Ramadan: Momen Titik Bangun Literasi



Oleh: Soekaryo

Selain menjadi momen mendisiplinkan diri untuk beribadah, Ramadan kerap dimanfaatkan oleh sejumlah komunitas atau individu untuk mengkaji topik hangat. Untuk mencakup peserta luas, mereka memanfaatkan media sosial. Seperti akun @rangkulragam yang membikin acara ngaji perbedaan puasa di tiap agama.

Akun seperti @rangkulragam membuka pemahaman cakrawala arti perbedaan. Tentu, gerakan itu merupakan bagian dari literasi digital. Merujuk di laman kemendikbud, ada 6 literasi dasar yakni, baca tulis, numerisasi, sains, digital, finansial, serta budaya dan kewargaan. Namun, bagaimana kondisi literasi di Indonesia? Berapa peringkatnya di dunia?

Jika meninjau dari data Program for International Student Assessment (PISA) dengan OECD sebagai penyelenggara, Indonesia termasuk peringkat ke-62 dari 70 negara di dunia pada tahun 2018. Hal ini menunjukkan bagaimana minat literasi di Indonesia.

Di Ramadan ini pantas kiranya menjadi titik kembali untuk mengkatkan budaya literasi. Mengingat, ayat pertama Al Quran turun pada 17 Ramadan. Merujuk laman NU Online, ayat pertama itu berbunyi Iqra’ bismi rabbikal ladzi khalaq. Artinya, bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan. Dalam laman itu disebutkan, tafsir Quraish Shihab dalam kitab tafsir Al-Mishbah atas iqra berarti membaca. Namun, iqra tidak berarti hanya bermakna sebagai membaca saja, tetapi juga bisa menelaah, meneliti, membaca lebih dalam, dan sebagainya.

Jika menjau makna iqra dalam surah Al-‘Alaq, penting kiranya untuk membangun kembali budaya literasi. Tentunya dengan kebiasaan, karena budaya tidak lepas dari hal yang biasa dilakukan. Apalagi di momen turunnya Al-Quran atau Nuzulul Quran, patut untuk memulai budaya tersebut.

Kendala dalam membangun kebiasaan tidak lepas dari meluangkan waktu. Tidak salah jika meluangkan waktu antara satu hingga tiga jam untuk membaca dan menulis. Usai membaca satu bab buku, buatlah satu catatan pokok pikiran atau interpretasi agar apa yang dibaca bisa lebih kuat diingat dan dimengerti.

Sebab, membaca tanpa memahami isinya hanya membuang tenaga dan waktu. Jangan lagi menormalisasi membaca saja! Belum lagi, kualitas bacaan yang baiknya dikonsumsi sesuai kebutuhan, usia misal. Apalagi dalam bahan bacaan perlu untuk memahami konteksnya. Membaca karya fiksi? Tidak salah dan cenderung dibutuhkan untuk mencari pandangan alternatif mengenai sekitar dan inspirasi.

Terlebih untuk literasi baca tulis. Selain waktu, permasalahan lainnya ialah akses bacaan. Sebenarnya, akses bacaan bukan lagi menjadi kendala utama dengan hadirnya perpustakaan digital atau perpustakaan sekitar. Terlebih di daerah sudah banyak tumbuh komunitas literasi atau taman baca masyarakat (TMB).

Jika kesulitan untuk mencerna bacaan, ada baiknya untuk membentuk atau bergabung bersama komunitas baca guna berbagi pemahaman. Seperti di adagium “dua kepala lebih baik dari satu kepala”. Dalam hal memahami, lebih baik untuk memahami persepsi orang lain atas satu bacaan agar membuka sudut pandang baru.

Selain literasi baca dan tulis masih ada 5 budaya lainnya. Apa akibatnya jika budaya literasi masih lemah? Contoh terdekatnya ialah tumbuhnya kabar hoax di masyarakat. Merujuk hasil survei Katadata Insight Center (KIC) dan Kominfo, sebanyak 11,9 persen dari 10 ribu responden di 34 provinsi menyebarkan kabar bohong atau hoax di tahun 2021, lebih tinggi 0,7 persen dibandingkan tahun 2020.  Sedangkan, Kominfo menemukan 9.564 hoax tersebar sejak Agustus 2018-2021, dikutip dari laman Tempo.

Hal tersebut merupakan contoh perwajahan atas literasi digital di Indonesia. Contoh kasus itu hanya sebagian dari lemahnya budaya literasi. []

 

*) Soekaryo, Pustakawan Ahli Utama Dinas Perpustakaan dan ke Arsipan Prov Jatim.

Ramadan: Momen Titik Bangun Literasi Ramadan: Momen Titik Bangun Literasi Reviewed by takanta on April 19, 2023 Rating: 5

Tidak ada komentar