Cerpen : Pesan Misterius dan Solidaritas untuk Lombok Versi Pengarang Amatir




Oleh: Haryo Pamungkas

Bagaimana menurutmu jika Tuhan mengijinkan manusia tahu kapan ia harus mati? Apa semua akan baik-baik saja?

Saya masih menatap heran layar handphone dan membaca ulang pesan itu. Saya bingung, akan saya jawab bagaimana? Adalah teman saya yang selalu melontarkan pertanyaan macam-macam. Pertanyaannya sering membuat saya bingung, ia terlalu terobsesi dengan takdir manusia. Tentu pertanyaan itu tak akan terjawab dengan pasti. Toh yang ditanyakan justru yang tak terjadi. Tapi bagaimana? Harus saya jawab apa?

Semua orang akan membual, merasa paling tahu soal itu. Paling tragis jadwal kematian akan dijual dengan harga murah.

Akhirnya saya balas sekenanya. Tentu saja itu adalah jawaban paling akhir dalam kepala saya. Tanpa banyak berpikir, saya letakkan handphone di atas meja dan bersiap kerja sebelum suara bising kendaraan semakin memekakkan telinga.
Dalam perjalanan menuju kantor, saat sedang duduk di kereta, lagi-lagi handphone saya bergetar. Saya lihat ternyata dari orang yang sama, saya menghela napas, kali ini apa lagi?

Benar. Mungkin juga tak akan ada lagi kepercayaan. Ah, tapi bagaimana jika ada segelintir orang yang tahu tanda-tanda orang akan mati? Kamu percaya?

Sungguh konyol, pertanyaan-pertanyaan yang selalu membuat saya berpikir keras. Saya rebahkan kepala di bangku kereta. Handphone saya matikan dan memasukkannya ke dalam celana. Pesan itu akan saya jawab nanti selepas pulang kerja. Terlalu berat untuk dijawab di atas kereta.

Saya sampai di kantor tepat pukul delapan pagi. Hari ini saya kurang beruntung, kereta telat lima menit, yang itu artinya saya hampir telat. Tak seperti biasanya kantor hari ini sepi. Saya heran, lalu menengok tanggal dan jam di arloji saya. Hari ini tanggal dua puluh enam bulan delapan. Untuk memastikan saya hidupkan handphone dan langsung membuka opsi kalender. Benar saja hari ini senin, hari kerja. Tapi kok kantor sepi? Ke mana orang-orang ini? Saya celingak-celinguk, kantor sepi. Tak ada satpam, tak ada penerima tamu. Lantas  saya duduk di sofa tunggu dekat resepsionis. Saya baru sadar, koran hari ini juga tak ada. Di meja hanya tergeletak koran kemarin. Dalam kebingungan, saya usap layar handphone saya yang kemudian saya tahu penuh dengan  pesan masuk. Dan benar, banyak pesan yang masuk, beberapa dari teman saya yang selalu bertanya aneh-aneh itu dan beberapa lagi dari teman kantor saya. Nah, ini dia yang akan menjawab mengapa kantor sepi.


Jangan masuk kantor! Ada kabar Istri Bos mati, langsung ke rumahnya.

Bro, ada kabar si Bos mati, langsung ke rumahnya...
Anak si Bos yang pertama mati uy, langsung ke rumah duka!

Assalamualaikum, telah berpulang mertua dari Bos. Diharap para pegawai dari mulai rendahan sampai atasan langsung menuju rumah duka.

Bro kantor libur! Langsung kafe biasa...

Astaga. Kenapa pesan-pesan selalu membuat saya linglung? Siapa sebenarnya yang mati? Pesan-pesan itu mengabarkan ada yang mati, tapi siapa yang pasti? Kenapa setiap pesan berdeda-beda? Saya bingung harus melakukan apa. Pembaca yang baik, dalam keadaan begini Anda tahu saya harus bagaimana?

Dalam keadaan bingung-bingung lemas dan linglung saya rebah di sofa. Merenung. Pikiran saya terbang jauh. Kepala saya pening. Hari saya diawali dengan pesan yang sukses membuat saya berpikir keras masih ditambah dengan pesan-pesan ini. 

Astaga. Ternyata banyak hal yang masih bisa membuat depresi selain macet dan tumpukan dokumen kerja. Handphone bergetar lagi. Saya usap layar dan melihat ada apa lagi kali ini. Saya lihat nama pengirim, saya menghela napas lagi. Ini dia teman yang pertanyaannya selalu macam-macam. Tidak tanggung-tanggung ada lima pesan sejak tadi!

Kamu percaya? Kalau aku bilang aku tahu tanda-tanda orang mati?

Eh tidak, bukan maksud untuk memaksa kamu percaya.

Aku ingin tahu pendapatmu soal orang yang tahu jadwal kematian.

Selain itu menurutmu wujud roh bagaimana?

Satu lagi, jika ada orang yang tahu jadwal kematian, apa ia bisa menghindari jadwal kematiannya sendiri?

