Cerpen : Ketika Tubuh Bicara



Oleh: Ahmad Sufiatur R.
Bom itu meledak menghancurkan tubuh pelaku bom bunuh diri. Membunuh dan melukai puluhan korban lain di sekitarnya. Tubuh pelaku berceceran bersama potongan tubuh lain. Polisi bersama ahli forensik mengumpulkan potongan tubuh di TKP dalam satu tas plastik. Tidak ada yang menyadari bahwa potongan-potongan tubuh itu masih dapat bicara.
“Hei, di mana bola mata kiriku?” ujar potongan kepala.
“Kau masih mencari bola mata kirimu? Lihatlah keadaanmu sekarang!” Potongan kaki merasa kesal. “Menyedihkan….”
“Oya, aku tadi melihat bola mata kirimu jatuh ke selokan,” ujar bola mata kanan.
“Ah, ini semua gara-gara pelaku ini. Gara-gara pelaku ini kita jadi tercerai-berai begini.” Sepotong tangan menyahut kesal.
“Ya, pasti ada yang tidak beres dengan kepalanya,” sahut sepotong telinga.
“Heh, kau pikir ini salahku?” Potongan kepala tersinggung,Ini semua salah telinga! Dengar baik-baik telinga! Telinga yang mendengar doktrin itu. Akibatnya aku berpikiran yang tidak-tidak.”
“Kalau tidak ada otak di kepala, pelaku pemboman tidak bisa berpikir.” Sepotong jemari membela si telinga.
“Kau tidak punya otak ya! Kalau tidak ada tangan dan jemari yang merakit bom maka tidak akan terjadi!” Protes potongan kepala.
“Aku memang tidak punya otak! Karena hanya kepala yang punya otak. Ya, ini semua salah otak! Aku mengikuti perintah otak!” Sepotong jemari masih bersikeras.
“Otakmu hilang ke mana? Aku bukan potongan otakmu,” ujar sepotong otak.
“Loh, otak ini milik siapa?” tanya kepala.
“Tadi aku terpisah dan ikut dimasukkan ke dalam plastik ini!” seru sepotong otak tak dikenal itu.
“Apa yang terakhir kau ingat?” tanya sepotong kaki.
“Hmmm … aku tadi sedang berjualan mainan anak-anak di dekat trotoar,” ujar sepotong otak itu mengingat-ingat.
“Dengar tuh! Pedagang mainan anak-anak pun ikut jadi korban!” seru sepotong telinga. “Apa dosa pedagang mainan anak-anak?”
“Eh, aku juga mulai ingat … tadi sedang menuju kampus,” ujar sepotong tangan.
“Loh, kau juga korban yang lain?” tanya sepotong kepala.
“Aku melihat setidaknya ada lima belas korban yang terkena ledakan bom itu,” ujar sepotong bola mata.
Hening untuk beberapa lama.
Hanya bunyi sirine ambulan yang meliuk-liuk.
“Sebenarnya apa yang diinginkan oleh pelaku pemboman ini?” tanya sepotong tangan.
“Pelaku ini membenci negara adidaya itu,” jawab potongan kepala.
“Aneh. Benci negara lain, malah negara sendiri yang dibom,” sepotong kaki tak habis pikir.
“Pelaku ini membenci siapapun yang tidak disukainya,” imbuh bola mata.
“Kok bisa?” tanya sepotong kaki.
“Ya, dia selalu menatap orang yang tidak disukainya dengan pandangan hina,” beber bola mata.
“Siapa yang hina? Apakah pelaku ini orang suci?” tanya sepotong tangan.
“Hah, pelaku ini bukan orang suci! Sama seperti kebanyakan orang lain. Makan minum dari hasil keringat orang lain, berbohong, mencuri, kawin lari, memalsukan identitas, dan segudang perbuatan berdosa lain. Aku saksinya,” ujar bola mata itu.
“Jadi mengebom bukan karena agama?” tanya sepotong otak yang lain.
“Jelas bukan,” ungkap sepotong kepala.
“Lalu?”
“Dia bosan hidup.”
“Bosan hidup?”
“Ya, jelaslah alasan orang bunuh diri karena bosan hidup.”
“Bukan hanya itu saja. Pelaku ini bosan mendengar suara di sekitarnya, bosan melihat orang di sekitarnya, bosan membaca yang itu-itu saja, bosan menonton yang itu-itu saja,” beber potongan kepala itu mengaku.
