikinnya—gagal menyentuh pembacaan orang kampung sebagai audiens prioritas yang sepatutnya dihibur bergembira dan bahagia; karena itu, rumah mereka, ladang mereka, tempat mereka hidup, bukan lapak encim-encim.
Pariwisata merupakan ‘lagu lama’ dalam menegosiasi keunikan, ke-otentik-an. Setiap potensi selalu dibingkai lekat dengan banderol harga yang puntang-ceranang; “Goblog! Siapa yang tak mau uang?”, peluang usaha menggiurkan, pendapatan dan pemasukan, wibawa kepalamu, perutmu, dompetmu. Padahal kita tak boleh lupa bahwa ada beberapa hal yang seharusnya dibiarkan terjaga dengan ajeg nilai sakralnya yang berlaku di masyarakat; kedamaian dan ketenteraman—dan tentunya orang kampung lebih paham seluk beluknya yang halai-balai, misalnya dalam kepercayaan masyarakat desa, bambu dianggap sebagai tanaman konservatif dengan fungsinya sebagai penyangga, penyimpan air, pencegah banjir, sarang predator hama pertanian hingga situs ritual persembahan sajen; nyembah leluhur, sowan dhemit, ijin lewat hingga tempat merapal ajian leak dan cetik[5], bahkan dalam tradisi Jawa (termasuk Madura) ada ungkapan menyebut; “Aja ngerubuhaken jajang sebarong” boleh memanfaatkan, seperlunya saja serta tak mubazir, namun di FKL bambu justru jadi ornamen sekali guna, dipakai, selesai, hibahkan, lupakan. Tak peduli butuh berapa lama ia tumbuh, faedahnya bagi lingkungan ia tumbuh, dan organisme di seputar ia tumbuh. Begitu gelondongan bambu bambu itu jadi ornamen megah dan wah, di sanalah buru-buru membidikkan kamera foto dan setelah gegap gempita kukut maka gelondongan gelondongan itu teronggok tak ubahnya puing terserak; kemarin diisak-isak sekarang terinjak-injak, transisi menjadi masyarakat kagetan rupanya kita!
Menginjak gelaran pada tahun kelima ini, Festival Kampung Langai tak henti mencari gagasan baru lewat bengok-bengok seadanya. Gagasan yang dipercaya dapat membelalakkan setiap mata—dohkah! Lebay—yang tertuju pada arena didapuk jadi pemikat. Termasuk dengan varian pertunjukan yang lebih bercorak dalam narasi lekat ke-Situbondoan yang khas dan tadhe’ poleh. Termasuk mempertahankan konsep panggung yang partisipatorik, tak ada pembatas antara penampil dan penonton sehingga diharapkan tercipta atmosfir kebersamaan—menarik dan revolusioner! Mendobrak pakem! Menerjang kebiasaan! Bongkar! Bongkar! Prekethek lah. Ironis bila disandingkan dengan gagasan awal yang mengemuka bahwa Festival Kampung Langai merupakan perayaan bagi warga kampung, maka sudah seyogyanyalah keterhiburan diletakkan lewat sudut pandang orang kampung, bukan justru menghibur pendatang yang ingin ngampung. Hal demikian seketika membuat saya tertegun; “Apakah warga Langai yang seharusnya menjadi pemrakarsa justru menjadi objek, pesuruh, pekarya serabutan?” Tak terkejut lagi bilamana dalam perhelatan FKL didapati orang orang yang “mendadak desa” atau “mendadak kampung” dan perangai khasnya jauh lebih kampungan, surjan murah, udheng, blangkon, ubet sirah, da’a, klambhi pesa’ tanpa tau adab mengenakannya, filosofi sejati-nya, handphone spek dewa, kamera puluhan juta, gestur dan perangai hits ala masyarakat pop, jetset, borju, hedon padahal Agotukung (Anak Gondrong Tukang Kangkung), dan nyaris semuanya bermuara di media sosial. Blek!
