Cerpen: Lelaki Yang Bercita-cita Jadi Tukang Sihir



Oleh: A. Warits Rovi

Ki Mat Rombu mati lima belas tahun silam, ketika aku masih duduk di kelas 3 SD. Ia dibunuh beramai-ramai pada suatu pagi yang disisir gerimis. Dengan modal payung darurat dari selembar daun jati, aku menyempatkan diri sejenak menatap orang-orang yang beringas menyeret Ki Mat Rombu. Wajah mereka memerah, serasi dengan tatap matanya yang kerap terbelalak murka mirip singa. Mulutnya melontarkan aneka pisuhan, lalu ada yang menendang, menampar, mencambuk dan bentuk penyikasaan lain yang diarahkan membabi buta ke tubuh Ki Mat Rombu.

Ki Mat Rombu hanya bisa sedikit menggeliat di bawah ricik gerimis. Suara jeritnya sudah terdengar sangat serak bagai panci digesek ke lantai. Matanya terpejam dan lidahnya menjulur, menahan rasa sakit yang tak terperi. Dadanya yang keriput, naik-turun mengeluarkan napas satu-satu. Sekujur tubuhnya besimbah darah segar. Gerimis mencairkannya ke badan jalan, membekas merah pada kerikil dan rumput basah, menembakkan aroma amis ke udara.

Aku tak tega melihat keberingasan warga saat itu. Kakiku balik haluan ke arah sekolah demi tak melihat tubuh Ki Mat Rombu yang sedang jadi bulan-bulanan warga.

Di sekolah—setelah sekitar 20 menit aku terdiam gemetar menahan rasa takut di bangku belakang—,salah seorang teman datang dan bercerita sambil mengatur napas yang tersengal. Katanya, Ki Mat Rombu dilempar dari atas tebing terjal hingga jatuh remuk ke dasar jurang. Warga kemudian bersorak, bertepuk tangan dan bernyanyi-nyanyi. Mereka bahagia karena tukang sihir yang mereka benci akhirnya mati mengenaskan di dasar jurang. Kebahagiaan warga itu dirayakan dengan tabuhan musik perkusi tradisional sambil mengelilingi kampung. Proses pembunuhan Ki Mat Rombu dan perayaan kematiannya dikomando oleh Oba’ Muis. Dialah yang mengajak warga sekaligus membiayai segala keperluannya mulai rencana pembunuhan hingga perayaan kematian Ki Mat Rombu yang diakhiri dengan pesta panggang kambing sebanyak tujuh ekor di dekat tambak udang di ujung timur desa.

Seingatku, sejak kematian Ki Mat Rombu, proyek tambak udang di pesisir desa yang sempat terhenti belasan tahun itu dilanjutkan kembali. Pekerja dari berbagai penjuru berdatangan, leluasa dan aman bekerja di tambak itu tanpa takut mati terkena sihir seperti pekerja terdahulu ketika masih ada Ki Mat Rombu.

#

Sebulan setelah Ki Mat Rombu meninggal, aku sempat menemui kakek di beranda ketika ia duduk berteman kopi dan rokok seraya memandang bulan sabit merangkak karam ke ujung siwalan.

“Kenapa kakek seperti tidak setuju dan tidak bahagia dengan kamatian Ki Mat Rombu?” telisikku perlahan.

Kakek hanya menoleh dan menatap tajam ke wajahku, sebentar mengisap rokok dan kembali memandang ke depan tanpa menjawab apa-apa.

“Kakek jadi duda seperti ini, itu juga karena tangan setan Ki Mat Rombu yang menyihir nenek hingga bertemu ajal,” suaraku didesau angin.

Kakek tetap tak menjawab. Sepasang matanya masih menatap ke depan, ke hamparan langit hitam yang sudah ditinggal bulan sabit. Memainkan gumpalan asap hingga bergulung-gulung lalu lenyap dihalau angin.

“Mestinya kakek bahagia mendengar si tukang sihir itu mati.”

“Mestinya kau jadi cucu yang cerdas,” bibir kakek baru melontar kata-kata.

“Maksud kakek?” aku bingung.

Kakek berdiri, ia menatap wajahku seraya menembakkan senyum kecut. Mematikan puntung lalu melangkah pergi.

“Suatu saat kau akan tahu sendiri. Jangan hubungkan kematian nenekmu dengan Ki Mat Rombu, biar tidak jadi fitnah. Kita tak punya bukti jelas jika ia telah menyihir nenekmu.” Kakek bergegas ke kamar tidur, aku menatapnya dari belakang.