“Pelaku ini bosan mendengar suara istrinya, bosan mendengar suara orang yang menceramahinya, bosan mendengar suara rengekan anak-anaknya, bosan membaca buku-buku ceramah, bosan melihat orang lain yang lebih sukses dari dirinya, bosan melihat orang yang lebih gagah dari dirinya….”
“Kalau bosan hidup, kenapa masih menyusahkan orang lain? Kenapa tidak bunuh diri sendirian saja. Meledakkan diri di tengah laut misalnya,” protes sepotong tangan.
“Di tengah laut pun akan membunuh ikan-ikan.”
“Kalau begitu meledakkan diri di atas langit saja.”
“Di atas langit akan mengagetkan burung-burung.”
“Ya, tenggelam saja di laut, gak usah pakai bom. Jadi makanan ikan.”
“Setidaknya sebelum mati, pelaku ini ingin terkenal,” jawab sepotong kepala.
“Terkenal karena meninggalkan anak istri? Terkenal karena membunuh orang lain? Terkenal karena meledakkan diri sampai tubuhnya berceceran begini? Aduh! Sakit nih orang!”
“Memang sakit!”
“Meledakkan diri kan memang lebih sakit! Kena bakar mercon saja sakit, apalagi kena bom! Kalian sudah merasakan sakitnya gimana?” sahut sepotong telinga.
“Kalau pelaku bom bunuh diri yang sakit sih tidak masalah, itu sudah resikonya. Itu memang pilihannya. Masalahnya, pelaku ini dengan sengaja membuat orang lain juga ikut sakit! Ikut kena musibah!” protes sepotong tangan. “Seharusnya aku berada di kampus. Ada ujian yang harus kukerjakan. Kalau lulus kuliah aku bisa cari kerja dan membahagiakan orang tua. Tapi, lihat keadaanku sekarang?”
“Ya, ini semua gara-gara pelaku ini! Seharusnya aku bisa pulang ke rumahku. Hari ini mainan anak-anak cukup laris. Aku bisa menyisihkan uang untuk makan anak istri dan biaya sekolah. Tapi, sekarang? Siapa yang akan memberi makan anak istriku? Siapa yang akan membayar uang sekolah anak-anakku di kampung?”
“Itu sudah nasib kalian. Takdir kalian,” ujar sepotong kepala.
“Hah, tahu apa kau tentang nasib dan takdir? Manusia tidak ditakdirkan untuk menderita! Itu pilihan. Manusia telah diberi akal dan kekuatan untuk berusaha. Bukan untuk menderita!” protes sepotong tangan.
“Aku sudah sering mendengar ceramah agama. Tapi, hanya masuk telinga kanan, keluar telinga kiri,” ujar sepotong telinga itu.
“Pelaku ini tidak bersyukur telah diberi tangan, kaki, mata, otak, dan lain-lain yang tidak diketahuinya. Tidak bersyukur atas limpahan nikmat yang telah Tuhan berikan,” imbuh sepotong tangan ikut berceramah.
“Pokoknya semua salah pelaku ini. Titik. Jadi, kembalikan tubuhku seperti semula! Kembalikan potongan tubuhku yang lain!” tuntut sepotong otak yang lain.
“Kau menuntut siapa? Pelaku ini sudah mati!” ujar sepotong kepala.
Untuk beberapa lama potongan otak dari pedagang mainan anak-anak itu terdiam. Kemudian ia merajuk lagi. “Bagaimanapun caranya! Kembalikan tubuhku! Kembalikan tubuhku seperti semula! Aku ingin kembali ke anak dan istriku yang sedang menunggu di rumah!”
“Kau sudah gila!” seru sepotong kepala.
“Kalau kau kembali dengan bentuk begini … mereka pasti akan pingsan.”
“Nanti di kamar mayat. Mungkin kita bisa bertemu potongan tubuh yang lain,” ujar sepotong tangan. “Yah, jika beruntung….”
Hening untuk beberapa lama. Tidak ada yang menyahut. Mereka sadar sekarang hanya potongan tubuh yang tidak dapat berbuat apa-apa. Sementara bunyi sirine ambulan masih menguing-nguing.
Ambulan itu menuju ke kamar mayat bersama puluhan potongan tubuh yang lainnya. Di kamar mayat itu, potongan tubuh lainnya dikumpulkan untuk diidentifikasi. Potongan tubuh pelaku dipisah dan diberi tulisan: pelaku.
“Oh, jadi itu pelakunya!” seru potongan paha yang baru dikeluarkan dari tas plastik yang lain.
“Iya, itu pelakunya! Tangkap pelakunya!” ujar sepotong lengan.
“Memangnya kau siapa?” tanya potongan kepala pelaku.
