Ramadan: Tangisan pada Suatu Malam

 


Oleh: Moh. Imron

Di sepanjang jalan−sekitar 3 km−aku mengayun sepeda ontel menuju rumah sembari menangis. Dinihari itu, jalanan tampak sepi, angin berembus kencang. Aku tidak merasakan dingin. Sementara air mata terus mengalir dan sulit untuk dibendung.

Sampai di halaman rumah, aku langsung menghempaskan sepeda, berlari ke dalam rumah. Semua saudara berkumpul di sana. Emak terbaring di kasur pembaringan, ditutupi samper. Aku membuka samper bagian kepala. Aku melihat Emak memejamkan mata, ia telah pergi untuk selamanya. Aku merasakah sakit. Nenek memelukku, seolah menguatkanku untuk bersabar.

Apa yang aku takutkan, itu benar-benar terjadi. Berbulan-bulan sebelumnya, aku bermimpi bahwa Emak telah wafat pada bulan Ramadan. Aku tahu, Emak memang sedang mengalami sakit tahunan. Mimpi itu, aku ceritakan pada nenek. Itu tandanya Emak akan sembuh, katanya. Ketakutan akan kepergian Emak selalu terbayang setelah mimpi itu.

Pada hari-hari Emak sakit, aku kadang izin pulang untuk menjenguk dan melihat kondisi Emak. Aku duduk di lincak ruang tamu, Emak duduk di sampingku. Aku tahu, Emak bertambah kurus. Sebagian helai rambutnya sudah memutih. Obrolan Emak kadang tidak nyambung.

Aku nggak tahu penyakit apa yang menimpa Emak. Katanya sih asam urat, ada juga yang bilang kena guna-guna. Rama dan saudara sudah berusaha semampunya mencari pengobatan ke sana ke mari. Ya, aku harus belajar mengikhlaskan, mungkin ini yang terbaik.

Sesudah Emak dimakamkan, aku merasa, hari-hariku hampa. Aku banyak menyendiri, kadang menangis. Nggak tahu harus gimana. Di saat menyendiri, kadang kenangan hadir mengingatkan potongan kisah bersama Emak. Saat kenangan ditampilkan di ingatan kadang merembet ke mana-mana.

***

Dulu, di setiap Ramadan, Emak akan bangun setiap pukul satu dinihari. Jam segitu, aku selalu berpesan kepada Rama untuk dibangunkan dan melihat patrol yang sering kali melintas di depan rumah. Sementara Rama selalu mendengarkan lomba-lomba patrol di radio. Dan Emak, tentu saja memasak di dapur dengan kompor minyak tanah, saat itu masih belum ada mejicom dan kompor gas. Suara air mendidih, suara memotong bawang, hingga menggoreng ikan terdengar ke dalam rumah.

Kemudian kami sahur bersama diiringi suara pembacaan tarhim menjelang subuh yang khas pada bulan Ramadan di masjid.

***

Aku kembali ke pondok pesantren. Hari-hariku di sana semakin kacau. Aku juga malas melanjutkan kuliah. Saat itu, aku sudah semester 3. Aku gak tahu harus gimana. Yang jelas aku mulai jarang masuk kuliah dan pada akhirnya berujung memilih terminal selama satu tahun dan aku gak bercerita soal ini kepada Rama. Aku bingung. Aku merasa sudah sampai ke titik terpuruk. Aku sedih. Sesekali aku ingin bangkit, tapi gak tahu harus mulai dari mana?

Suatu ketika, saat aku pulang ke rumah, aku bersih-bersih lemari, menata buku-buku, foto-foto keluarga, piagam hingga ijazahku, bapak dan punya adik. Dan Emak tidak lulus SD, jadi gak punya ijazah. Sejak SD hingga awal kuliah, aku sering bercerita sekaligus menunjukkan nilai-nilai ulangan, nilai-nilai rapot dan ijazah kepada Emak.

Aku melihat satu-satu persatu kertas berhaga itu. Hingga sampai pada selembar kertas yang tak pernah kulihat sebelumnya, rupanya sebuah kertas yang menunjukkan nilai-nilai Emak. Kertas yang menunjukkan bahwa Emak sadang lulus program Buta Aksara yang diadakan oleh desa. Aku juga melihat tulisan Emak dalam sebuah buku bergaris. Itu tulisan latihan Emak saat mengikuti kegiatan Buta Aksara. Sebuah tulisan seperti anak TK. Salah satu kalimat yang ditulis dalam buku itu, aku sayang anakku. Berulang-berulang hingga menjadi satu halaman.

