Iduladha sebagai Perayaan Berbagi dan Menyelamatkan Sesama


Oleh: Mohammad Farhan*


Iduladha harusnya jadi hari yang menggembirakan untuk semua. Hari ketika masjid dan langgar seketika berubah menjadi ruang pertunjukan bagi anak-anak. Jirigen, kentongan bambu hingga piring seng dipukulnya seraya mengumandangkan takbir. Malam menjadi begitu meriah dan kompak. Sekompak bapak-bapak yang bersiap memotong qurban di waktu pagi selepas salat id.

Suasana itu tidak lagi kita dapatkan. Setidaknya sudah dua Iduladha terakhir. Pandemi ini memaksa kita menahan diri di rumah. Bertakbir secukupnya bersama keluarga dan tidak terlalu larut dalam perayaan yang ramai. Harapannya, tindakan tersebut menjadi satu ikhtiar menyelamatkan sesama dari pandemi ini. Lantas, cukupkah hanya dengan bertakbir di rumah? Bagaimana seharusnya sikap kita pada setiap perayaan hari-hari besar Islam khususnya Iduladha dalam konteks menanggulangi pandemi ini?

Mari kita renungkan lagi kisah klasik tentang Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail. Andai saja perintah Allah kepada Nabi Ibrahim itu dibaca sebagai bentuk ketundukan karena keimanan belaka tentu kisah itu sudah usang. Terlebih karena Umat Islam sudah menerapkannya. Yakni dengan praktik-praktik ibadah mahdoh dan lain sebagainya sebagai wujud keimanan kepada Allah.

Tetapi, jika kisah tersebut juga dibaca dari sisi kritis, maka menjadi lebih kontekstual yakni sebagai simbol pemenggalan segala macam ego dan ketamakan yang ada dalam diri manusia. Nabi Ibrahim seolah ingin menunjukkan bahwa ia melawan egonya dengan tetap menyembelih Ismail. Nabi Ibrahim mendahulukan ketundukannya kepada Allah daripada egonya mempertahankan Ismail. Dan terbukti, ketidakegoisan Nabi Ibrahim itu menjadi perayaan berbagi (berqurban) paling besar dalam sejarah umat manusia hari ini.

Hikmah dari kisah tersebut tentu tidak hanya seremonial berbagi daging qurban saja tetapi juga pesan bahwa kita tidak lagi menjadi manusia yang egois. Kita jadi rajin berbagi dan memberi peluang yang sama kepada orang lain. Hal yang nyaris hilang selama pandemi ini menyebar di Indonesia. Orang-orang jadi lupa memikirkan keselamatan orang lain yang diakibatkan dari ulahnya dengan mempersulit orang lain.

Sebagaimana kisah mengerikan dari  awal pandemi hingga sekarang: masker, obat-obatan, dan vitamin sempat langka dan mahal, tabung oksigen naik dua kali lipat, vaksin berbayar, marah-marah kepada nakes, melempar mobil ambulans di perkampungan, menolak penguburan jenazah yang terinfeksi covid, menampar seorang ibu penjaga warung, hingga fenomena panic buying adalah sederet cerita yang hanya terjadi karena mementingkan dirinya sendiri.

Kita wajib memutus rantai keegoisan itu dengan cara berbagi. Berbagi apa saja. Anda yang punya ide bagikan ide baik. Anda punya jabatan, buat kebijakan yang menyentuh semua lapisan. Anda punya jaringan, hubungkan agar membentuk simpul gerakan peduli masyarakat. Ada punya resep ramuan herbal, bagikan resep tersebut kepada orang-orang yang membutuhkan. Anda punya konten lucu, bagikan itu agar banyak yang gembira sehingga imun terjaga.  

Semua itu kita lakukan karena hari ini, menghadapi pandemi yang tak kunjung usai ini, kita tidak bisa berjalan sendiri-sendiri. Kita tidak bisa bilang “yang penting saya selamat”, “yang penting keluarga”, “silakan cari keselamatannya masing-masing” atau kata-kata heroik yang dipasang di reklame di jalan-jalan kota. Yang lebih tak rasional, "pocong-pocong" yang diajak untuk menyosialisasikan tertib memakai masker. Hmmm... Sama sekali tidak lucu. Dan ini bukan lucu-lucuan. Juga bukan dengan mencipta ketakutan lanjutan.  

Ke depan dan seterusnya, karena kita tidak bisa berjalan sendiri-sendiri, maka kita berusaha maksimal untuk menjadi manusia yang peduli kepada sesama. Hari-hari kita menjadi siklus perenungan untuk membaca keadaan sekitar baik keluarga, kolega, sahabat dan tetangga kanan kiri kita bahkan masyarakat luas. Memastikan setiap jabatan, harta, dan pikiran kita menjadi perantara untuk menyelamatkan banyak orang.   

Iduladha ini, dan setiap perayaan hari-hari besar Islam lainya sudah seharusnya punya orientasi strategis. Ia tidak hanya dibaca dan dirayakan sebagai ritus keagamaan, tetapi juga misi kemanusiaan. Hari besar Islam harus menjadi perekat kebersamaan antar lini baik itu Kiai, guru ngaji, organisasi-organisasi atau gerakan mahasiswa dan politisi serta masyarakat. Semua bersinergi untuk menciptakan solusi yang efektif menghadapi berbagai macam permasalahan di masyarakat. Dalam konteks pandemi ini, Iduladha pantas dijadikan momentum gerakan bersama untuk menyelamatkan sesama.

Jadi, masihkah kita ingin berjalan sendiri-sendiri?

____________

*Penulis adalah guru di SMAN 1 Situbondo.

   

   


Iduladha sebagai Perayaan Berbagi dan Menyelamatkan Sesama Iduladha sebagai Perayaan Berbagi dan Menyelamatkan Sesama Reviewed by takanta on Juli 20, 2021 Rating: 5

2 komentar

  1. alhamdulillah sangat mencerahkan .... semoga kita senantiasa belajar dari semangat ketegaran Ibrahimovic

    BalasHapus
    Balasan
    1. ehmm .... maksud kami ... Ibrahim .... maaf autotext

      Hapus