Dominasi Patriarki, Konstruksi Tubuh Perempuan dan Pelakor



Pada kesempatan ini penulis mengutip perkataan seorang perempuan bernama Alice tokoh utama dalam film Alice in Wonderland: Coba kau bayangkan jika laki-laki di seluruh dunia memakai gaun (perempuan)!” demikian gumamnya—dan apa yang dikemukakan Alice merupakan salah satu bentuk pemberontakan kaum perempuan yang dikonstrusi oleh pakain sehingga perempuan diidentikkan dengan feminin dan laki-laki diidentikkan dengan maskulin—inilah yang kemudian menjadi cikal-bakal lahirnya dominasi patriarki. Sedangkan secara psikologis sifat feminin tidak mutlak milik perempuan dan sifat maskulin tidak mutlak pula milik laki-laki. Namun, feminin dan maskulin secara hakiki milik laki-laki dan perempuan, tinggal mana yang paling mendominasi.
Berbicara patriarki kian seru jika disandingkan dengan diskusi mengenai feminisme; kata feminisme berasal dari kata Latin “femina” yang berarti perempuan, selanjutnya diterjemahkan kedalam Bahasa Inggris “femine” yang dimaknai pemilik sifat-sifat perempuan, dan ditambah akhiran “isme”—diartikan “faham”. Karenanya feminisme atau yang populer dengan istilah “gerakan feminisme” merupakan upaya sadar mengangkat derajat perempuan yang sedang mengalami subordinasi, penekanan, dan penindasan baik secara budaya, politik, maupun ekonomi—berkaitan dengan patriarki—dimana lelaki dianggap lebih unggul dari perempuan.
Lantas, pertanyaan yang kemudian mengemuka; Bagaimanakah di Indonesia, atau seperti apakah konstruksi gender itu?
Jika dikupas dalam teori feminisme maka yang cocok untuk Indonesia adalah “feminisme poskolonialisme” sebab secara umum sejarah Indonesia merupakan sejarah 350 tahun dijajah oleh Belanda dan 3 tahun dijajah oleh Bangsa Jepang. Dalam hal ini feminisme poskolonial dapat difahami dari pengalaman masa lalu yang bersumber dari penghayatan perempuan dimana mereka telah mengalami penindasan gender dan mengalami subordinasi atau penindasan berdasarkan SARA—suku, agama, dan ras. Pada tulisan ini penulis membagi konstruksi gender menjadi 4 (empat) fase.
Konstruksi gender fase pertama yakni penjajahan Belanda; Dengan masuknya kolonialisme Belanda yang membawa budaya barat pada awal abad 17 hingga pemerintah Hindia Belanda berkuasa sampai awal abad 20, terjadilah praktik pergundikan. Orang kulit putih—terutama Belanda banyak mengambil gundik perempuan Asia, dan khususnya Jawa. Perempuan-perempuan itu kebanyakan berstatus sebagai budak atau pembantu rumah tangga di rumah-rumah orang Eropa. Perempuan pribumi yang menjadi pembantu di rumah orang-orang Belanda itu disebut “nyai”. Dalam hal ini nyai merupakan perempuan pribumi yang tidak hanya mengurus rumah tangga orang kolonial tetapi juga tidur dengannya dan pada banyak kasus menjadi ibu dari anak-anak orang Belanda. Namun, gundik berbeda dengan pelacur. Jika pelacur merupakan perempuan yang menukar tubuhnya dengan uang—gundik dalam konteks era kolonial tidak menukar tubuhnya dengan uang dan ini merupakan hubungan antara majikan dan budaknya (pembantu).
Pergundikan ini berjalan cukup lama terhitung dari abad ke-17 hingga 20, dapatlah dibayangkan bagaimana konstruksi gender yang kemudian hidup di Indonesia. Nyatanya konstruksi budaya kita sangat kental patriarki.
Penderitaan perempuan tidak terhenti sampai pergundikan, selanjutnya datang penjajah baru, yakni; Jepang atau penulis istilahkan konstruksi gender fase kedua. Jepang masuk ke Indonesia terlebih dahulu melalui  Tarakan Kalimantan Timur pada tanggal 10 Januari 1942, seminggu kemudian menaklukkan Balik Papan, disusul Pontianak dan Martapura terjadi pada bulan Februari 1942. Orang Indonesia dan Jepang terkesan bersahabat karena  mereka sama-sama orang Asia. Tindakan tentara Jepang yang cukup berhasil untuk membeli hati orang Indonesia dimana bangsa Jepang dengan dalih menghancurkan  dominansi barat; ketika itu pasukan Jepang membunuh  orang-orang Belanda di depan umum dan disaksikan tatapan mata rakyat  Indonesia. Pula dengan para wanita-wanita yang pada masa kolonial menyebut diri  mereka sebagai orang Belanda, mereka dimasukkan ke dalam rumah pelacuran yang diperuntukkan untuk pelampiasan tentara Jepang itu.
Dari situlah terminologi perempuan pelacur dikenal di Indonesia, pada perkembangannya tempat-tempat prostitusi dibangun diperuntukkan pelampiasan berahi laki-laki.
