Cerpen: Cumi-cumi



Oleh: Tara Febriani Khaerunnisa       

Hujan turun memaksa beberapa pengendara sepeda motor seperti aku, dan kekasih baruku, harus menepi ke salah satu resto seafood.  Aku melihat sekitar, sepertinya beberapa mahasiswa juga terpaksa berteduh di tempat ini. Jam dua, sudah sedikit melewati waktu makan siang. Seafood bukan pilihan ramah bagi kantong mahasiswa, terlebih lagi untuk makan siang. Kami membutuhkan porsi yang banyak dan resto seperti ini tidak menawarkan hal itu.

“Mau makan?” tanya Sora memecah pikiranku. “Kau menengok ke dalam beberapa kali, mau masuk?” tambahnya.

Aku menimbang-nimbang dengan memberikannya ekspresi mata memicing yang tak menyenangkan.

“Ayo masuk saja, hari ini kutraktir.”

“Aku akan membayar makan malam.”

“Sepakat.”

Kami masuk, dan menyadari bagian dalam resto yang ternyata sama ramainya dengan bagian luar. Bedanya di sini orang-orang duduk; hanya pelayan yang berdiri dan bergerak ke sana kemari. Kami mencari-cari meja kosong yang dapat ditempati. Tepat sekali, ada di pojok sisi lain ruangan ini. Kami berjalan terburu-buru karena khawatir akan ada pelanggan lain yang lebih dulu menempati. Sampai di meja, pelayan datang seketika dan memberikan buku menu, dijilid sederhana.

“Nasi goreng udang satu ya, Mas.”

“Cumi panggang utuhnya satu, dan nasi putih. Kau mau minum apa?”

“Air putih saja.”

“Air putih, dua.”

Pelayan membaca ulang pesanan kami, dan kami mengangguk. Aku melihat-lihat lagi kondisi resto yang padat dengan hampir seluruh mejanya terisi. Aku melihat Sora yang sedang sibuk dengan gawainya. Aku mulai memainkan kotak tisu, wadah tusuk gigi, dan botol saus dan botol kecap yang diletakkan dalam wadah kotak kayu yang sama.

“Kau suka makanan laut?” Sora memecah keheningan di antara kami.

“Biasa saja. Ibuku jarang memasak makanan laut. Aku bahkan tidak pernah memakan cumi-cumi,” jawabku dengan suara yang sedikit lebih keras.

Sora mengerutkan dahinya, menelengkan kepalanya dan bertanya: “Kenapa? Kau memiliki alergi?”

“Tidak, tidak. Ibuku tidak bisa memakan, bahkan melihat cumi-cumi setelah peristiwa yang dialaminya saat masih muda. Dulu, ibuku mendapatkan tugas pertamanya menjadi bidan di salah satu desa yang sangat jauh dari kota. Desa itu, kata ibuku, berada di tengah-tengah pegunungan. Jadi, kau benar-benar bisa melihat pegunungan mengitarimu dan seperti mengurungmu. Akses jalannya juga sangat buruk. Bahkan tidak bisa dilewati saat hujan. Saat ibuku pertama kali datang ke desa itu, tepatnya di balai desa, untuk memperkenalkan diri dan lain sebagainya, ibuku melihat cumi-cumi raksasa. Cumi-cumi itu dipasung pada sebatang bambu tinggi yang membuatnya seperti kipas kaku berwarna putih kumal.”

Minuman kami datang. Kami mengangguk, pelayan itu tersenyum, dan pergi.

“Cumi-cumi raksasa? Di tengah desa di pegunungan? Yang benar saja,” Air muka Sora menunjukkan ekspresi yang menyebalkan, seolah mengejek ceritaku.

“Iya, ibuku awalnya mengira itu hanyalah cumi-cumi raksasa karena bentuknya seperti itu. Dia memerhatikan benda besar berwarna putih itu lama sekali sampai Kepala Desa memanggilnya masuk. Mereka menjelaskan seluruh rangkaian kegiatan desa yang akan membutuhkan ibuku, tempat yang akan menjadi rumahnya, lokasi Klinik Kesehatan Desa, dan lain sebagainya. Saat ibuku ditanya ‘apakah ada yang kurang jelas, Ibu Bidan?’ ibuku justru langsung menanyakan cumi-cumi besar di depan balai desa itu. Yang mengejutkan, mereka menjawab ‘oh, itu manusia yang dipasung.’”