“Aku polisi yang ikut jadi korban,” jawab sepotong lengan itu.
“Telat Pak! Pelakunya sudah mati!” ujar potongan kepala pelaku.
“Loh, tapi kok masih bisa bicara?”
“Karena kematian kita di luar jadwal. Malaikat kematian juga kaget,” sahut bola mata.
“Kau bisa melihat malaikat kematian?”
“Ya, tadi waktu sedang sekarat. Malaikat kematian geleng-geleng kepala melihat tubuh kalian yang terpisah. Malaikat kematian juga kebingungan mencari ruh kalian yang berceceran,” beber bola mata.
“Ini semua gara-gara pelaku bom bunuh diri itu! Malaikat kematian pun dibuat kebingungan!” seru sepotong tangan.
“Halah, sudah! Sudah! Yang terjadi sudah terjadi. Kita tunggu apa kata Tuhan ketika menghadapnya nanti,” lerai potongan kepala.
Maka potongan tubuh itu menghadap Tuhan.
“Tuhan … salah siapa ini?” tanya potongan kepala.
“Ini salah-Ku membiarkan … seharusnya Aku membiarkan kalian tetap menjadi tanah.” Tuhan nampak menyesal.
“Jadi, Kau pun tidak mengetahuinya? Bukankah semua sudah tertulis takdirnya?” tanya sepotong tangan.
“Ya, aku telah menulis semua takdir makhluk dengan takdir yang baik. Sepotong tangan diciptakan untuk mencari nafkah, sepotong kaki diciptakan untuk mencari rizki dari-Ku. Bukan untuk meledakkan diri dan menyiksa tubuh kalian sendiri!” Tuhan nampak marah.
“Tapi, katanya kita akan masuk surga?” tanya potongan kepala.
“Siapa yang bilang? Mati meledakkan diri adalah neraka dunia sebelum neraka akhirat. Kalian menghina Aku dengan merusak ciptaan-Ku. Kalian merendahkan Aku dengan cara mati bunuh diri! Kalian tidak mengerti bagaimana Aku menciptakan tubuh kalian dengan saksama dan hati-hati. Kalian pikir mudah menciptakan sepotong jari? Halah, sepotong kuku saja kalian tidak bisa menciptakan!”
Potongan-potongan tubuh itu terdiam.
Hening beberapa lama. Kemudian ada yang bertanya lagi.
“Jadi … apakah kami akan masuk neraka?” tanya potongan kepala.
“Pasti neraka tempatnya orang yang bunuh diri dan berputus asa atas ujian dari-Ku!” seru Tuhan nampak murka.
“Apakah kami akan disiksa? Lagi?” tanya potongan kaki.
“Tentu saja!”
“Tapi, bukankah kami sekarang terpotong-potong?” tanya potongan kepala.
“Kalian akan disatukan lagi, lalu diledakkan lagi, disatukan lagi lalu diledakkan lagi. Begitu selamanya. Itulah hukuman bagi pelaku bom bunuh diri. Tidak ada maaf dari-Ku.” Tuhan telah memberikan keputusan. Ia hendak kembali ke surga-Nya.
“Tapi, kami mohon ampun … ampunilah kami!” pinta sepotong kepala.
“Ya, bukankah Kau Maha Pengasih dan Maha Penyayang? Maha pemberi ampunan?” tanya sepotong tangan.
Hati Tuhan luluh juga. “Baiklah kalian Kuberi ampun. Tapi, kalian harus menebus dosa kalian. Potongan kepala menjadi penjaga di pintu neraka, potongan tangan membersihkan neraka, potongan kaki membantu menyingkirkan duri di neraka, potongan telinga membantu mengabarkan berita neraka. Begitulah, jika kalian setuju.”
Potongan tubuh itu menyahut serempak. “Ya, kami setuju!”
“Ya, ini lebih baik daripada dihukum dengan cara diledakkan berkali-kali,” bisik potongan kepala.
Situbondo, 9 Agustus 2017

Profil penulis:
Ahmad Sufiatur R. lahir di Situbondo, Jawa Timur. Karya cerpen, komik, novel dan puisinya terbit di beberapa media nasional. Dua karya novelnya terbit di Malaysia. Karya antologinya, Mengejar Tuhan, diterbitkan oleh Komunitas Sasta Setapal Kuda, Jawa Timur.
Cerpen : Ketika Tubuh Bicara Cerpen : Ketika Tubuh Bicara Reviewed by takanta on Agustus 12, 2018 Rating: 5

Tidak ada komentar