#

Jalan utama kampungku selalu dilintasi truk-truk besar yang memuat barang berukuran berat ke arah tambak. Membuat aspal retak dan kocar-kacir, perlahan lenyap berganti pasir yang—ketika dihempas angin—berhamburan ke rumah-rumah warga. Truk-truk itu juga kerap melaju kencang, membuat ayam-ayam lari tunggang langgang. Anak-anak yang bermain sepeda di jalan itu sering dimarahi oleh sopir karena dianggap mengganggu jalan.

Kian hari sopir-sopir itu malah kian berani membuat ulah, mereka mulai berani memarahi warga yang dianggap mengganggu jalan. Biasanya mereka melintas sambil menyalakan musik dugem keras-keras, dari arah truk yang melaju itu kerap terhidu bau alkohol. Selain truk besar, para pekerja tambak yang berasal dari luar desaku juga sering lewat dengan tingkah yang tak sopan. Banyak dari mereka yang memodif knalpot motornya hingga memekik nyaring. Tak cukup itu, mereka juga bernyanyi-nyanyi dan tertawa nyaring sepuasnya membuat warga terusik.

Keberanian para sopir itu juga didukung pihak tambak. Mereka mulai turun ke jalan desa, bukannya membenahi yang rusak, tapi malah memangkas liar pohon-pohon dan membabat sekenanya tanah warga yang ada di tepi jalan hingga tanah yang berupa tepian ladang itu rusak. Pagar tambak dibuat kokoh menjulang, pagar itu menutup akses jalan sebagian warga yang punya lahan di sekitar tambak. Warga yang ingin ke lahannya sendiri harus minta izin ketat untuk bisa lewat melalui pintu pagar. Pagar bagian barat malah merembet pagar masjid hingga masuk ke area halaman masjid. Keramaian di balik pagar sering mengganggu warga yang sedang salat. Beberpa warga sudah mengubungi pemerintah desa, tapi mereka seperti tak menggubris suara warga.

Kakek sering memikirkan hal itu dengan mata mericikkan butiran dingin. Ia terisak, bibirnya putih pucat. Di saat seperti itu, biasanya kakek mengajakku ke makam Ki Mat Rombu. Sontak saja aku naik darah.

“Dia tukang sihir, Kek. Bukan waliyullah. Untuk apa kita berziarah ke makamnya?”

“Dia memang tukang sihir, tapi punya sumbangsih yang baik kepada warga.”

“Sumbangsih yang baik? Jangan mengada-ada, Kek. Dia dibunuh warga justru karena rajin menyihir warga. Bahkan Oba’ Muis pernah bercerita, nenek meninggal juga karena disihir oleh Ki Mat Rombu,” aku berdiri, emosiku semakin meledak-ledak. Suaraku nyaring, berbicara sambil memalingkan muka dari kakek.

“Hehe. Kamu menyebut Oba’ Muis. Kamu ini masih muda, belum tahu siapa Oba’ Muis yang sebenarnya. Juga belum tahu tentang kejadian-kejadian di desa ini yang penuh politik. Jika kamu mau, ayo duduk di dekatku, biar kuceritakan apa yang sebenarnya terjadi selama ini,” pinta kakek membuatku menoleh dan tertarik karena penasaran. Aku pun duduk di dekatnya meski masih dengan sisa luapan emosi.

“Ki Mat Rombu itu sebenarnya orang baik. Pada zaman penjajahan, dia disuruh tetua desa ini untuk belajar sihir ke luar Madura. Sihir itu kemudian digunakan untuk membunuh penjajah yang bertugas di desa ini sebagaimana yang diperintahkan tetua. Setelah penjajahan berakhir, dia tetap menggunakan sihirnya untuk membunuh orang-orang yang mencoba mengusik kenyamanan warga sini seperti para pekerja tambak yang jelas-jelas milik asing dan merusak lingkungan desa ini,” Kakek mengambil napas, ia melirikku dengan tatap lembut.

“Sedangkan Oba’ Muis adalah orang licik yang pandai memanfaatkan warga demi keuntungan dirinya. Dia kaki-tangan orang asing untuk menguasai lahan dan untuk mengeruk kekayaan alam desa ini. Dia ditugas jadi petinggi tambak dengan bayaran besar. Dia merasa rugi ketika pekerja tambak banyak yang mati oleh sihir Ki Mat Rombu beberapa waktu lalu. Akhirnya ia mengompori warga agar membunuh Ki Mat Rombu karena alasan tukang sihir. Padahal sihir Ki Mat Rombu digunakan untuk membunuh orang luar yang mengancam ketenangan hidup warga sini. Dan kamu tahu sendiri kan? setelah Ki Mat Rombu meninggal, pembangunan tambak berjalan lagi, dan sekarang kamu pasti juga tahu, betapa tambak itu sangat merugikan warga. Sedang Oba’ Muis menari puas dengan kekayaannya di atas penderitaan warga,” kakek menepuk pundakku seraya menembakkan sebentuk senyum. Aku mengangguk perlahan, seiring kobaran api emosiku redam berganti haluan jadi api emosi lain yang tertuju kepada Oba’ Muis.

