Hantu Kunti Lanak dan Kelong Wewek Mencitrakan Karakter Perempuan


Citra perempuan memang selalu menarik untuk dibahas, yang terkadang berbau amis seksualitas, makhluk perayu, kaum munafik, pribadi yang emosional, dan bahkan makhluk irasional. Jika diruntut dalam tradisi filsafat semenjak zaman Yunani Kuno dimana keberadaan perempuan telah menjadi perdebatan para filsuf. Plato sedikit memulyakan perempuan; dengan argumentasinya bahwa perempuan juga seperti halnya laki-laki, ia memiliki akal sehat—karena berpotensi menjadi filsuf raja (pemilik kebijaksanaan). Bahkah Plato menyatakan suatu negara yang hanya mendidik kaum laki-laki dan tidak mendidik kaum perempuan, serupa dengan orang yang hanya melatih tangan kanannya, dan membiarkan tangan kirinya tidak berfungsi. Namun, hal tersebut dipatahkan oleh Ariestoteles, yang berasumsi bahwa perempuan merupakan laki-laki yang tidak sempurna, dengan kata lain perempuan diciptakan tidak sengaja atau makhluk cacat.

Manusia dikaruniai imajinasi, lantas manusia berimajinasi mengenai perempuan, dan imajinasi tersebut tercitrakan pada hantu-hantu berjenis kelamin perempuan, adapun hantu yang dimaksud di antaranya Kunti Lanak dan Kelong Wewek. Pertanyaan yang kemudian muncul; Benarkah Kunti Lanak dan Kelong Wewek mencitrakan karakter perempuan?
Kita mulai dari Kunti Lanak. Hantu Kunti Lanak merupakan salah satu jenis hantu yang populer di Indonesia. Hantu ini berjenis kelamin perempuan dengan ciri-ciri; berambut panjang menjulur hingga melewati pantat, gigi bertaring, matanya melotot, tidak memakai baju dan kutang kedua payu daranya berukuran besar dan panjang—bergelantungan, jika tertawa melengking dan cekikikan, suaranya serak, dan kebiasaan buruknya mencuri bayi yang baru dilahirkan—lalu bayi tersebut dilahapnya.
Secara psikologis perempuan memiliki selera yang baik terhadap bayi, dan perempuan memiliki jiwa keibuan—sehingga pada umumnya setiap perempuan penyayang anak. Namun, kenapa perempuan dicitrakan dalam wujud Kunti Lanak?
Hal yang cukup ironik, aborsi banyak dilakukan oleh kaum perempuan—sehingga tak heran jika perempuan diidentikkan dengan Kunti Lanak (pembunuh bayi). Tambah pula, dalam kepasrahan ketika terjadi keterpurukkan seringkali perempuan melampiaskan kejengkelannya pada anaknya, bahkan ada pula perempuan yang tega menyiksa anaknya bahkan mencekik anaknya hingga anak itu tewas—dan lagi perempuan memiliki relevansi dengan karakter Kunti Lanak. Biasanya jika marah perempuan membentak anaknya sehingga kecenderungan seorang anak takut pada ibunya—sosok ibu menampakan karakter menakutkan seperti Kunti Lanak.
Uraian di atas menunjukkan bahwa Kunti Lanak merupakan perwujudan dari karakter perempuan. Namun, tidak adil rasanya jika tidak ditelaah hingga ke akar permasalahannya.
Seperti yang telah penulis singgung dasar psikologis perempuan adalah pencinta anak. Pertanyaan yang kemudian muncul; kenapa perempuan berkarakter Kunti Lanak? Apa akar masalahnya?
Kasus aborsi. Biasanya perempuan berkehendak atau melakukan aborsi disebabkan oleh hubungan seksual di luar nikah, hal tersebut terjadi karena laki-laki si kekasih perempuan itu—tidak mau bertanggung jawab. Di sini patriarki jelas terlihat memainkan peranannya, kuasa lelaki di atas kuasa perempuan. Lagi pula jika perempuan hamil di luar nikah yang tersudutkan jelas perempuan, dan laki-laki memiliki kebebasan untuk lepas tanggung jawab—faktanya budaya kita masih berwajah maskulin (kelaki-lakian).
Dari sudut pandang Freud atau psikoanalisis semenjak kecil anak perempuan iri terhadap anak laki-laki; penyebabnya anak laki-laki memiliki penis sedangkan perempuan tidak. Karenanya penis memiliki peranan yang besar dalam pembentukan budaya patriarki, hal ini kian relevan jika dihubungkan dengan kasus aborsi dan sangsi sosial terhadap perempuan yang hamil di luar nikah. Dengan demikian secara gender pencitraan perempuan pada sosok Kunti Lanak terlalu menyudutkan kaum perempuan. Sebab, dasar psikologisnya semua perempuan memiliki watak keibuan—sehingga hampir dapat dipastikan pada dasarnya semua ibu penyayang anak, terlebih bayi.
Selanjutnya Kelong Wewek. Hatu ini sebetulnya mirip dengan dengan Kunti Lanak. Namun, Kelong Wewek tidak memakan bayi, Kelong Wewek hanya memilki kebiasaan buruk—suka iseng menyembunyikan anak kecil (baik laki-laki maupun perempuan).
Secara mitologis; Kelong Wewek merupakan gambaran kesedihan seorang perempuan. Mulanya Kelong Wewek merupakan seorang perempuan yang mengidamkan seorang pangeran (lelaki tampan lagi kaya raya). Namun, hari berganti, bulan berlalu, dan tahun-tahun terus melaju, akan tetapi pangeran yang ia tunggu tak pula datang. Pada akhirnya ia menjadi perawan tua. Dan lagi budaya patriarki menghakimi perawan tua (perempuan yang sudah mentruasi namun belum pula menikah). Akhirnya untuk menutup kesedihannya perempuan tersebut mencuri anak-anak untuk diasuhnya. Cukup menyedihkan hingga mati si perawan tua tetap sendiri—dan menjadi hantu Kalong Wewek—hantu yang suka menyembunyikan anak kecil ketika petang menjelang.
Hantu Kalong Wewek jelas-jelas merupakan prodak nyata dari budaya patriarki, dan lagi perempuan harus menderita karena ini. Perempuan seolah tidak dapat berlari dari realitas biologisnya, ketika ia telah mentruasi dituntut untuk mencari seorang lelaki dan menikah. Jika umur seorang perempuan sudah mencapai 25 tahun, namun ia belum pula menikah—melekatlah padanya julukan “perawan tua” dan masyarakat dengan budaya patriarki akan mencibirnya, membulinya, bahkan sinis.
Penulis sepakat dengan argumentasi yang digagas Milett penulis buku The Politics Sexsual; bahwa budaya patriarki harus di lawan, sebab hal itu menghambat perkembangan psikologis dan mental pada kaum perempuan. Hal ini senada dengan Beuvoir seorang feminisme libertarian—perempuan memiliki kebebasan termasuk menentukan kapan ia menikah, jika perlu perempuan memiliki kebebasan untuk tidak menikah.
Hak seorang perempuan sama halnya dengan laki-laki. Jika laki-laki memiliki kapasitas untuk mengembangkan diri, pola pikir, bakat dan minat—demikian pula dengan perempuan.
Kembali pada tema tulisan ini; “Hantu Kunti Lanak dan Kalong Wewek Mencitrakan Karakter Perempuan” sekali lagi penulis ingatkan kedua jenis hantu tersebut merupakan prodak langsung dari budaya patriarki. Namun, imajinasi mengenai Kunti Lanak dan Kalong Wewek telah mengakar dalam benak kita (khususnya putra-putri Indonesia) imajinasi tersebut dapat dilawan oleh kecerdasan; salah satu caranya melalui jalur pendidikan. Sebagaimana Socrates percaya “pengetahuan yang baik akan mengarah pada perilaku yang baik pula”.
Jika ada selogan; “perempuan tidak punya kapasitas untuk berpikir, namun perempuan memiliki kapasitas tidak terbatas untuk menderita” kini selogan tersebut telah menjadi jenazah dan terkubur—mustahil untuk bangkit lagi apalagi menjadi hantu. Perempuan masa kini telah bangkit dan melawan mitos-mitos tentang dirinya, termasuk melawan mitos tentang Kunti Lanak dan Kelong Wewek.