“Kau bercanda?” dia bertanya dengan raut wajah serius.

Aku menghela napas. “Kita bisa ke rumahku sekarang dan meminta ibuku menceritakannya,” jawabku datar.

Hening cukup lama antara kami berdua. Aku memutuskan untuk diam karena Sora terlihat tidak nyaman dengan ceritaku. Aku mengutuk tempat ini lebih dari sepuluh kali karena sangat lama menyajikan makanan kami.

“Mengapa ada orang yang dipasung?” ujar Sora penasaran.

“Ada alasannya. Tapi sebaiknya tidak kuceritakan sekarang, apalagi di tempat makan.”

“Ceritakan saja. Aku tidak mudah terpengaruh, apalagi hanya dari cerita.”

“Sungguh, ini bukan cerita yang menyenangkan untuk didengar sebelum makan.” Nada suaraku menjadi serius.

“Ceritakan saja, kau membuatku menjadi semakin penasaran!”

Aku melanjutkan ceritaku: “Saat pertama kali diberitahu, ibuku memang tidak percaya dan menganggap perangkat desa yang menjawab pertanyaannya sedang bercanda. Saat ibuku bertanya untuk memastikan lagi, wajah seluruh perangkat desa tidak menunjukkan bahwa itu adalah lelucon. Karena suasana sudah telanjur tidak menyenangkan, ibuku hanya mengangguk dan meminta maaf. Setelah itu salah satu perangkat desa mengantarkan ibuku ke kediaman sementaranya. Melewati cumi-cumi raksasa itu lagi, ibuku mendongak dan melihatnya. Tidak terlihat seperti manusia karena kain putih yang menutupinya. Kering, kumal, dan kaku.

‘Ibu Bidan, ayo cepat, sebentar lagi akan turun hujan,’ tegur salah satu perangkat desa yang bertugas mengantar ibuku.

Selama berada di sana, tidak ada halangan berarti yang dilalui ibuku, kecuali jalan yang buruk dan jarak dari satu tempat ke tempat lainnya yang cukup jauh dan membutuhkan kendaraan bermotor. Dalam menjalankan tugasnya sebagai bidan, Ibu juga merasa tidak ada halangan atau peristiwa ganjil. Sebagian besar harinya dihabiskan untuk berjalan-jalan di sekitar tempat tinggalnya. Melihat hamparan pegunungan yang memang tampak mengurungnya. Tapi, apa salahnya kalau pun dikurung di tempat seindah itu. Udara di sana juga sangat sejuk dan bernapas pun terasa ringan. Satu rumah dengan rumah lainnya cukup berjarak, sekitar 20 meter, mungkin. Ibu sering meminta bantuan sekadar menitip belanjaan atau meminta keperluan dapur ke rumah terdekat.

Pada pekan pertama bulan terakhir Ibu bertugas sebagai bidan desa, ada dua sampai tiga kelahiran pada satu hari. Dan itu semua berlangsung selama sepekan. Pada waktu itu, Ibu sangat kewalahan karena harus bepergian dari satu dusun ke dusun lainnya dengan jarak tempuh yang tidak dekat dan tidak mudah. Bahkan, di beberapa waktu pun Ibu bertemu hujan, atau peristiwa tas yang berisi alat bantu persalinan jatuh ke jurang, sampai peristiwa-peristiwa tidak mengenakkan lainnya.

Namun, di setiap rumah di desa itu, semua perempuan yang akan melahirkan diletakkan di atas kain putih besar di tengah ruangan rumah mereka. Awalnya Ibu berpikir itu dilakukan oleh satu atau dua orang saja saat minggu-minggu awal. Namun, ternyata seluruh keluarga melakukannya. Kain besar dijadikan alas melahirkan oleh warga desa. Dan satu hal lagi, setiap persalinan hanya ditemani oleh salah satu anggota keluarga. Yang mendampingi tidak menentu, terkadang ayah, ibu, kakek, nenek, atau saudara calon ibu. Namun, lebih sering ialah kakek atau nenek si calon ibu, atau anggota tertua di keluarga itu.