Aku lalu berkesimpulan; Oba’ Muis adalah salah satu orang licik yang hidup di desa ini. Aku yakin, Oba’ Muis yang lain sangat banyak. Ia hidup di tingkat kecamatan, tingkat kabupaten, tingkat provinsi dan di tingkat nasional. Mereka hidup mengeruk kekayaan negara dengan licik demi kepuasan diri dan golongannya lalu berpesta ria di atas penderitaan warga.

“Orang seperti itu hanya bisa dibasmi dengan kekuatan sihir,” pikirku.

Sejak saat itulah aku bercita-cita ingin jadi tukang sihir. Jika ada data diri yang ada tulisan ‘cita-cita:’nya, aku berani mengisinya dengan kalimat “Ingin menjadi tukang sihir”. Aku ingin seperti Ki Mat Rombu; biar tak disanjung sebagai pahlawan dan meski disebut tukang sihir tapi punya sumbangsih nyata bagi negeri ini.

Akhirnya aku terbiasa ke makam Ki Mat Rombu. Mulanya, aku berkunjung bersama kakek setiap Kamis sore, tapi beberapa minggu kemudian, aku berkunjung sendiri setiap malam Jumat pada waktu dini hari.

Pada suatu dini hari yang senyap, saat bulan tanggal tua melancip senyap di balik rimbun daun yang berkeramas embun, aku menusukkan lima batang jarum ke tubuh boneka berkebat kain kafan yang diikat 3 helai benang. Jarum terbesar kutusukkan tepat di dada boneka itu, pada bagian yang bertulis ‘Muis’. Bersamaan ketika tangan kananku menekan jarum terbesar itu, terdengar suara sapa dari belakang. Ternyata Oba’ Mu’is berdiri di belakangku, samar-samar wajahnya kulihat di bawah sorot redup cahaya bulan. Ia tersenyum. Segera kusembunyikan boneka yang penuh tusukan jarum ke belakang punggung, sambil terus jari jempolku menekan jarum terbesar.

“Di tempat sunyi ini aku ingin bekerja sama denganmu. Aku butuh bantuan pikiranmu guna mencari cara terbaik untuk menghabisi bos tambakku. Nanti jika berhasil, kamu akan kubayar 100 juta,” ucap Oba’ Muis langsung pada inti. Jumlah uang yang dijanjikan Oba’ Muis membuatku melonggarkan tekanan jarum. Sejenak aku tergoda. Tapi aku sudah terlajur bercita-cita ingin jadi tukang sihir, seperti Ki Mat Rombu. Kutekan kembali jarum itu kuat-kuat. Terakhir, aku melihat Oba’ Muis mengerang sakit sambil menekan dadanya. Bulan sabit lalu tenggelam. Keadaan jadi gulita dan tak ada suara apa-apa.

Gaptim, 2023

 

 

TENTANG PENULIS

A.Warits Rovi. Lahir di Sumenep Madura 20 Juli 1988. Karya-karyanya berupa cerpen, puisi, esai dan artikel dimuat di berbagai media  antara lain: Kompas, Tempo, Jawa Pos, Horison, Media Indonesia, Republika, MAJAS, Sindo, Majalah FEMINA, dll. Memenangkan beberapa lomba karya tulis sastra.  Buku Cerpennya yang telah terbit “Dukun Carok & Tongkat Kayu” (Basabasi, 2018). Buku puisinya adalah “Kesunyian Melahirkanku Sebagai Lelaki” (Basabasi, 2020). Sedangkan buku puisinya yang berjudul “Ketika Kesunyian Pecah Jadi Ribuan Kaca Jendela” memenangkan lomba buku puisi Pekan Literasi Bank Indonesia Purwokerto 2020. Ia mengabdi di MTs Al-Huda II Gapura. Aktif di Komunitas Damar Korong dan membina Sanggar 7 Kejora Al-Huda. Berdomisili di Jl. Raya Batang-Batang PP. Al-Huda Gapura Timur Gapura Sumenep Madura 69472. email: waritsrovi@gmail.com. Phone 087866326277.

 

LUSTRATOR

Alexong, Situbondo, 09 September 1999. Kuliah di Universitas Pendidikan Ganesha, Prodi Pendidikan Seni Rupa. Bahagia membaca, menulis, melukis, dan bejualan buku di Instagram @mellebuku. Ia dapat dihubungi melalui akun Instagram @alex.ong1999.


Cerpen: Lelaki Yang Bercita-cita Jadi Tukang Sihir Cerpen: Lelaki Yang Bercita-cita Jadi Tukang Sihir Reviewed by takanta on April 09, 2023 Rating: 5

Tidak ada komentar