Banten, 18 Juni 2018

Biodata Penulis
Agus  Hiplunudin  1986  lahir  di  Lebak-Banten,  adalah  lulusan  Fakultas  Ilmu Sosial  dan  Ilmu  Politik  Universitas  Sultan  Ageng  Tirtayasa  Serang-Banten, Jurusan ADM Negara sudah lulus dan bergelar S. Sos. Dan, pada April 2016 telah menyelesaikan studi di sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Jurusan Ketahanan Nasional, bergelar M. Sc. Kini bergiat sebagai staf pengajar Mata Kuliah Filsafat Ilmu di STISIP Stiabudhi Rangkasbitung sekaligus sebagai Kepala Studi Pengembangan Wawasan Kebangsaan dan Pancasila STISIP Setia Budhi Rangkasbitung-Banten Adapun karya penulis yang telah diterbitkan yakni:
Buku yang Telah Dipublikasikan
Politik Gender 2017, Calpulis: Yogyakarta
Politik Identitas di Indonesia dari Zaman Kolonialis Belanda hingga Reformasi  2017, Calpulis: Yogyakarta
Politik Era Digital  2017, Calpulis: Yogyakarta
Kebijakan   Birokras   dan   Pelayanan   Publik   Suatu   Tinjauan   Kritis   Ilmu Administrasi Negara 2017, Calpulis: Yogyakarta
Filsafat Eksistensialisme 2017, Graha Ilmu: Yogyakarta
Filsafat Politik Plato dan Ariestoteles 2017, Graha Ilmu Yogyakarta.
Prosiding Seminar Nasional yang Telah diikuti
Jurnal: “Partisipasi Pemuda dalam Pelestarian Seni Budaya Tradisional Debus Banten, di Universitas Sultan Ageng Tirtayasa-Banten
Jurnal: Pelestarian Seni Budaya Tradisional Debus Banten dan Imlikasinya Terhadap Ketahanan Budaya Daerah, di STISIP Setia Budhi-Rangkasbitung-Banten
Jurnal: Hegemoni Budaya Politik Suku Jawa pada Pilkada 2019
Pemateri Seminar Nasional
Pemateri: Pemanfaatan Internet dan Ketahanan Nasional bersama Kominfo RI di Ciamis-Jawa Barat
Pemateri: Pemanfaatan Internet oleh Masyarakat, bersama Roy Suryo anggota DPRRI di Yogyakarta
Keilmuan yang sekarang ditekuni, yakni; Ilmu Politik, Filsafat, Pelayanan Publik, Ilmu Budaya, Kebijakan Publik dan Kewarganegaraan.

Alamat Sekarang:
Kp Parakan Mesjid, RT 04/04, Kec. Rangkasbitung, Lebak-Banten.

Email             : agus.hiplunudin@yahoo.com
Hp                  : 081-774-220-4
Facebook       : @Agus Hiplunudin
Hantu Kunti Lanak dan Kelong Wewek Mencitrakan Karakter Perempuan Hantu Kunti Lanak dan Kelong Wewek Mencitrakan Karakter Perempuan Reviewed by takanta on Agustus 07, 2018 Rating: 5

Tidak ada komentar