Pada hari terakhir pekan itu, salah satu perangkat desa yang bertugas mengantarkan Ibu saat bepergian berkata: ‘ini hari terakhir, tidak ada yang akan melahirkan lagi hingga tahun mendatang. Besok, orang-orang akan berkumpul di balai desa, Ibu Bidan bisa ikut untuk melihat-lihat.’ Ibu sudah cukup lelah hari itu sehingga tidak mengajukan pertanyaan apa pun dan hanya mengiyakan.

Keesokan harinya, Ibu dijemput untuk ke balai desa. Di sana, sudah ramai. Warga desa membawa bambu dan kain putih. Ibu bertanya ke orang yang biasa mengantarnya: ‘ada kegiatan apa ini?’. ‘Ini proses pemasungan yang dilakukan untuk menyambut salah satu anggota keluarga yang lahir, dan melepaskan salah satu anggota keluarga yang lain.’ Ibuku sangat terkejut, bingung, dan tidak bisa berkata apa pun. ‘Prosesi ini juga menguntungkan pihak yang dipasung. Akan menghapus seluruh dosanya dan dosa-dosa keluarganya, serta menyucikan bayi yang baru lahir. Mereka melakukannya secara sukarela. Bahkan beberapa anggota keluarga berupaya untuk mengisi posisi itu. Kami semua ingin dipasung. Kami semua ingin menjadi suci,’ tambah pegawai desa itu.

Ibu tetap di lokasi melihat prosesi itu. Awalnya, para anggota keluarga dipasung dengan bambu yang sudah dibentuk menyesuaikan badan mereka dengan posisi tangan dilebarkan. Selanjutnya, kaki, tangan, hingga leher mereka diikat menjadi satu dengan bambu, sehingga tidak bisa dilepaskan lagi. Bagian terakhir adalah menutup mereka dengan kain putih. Kain putih yang digunakan saat proses melahirkan. Kain putih dengan noda darah yang melebar. Keterkejutan ibu berlanjut ketika mengetahui bahwa yang dipasung ialah orang-orang yang menemani calon ibu saat proses melahirkan.

Orang-orang yang dipasung sangat tenang. Mereka seperti sudah mati ketika prosesi kelahiran terjadi. Mereka tidak melakukan aktivitas apa-apa lagi, termasuk makan. Seperti mempersiapkan diri menghadap ilahi.  Namun, sebagian kecil dari mereka ada yang berteriak, menangis, dan meminta raganya diganti di tiang itu. Mereka menolak ajalnya. Menolak takdirnya.  Mereka terus berteriak hingga suaranya tak ada lagi.  Dan matahari mengangkat jiwanya. Lama kelamaan, orang-orang itu menjadi kering dan kusut. Kain itu menyatu dengan tubuhnya. Mereka, kata ibuku, terlihat seperti cumi-cumi.”

Pesanan kami datang tepat saat cerita selesai. Aku mengambil nasi goreng, dan menggeser makanan Sora ke hadapannya. Cumi-cumi panggang yang cukup besar. Berbentuk utuh. Hanya bagian badannya yang disayat melintang agar bumbu-bumbu mudah meresap. Siripnya juga terlihat lebar, tipis, kaku, dan bening.

“Kau tidak akan terpengaruh dengan ceritaku, kan? Ayo makan,” ajakku setelah melihat Sora hanya menatap makanannya.

“Kau seharusnya tidak menceritakan kisah yang begitu menjijikan. Pelayan?” Sora mengangkat tangannya. “Tolong cumi ini diangkat saja. Saya mau pesan nasi goreng udang.”***

 

Biodata

Tara Febriani Khaerunnisa, lahir di Ampenan, Lombok, 7 Februari 2001. Mahasiswa program studi Hubungan Internasional, Universitas Mataram. Beberapa cerpennya telah terbit di platform digital. Ikut terlibat di Komunitas Akarpohon, Mataram, Nusa Tenggara Barat.

LUSTRATOR

Alexong, Situbondo, 09 September 1999. Kuliah di Universitas Pendidikan Ganesha, Prodi Pendidikan Seni Rupa. Bahagia membaca, menulis, melukis, dan bejualan buku di Instagram @mellebuku. Ia dapat dihubungi melalui akun Instagram @alex.ong1999.

Cerpen: Cumi-cumi Cerpen: Cumi-cumi Reviewed by takanta on April 16, 2023 Rating: 5

1 komentar