Dalam hal lain wabah media menjadikan garis batas antara yang jumud dan yang bernas menjadi rancu, gelap, tak jelas. Di satu sisi media punya fungsi informasi yang efektif sementara di sisi lain kebiasaan akan publikasi media seporadis justru membuat banal. “Nik sakonik afoto” (Sedikit sedikit berfoto) merupakan sarkoma yang sudah terlanjur menjalar, beredar dan menular. Festival Kampung Langai yang tadinya diupayakan agar nilai filosofi kampung dapat tervisualkan secara sederhana, ditangkap secara seksama, dengan derasnya trend media justru menyisakan jarak antara yang datang bertandang dengan yang rangkul menjamu tamu—kita kedatangan siapa? Kita sowan siapa? Lain kata, menjamurnya gawai dan demikian mutakhir fitur fiturnya memantik candu akan kebiasaan mendokumentasi dan merespon interaksi sebatas dunia virtual saja; update-komentar-like, sudah... di situ saja. Bahkan tak ayal sebagaimana kebiasaan muda-mudi era sekarang—termasuk yang muda belia hingga yang tua renta yang akrab dengan dunia maya, intenet—membubuhi foto fotonya dalam sosial media dengan ragam ornamen sastrawi, yang entah apakah mereka dapat memintal benang merah antara foto yang diunggahnya dengan kutipan kutipan mahaluhur yang diguratnya, profan! Di mata saya, jika sekedar untuk foto-foto berlafazkan puisi-puisi dan kata mutiara belaka, kenapa kita susah susah bermegah-megah acara. Alangkah lebih patut anggaran yang diperuntukkan, gunakan saja untuk bikin gardu kampung, sedianya kelak bisa bermanfaat untuk Posyandu, atau gardu ronda atau dangau untuk sesrawung warga atau sekedar tempat bernaung pedagang minyak gosok atau siapapun yang lewat kebetulan mengembara. Fungsi manusianya lebih nyata! Imunisasi lancar, kampung bebas maling sapi, silaturahmi menyenangkan, dan setidaknya ada tempat bagi sampean berjongkok-jongkok tak kepanasan.
Sejauh pengetahuan saya, Situbondo merupakan lumbung seniman. Sendi kehidupannya yang demikian kental akan atmosfir berkarya—ataukah tak ada pilihan lain untuk bertahan hidup selain berkarya, saking putus asanya mencari pekerjaan—turut retas menetas pelaku-pelaku seni yang tak terhitung jari jumlahnya. Dari penjuru timur kabupaten ini yang gersang tandus, tak henti hingga ujung barat yang agung bergunung-gunung, nyaris di setiap tempat ada seniman; baik yang beneran seniman, yang ingin jadi seniman, yang pernah jadi seniman, yang seolah olah seniman, yang otewe seniman bahkan yang pura pura nyeniman. Rasanya, tak fakir kita dengan pelaku-pelaku seni, dari tabbhuwan hingga kelompok orkes dangdut Pantura panggungan, dari tukang les sanggar rumahan hingga musisi rock papan atas dengan honor setara biaya umroh, semua ada. Namun yang mengherankan adalah sedemikian butuhnya kita akan asupan seniman-seniman dari luar sehingga perhelatan-perhelatan semacam Festival Kampung Langai dan ajang serupa yang belakangan ini mulai menjamur di Situbondo disesaki dengan konten dan laku seni dari luar Situbondo. Alih-alih menghargai sukarelawan yang menawarkan diri berpartisipasi sementara di lain pihak Festival Kampung Langai harusnya benar benar menjadi corong seniman Situbondo agar lebih bergaung (baca: laku), bukan kesempatan seniman luar menginvasi. Bahkan dalam sebuah wawancara sebagaimana dikemukakan oleh rekan panitia; “Kami juga mengangkat potensi yang ada di kampung Langai untuk dikenalkan kepada khalayak luas”, berbeda dengan kenyataannya. Benar benar pola pandang yang terbalik! Sebenarnya sudah ada upaya dari rekan panitia untuk lebih menampung porsi performan lokal, namun dikarenakan sengkarut komunikasi sehingga animo penampil lokal kurang demikian antusias, dan jujur jika boleh kita mengakui, inilah pekerjaan rumah terbesar kita, pemrakarsa, penyelenggara, para sukarela dan gerombol-gerombol partisipannya. Geli! Kemana Situbondo?