Aku sadar. Memilih berhenti kuliah adalah sebuah kesalahan. Emak telah menunjukkan bahwa tak ada kata terlambat untuk belajar. Aku tahu, menuntut ilmu itu wajib sampai sampai mati.

“Ketika kuliah, kau harus menggunakan biaya sendiri,” pesan itu aku dapat ketika dalam mimpi, entah siapa yang mengatakan.

Aku kembali ke kampus untuk melanjutkan kuliah, data-data dan nilai sudah dicek. Sayangnya aku telat kembali. Aku diminta menunggu sekitar 8 bulan lagi untuk melanjutkan semester 4. Tapi gak apa-apa setidaknya aku bisa kuliah lagi.

Aku juga memilih berhenti mondok. Aku sudah sampai di titik jenuh. Hingga suatu ketika saat ke warnet langganan, aku ditawari menjadi operator warnet karena ada penjaga shif malam yang mengundurkan diri.

Sejak SMA kelas 3 di akhir 2007, aku baru mulai rajin ke warnet untuk mengerjakan tugas, sisanya ngabisin waktu di media mIRC, Yahoo Messenger dan Friendster. Doanknet adalah warnet yang baru buka dan dekat pondokku dulu. Pada akhirnya aku lebih sering langganan di doanknet. Saking seringnya kewarnet, aku sampai kenal ke operator dan pemiliknya. Ketika operator ada kepentingan mendesak, aku diminta jaga sebentar, jadi aku sedikit paham. Alasan itulah aku ditawari jaga warnet.

Dengan bekerja di warnet, setidaknya aku bisa menggunakan komputer secara gratis, bisa main game, media sosial hingga aku tertarik belajar desain. Dan ketika kuliah setidaknya tugas-tugas bisa dikerjakan di warnet. Gajinya memang tidak seberapa. Tapi aku mendapat fasilitas kamar tidur, dapur dan kamar mandi. Itu sudah lebih dari cukup.

Pada akhirnya, di tahun 2011, aku kembali kuliah, saat itu pula aku kredit sepeda motor, karena sebelumnya menggunakan sepeda ontel ke kampus. Aku memilih mata kuliah pagi, karena setiap pukul 4 sore aku harus shif kerja sampai jam 12 malam. Aku tinggal di warnet dan kuanggap rumah sendiri.

Entahlah, hari itu menjadi hari yang menyenangkan, aku mulai giat belajar tentang apa saja yang menurutku itu bermanfaat di masa depan. Aku banyak belajar di beberapa komunitas, ya setidaknya aku bisa mengenal tempat wisata dan budaya Situbondo. Dan termasuk bagaimana warnet ini penghasilannya bisa banyak. Jika melebihi target, aku akan mendapat bonus.

Aku juga sampai di momen wisuda yang bertempat di GOR Situbondo. Rama hadir di acara itu. Aku berfoto sama Rama. Di sisi lain aku bersedih karena di saat momen seperti itu Emak nggak ada di sana. Tapi aku yakin dia akan melihat, dan mungkin ini yang Emak inginkan.

Bahkan ketika aku menikah aku merindukan Emak. Aku juga ingin wajah Emak juga muncul di foto pernikahanku.

Terima kasih buat istri yang sudah menerimaku. Kini, aku telah menjadikanmu seorang ibu, ibu yang hebat dari anakku, sekaligus menjadi saksi, bagaimana menjadi seorang ibu. Betapa butuh perjuangan melahirkan seorang anak dan harus bekerja keras untuk merawatnya. Tentu, dulu Emak pun begitu. Terima kasih, telah melahirkanku, Mak.

Di bulan Ramadan hingga lebaran akan selalu menjadi bulan terbaik untuk mengenang dan mendokaanmu. []


Ramadan: Tangisan pada Suatu Malam Ramadan: Tangisan pada Suatu Malam Reviewed by takanta on April 14, 2023 Rating: 5

Tidak ada komentar