Jepang hengkang dari Indonesia pada Agustus tahun 1945—bersamaan dengan dihancurkannya Hirosima dan Nagasaki oleh pasukan sekutu. Selanjutnya konstruksi gender fase ketiga. Pada fase ini yang disebut dengan feminisme poskolonial, sedangkan fase pertama dan kedua merupakan konstruksi gender era kolonial. Setelah bangsa ini menghirup udara kemerdekaan namun penderitaan perempuan yang telah konstruksi sedemikian rupa—membuat perempuan Indonesia terdominasi oleh budaya patriarki yang semakin mengental.
Budaya patriarki tersebut penulis gambarkan dari sebuah novel yang berjudul “Gadis Pantai” karya Pramoedya Ananta Toer atau yang populer disebut “Pram”.
Kau milikku. Aku yang menentukan apa yang kau boleh dan tidak boleh, harus dan mesti dikerjakan. Ia mulai mengerti, di sini ia tak boleh punya kawan seorang pun. Penggalan berikutnya: Kau tak boleh sekali-kali menginjakkan kaki di kota ini. Terkutuklah kau bila melanggar.”
Dari kutipan tersebut nampak jelas patriarki memainkan peranan yang sangat dominan—dimana seorang suami memiliki kuasa penuh terhadap istrinya. Namun, istri tidak punya kuasa sedikitpun terhadap suaminya.
Kutipan selanjutnya: “Ia hanya tahu: ia kehilangan seluruh hidupnya. Kadang dalam ketakutan ia bertanya: mengapa tak boleh ia tinggal di mana ia suka, di antara orang-orang tersayang…
Penggalan di atas menyiratkan sang istri mulai berpikir dan berpotensi melakukan pemberontakan terhadap patriarki. Kutipan tersebut menggambarkan budaya patriarki yang kental dan hidup di Jawa. Namun, pada fase ketiga, konstruksi gender di Indonesia mengalami kemajuan jika dibandingkan pada fase nyai atau pergundikan pada zaman kolonialis Belanda dan fase pelacuran pada zaman kolonialis Jepang.
Beranjak pada fase sekarang atau konstruksi gender fase keempat; pada fase keempat perempuan Indonesia sedang dan telah berani melakukan perlawanan terhadap dominasi patriarki ditandai dengan banyaknya perempuan yang telah berhasil menyelesaikan pendidikannya sampai jenjang perguruan tinggi, sejalan dengan kiprah perempuan yang semakin luas terutama pada bidang ekonomi dan politik. Bahkan dewasa ini telah muncul istilah baru yang cukup menycengankan, salah satunya “susis” (suami sieun istri= suami takut istri).
Istilah susis membawa warna tersendiri bagi konstruksi gender pada fase keempat, sebab pada fase sebelumnya istilah susis tidak diketemukan tidak muncul kepermukaan publik.
Ada satu istilah lagi yang baru-baru ini santer diperbincangkan—baik di dunia maya maupun di dunia nyata, istilah tersebut yaitu “pelakor” atau “perempuan perebut laki orang”. Istilah pelakor cukup unik pada konstruksi gender pada fase keempat ini. Kenapa? Pelakor mengindikasikan adanya konflik antara perempuan dan perempuan. Namun, ada hal yang cukup mengejutkan: jika istilah pelakor bermakna konflik antar perempuan. Pertanyaan yang kemudian muncul kenapa perempuan konflik dengan perempuan?
Kemumungkinan pertama, patriarki telah menyesuaikan diri sehingga laki-laki menjadi lebih feminin, konstruksi gender pada fase pertama hingga ketiga—laki-laki memperebutkan perempuan dan itu salah satu bentuk maskulinitas (kejantanan). Tetapi, sekarang dengan istilah pelakor artinya perempuan memperebutkan laki-laki—artinya perempuan terkesan maskulin karena pihak yang aktif dan laki-laki terkesan feminin sebab terkesan pasif. Kemungkinan kedua, patriarki telah terdominasi oleh matriarki (perempuan mendominasi laki-laki).
Pada kesempatan ini, penulis menggaris bawahi bahwa gerakan perempuan atau feminisme bukanlah gerakan balas dendam terhadap patriarki. Namun, feminisme merupakan gerakan transformasi agar laki-laki dan perempuan sejajar dalam konteks sosial, budaya, politik, dan ekonomi—tujuannya agar laki-laki dan perempuan hidup bahagia dan harmonis—sama-sama dapat memberikan sumbangsih untuk kemajuan bangsa dan pembangunan.

Banten, 20 Juli-22 Agustus 2018

Tentang Penulis
Agus Hiplununudin bergiat sebagai Dosen Filsafat Ilmu di STISIP Setia Budhi Rangkasbitung-Banten. Salah satu bukunya yang telah terbit “Politik Gender” diterbitkan Calpulis (Garaha Ilmu), Yogyakarta.
Email       : agus.hiplunudin@yahoo.com
Hp/WA: 0817742204
Fb    : @Agus Hiplunudin
IG    : agus hiplunudin



Dominasi Patriarki, Konstruksi Tubuh Perempuan dan Pelakor Dominasi Patriarki, Konstruksi Tubuh Perempuan dan Pelakor Reviewed by takanta on Agustus 24, 2018 Rating: 5

Tidak ada komentar