Sudah! Cukup! Hari ini semua orang sukses membuat kepala saya pening! Saya seperti orang linglung yang dipermainkan. Saya jadi curiga, apa mungkin ini hanya akal-akalan mereka untuk mengerjai saya? Jika memang benar saya kira ini sudah keterlaluan. Ulang tahun saya sudah lewat, dan mestinya sudah tak ada lagi perayaan. Naik jabatan? Tidak mungkin. Ini semua tidak mungkin direncanakan. Saya hiraukan semua pesan memuakkan itu. Cukup untuk hari ini. Saya akan pulang! Tidak ada yang bisa saya percayai. Semua pesan hanya mengada-ada, tidak ada kebenaran, tidak ada kepercayaan. Sungguh benar-benar memuakkan pesan-pesan itu.

Jadwal kereta pulang masih lama, hari ini saya akan pulang naik bus. Saya mencegat angkutan umum di tepi jalan dan langsung menuju terminal. Berbeda dengan kantor yang serba sepi, angkutan umum ini justru sangat penuh sesak dengan orang-orang. Saya kira ada pekerja kantoran macam saya, ada mahasiswa, ada ibu-ibu belanja dan anaknya, sisanya saya tak bisa perkirakan profesinya apa. Mereka mirip pekerja kantoran, atau mahasiswa? Tapi anehnya mereka tidak memakai pakaian yang umum. Memakai pakaian serba hitam, kacamata hitam, mungkin mereka bagian rombongan pelayat. Tapi saya tidak peduli, beberapa dari mereka mengobrol dengan topik yang umum. Alhamdulillah saya lega. Tidak ada pertanyaan-pertanyaan konyol dan pesan yang memuakkan.

Saat saya sedang asyik memerhatikan orang-orang di angkutan umum ini, tiba-tiba... Masyallah,  ada orang yang menarik tangan saya dan berusaha melempar saya dari angkutan ini dengan paksa! Bayangkan, angkutan umum ini sedang melaju dengan kencangnya. Antara kaget dan mempertahankan diri saya sekuat tenaga tetap bertahan di dalam angkutan umum ini. Dan kali tak hanya orang misterius itu yang berusaha melemparkan tubuh saya, tapi seluruh orang dalam angkutan umum ini! Mereka berbondong-bondong menarik saya dan berusaha melempar saya. Saya teriak minta tolong sebisanya. Bahaya. Saya bisa mati. Saya panggil-panggil si sopir tapi nampaknya si sopir tak hirau. Ia masih melajukan angkutan umum ini dengan kencangnya. Bahkan ia membiarkan orang-orang ini untuk mendorong tubuh saya! Susah payah saya bertahan, saya berpegangan kepada apa saja, gagang besi di atap mobil, kursi, tapi percuma. Tenaga mereka terlalu kuat, akhirnya saya terlempar dari dalam angkutan umum; berguling-guling di jalanan, tubuh saya bundas penuh luka. Dalam keadaan begini saya coba berdiri, tubuh saya sempoyongan. Samar-samar dari kejauhan saya lihat siluet orang-orang dalam angkutan umum itu yang nampak gembira. Tubuh saya benar-benar penuh luka, dalam keadaan seperti ini saya rasakan handphone saya bergetar lagi. 

Bingung, putus asa, saya benar-benar menjadi gila! Mulai dari pesan teman saya, pesan teman-teman kantor hingga kejadian barusan... dengan sempoyongan saya menepi di pinggir jalan, duduk menjuntai kaki, berusaha memikirkan apa yang terjadi sebenarnya. Saya rasakan handphone terus bergetar. Dalam keadaan seperti ini masih sempat-sempatnya....

Saya usap layar handphone saya dan melihat siapa lagi ini, ternyata telepon dari Ibu saya. Saya usap mata tiga kali, khawatir saya salah lihat. Tumben Ibu saya telepon. 

Penasaran, saya angkat telepon itu.

“Kamu di mana?! Kamu tidak apa-apa!?” Suara ibu terdengar panik. Tiba-tiba setelah itu mendadak tubuh saya menjadi berat, kepala saya seperti digada. Sakit sekali. Tak tahan, saya rebah di trotoar, semua menuju gelap. Gelap total....

***

Saya terbangun dan semua masih saja gelap. Terdengar rintihan-rintihan orang-orang yang minta tolong. Suara ambulan terdengar dari kejauhan. Saya terjepit di antara reruntuhan gedung. Loh ini di mana? Saya berusaha keras mengingat dan barulah saya sadar satu hal: pagi itu seperti biasanya saya berangkat kantor cepat-cepat setelah sebelumnya menerima pesan dari teman saya. Saya hanya ingat saat itu saya sampai di kantor dengan selamat. Kemudian semua seperti bergoyang-goyang dan berputar. Satu per satu atap runtuh, suara panik terdengar di mana-mana dan barulah saya sadar ada gempa yang meluluh antahkan seisi kota di pagi ini. Jangan-jangan pesan teman saya itu... orang-orang yang saya temui di angkutan umum... dan teman-teman kantor saya semuanya....

Catatan: Semoga seluruh masyarakat Lombok dan sekitarnya–yang terkena efek gempa diberi ketabahan, kekuatan, dan kesabaran. Amin...


Biodata Penulis:

Haryo Pamungkas, lahir di Jember, Jawa Timur. Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis UNEJ. Cerpennya telah dimuat di berbagai media cetak dan online.
No Hp: 089614887416
Cerpen : Pesan Misterius dan Solidaritas untuk Lombok Versi Pengarang Amatir Cerpen : Pesan Misterius dan Solidaritas untuk Lombok Versi Pengarang Amatir Reviewed by takanta on Agustus 19, 2018 Rating: 5

Tidak ada komentar