Lebih lanjut lagi, Festival Kampung Langai sebagai mercusuar hidupnya sel-sel menggeliat serupa sehingga menelurkan ajang lainnya—dalam asumsi saya semata—seperti Kendit Harmony (grammarly Englished: Harmony of Kendit), Argopuro Festival, dan konon di kemudian hari akan digagas ajang serupa di Mangaran dan tempat tempat lainnya di Situbondo, turut meregenerasi kegagapan identitas, siapa kita, seperti apa kita. Dan masyarakat akan menimpali dengan celingukan; ini apa?
Akhirnya dalam perjalanannya di lima putaran penyelenggaraan Festival Kampung Langai ini, masyarakat gagal mencerna. Tak ada semangat mandiri warga Langai menyongsong kebaruan melainkan pasrah pada liarnya imajinasi penyelenggara. Tak ada nilai baru yang diterima melainkan euforia sehari dua hari saja, selebihnya Langai tak ubahnya dusun lengang lagi. Tak ada jerit pekak orang kampung yang menderita agar terdengar dan teratasi. Mandul inisiasi, mandul edukasi dan mandul aspirasi. Padahal seharusnya keberpihakan gerakan semacam ini cukup jelas adalah untuk warga Langai—sesuai dengan namanya—dan sebagaimana tulisan yang dimuat pada
Mengenal Festival Kampung Langai; “Kami ingin menghibur, mengedukasi, dan mengajak partisipasi warga dalam kegiatan kesenian”. Dalam paragraf lain juga disertakan statemen; “Sebenarnya tujuan lainnya adalah untuk menyemangati mereka agar semakin sadar pada pendidikan generasi mudanya dan lingkungan hidupnya” yang dalam penilaian kami sejauh ini belum tercapai sama sekali.  Prosesnya pun semestinya bersinggungan langsung dengan keseharian warga setempat, bukan justru meresosialisasi nilai dari luar agar diadaptasi warga, serta lebih bisa menghargai kearifan eco-cultural orang desa. Dan patutnya pencapaian apapun yang diraih, memenuhi multiaspek; inisiasi, edukasi dan aspirasi. Bukan melulu gebyar yang menggelegar. Bilamana lima tahun ini tak cukup banyak perbaikan kualitas, saya pesimis di tahun tahun mendatang Festival Kampung Langai tak ubahnya seperti karnaval belaka, berdandan-berbaris-tertawa-lelah dan pulang. Sudah bebal rupanya.

Biodata Penulis
Dedi Andrianto Kurniawan merupakan simpatisan (bukan warga Langai) yang peduli dengan dinamika kreativitas seputar Kampung Langai dan inisiatif komunal yang membawahinya. Dengan tidak mengurangi apresiasi dan rasa hormat terhadap rekan-rekan penyelenggara, tulisan ini dibuat berdasarkan fakta dan pengamatan langsung dan merupakan sebuah kritik yang berangkat dari kepedulian penulis akan lingkungan berkarya rekan-rekan semua.


[1] Sebuah permainan meja kayu, modifikasi dari permainan bilyar.
[2] Setiap diselenggarakan Festival Kampung Langai, rekan dari Komunitas Penulis Muda Situbondo turut berpartisipasi dengan menerbitkan buletin yang mengupas progres penyelenggaraan Festival Kampung Langai.
[3] Kaca benggala merupakan sebuah cermin ajaib yang mempu memantulkan bayangan manusia sesuai perangai aslinya, yang diberikan oleh seorang emban di kedaton Majapahit bernama Sekar Tanjung Dyah Menuy yang konon dia mendapatkannya dari negeri atas angin.
[4] Dalam rangka tahun kunjungan wisata 2019 pemerintah Kabupaten Situbondo menggalakkan kegiatan-kegiatan serupa, yang juga melibatkan seniman dan unsur masyarakat.
[5] Cetik merupakan sejenis ramuan racun yang dibubuhi mantera teluh. Biasanya diiringi dengan ritual leak (Bali).

Festival Kampung Langai dalam Pembacaan Masyarakat Festival Kampung Langai dalam Pembacaan Masyarakat Reviewed by Redaksi on Agustus 11, 2018 Rating: 5

Tidak ada komentar