Menjadikan Buku sebagai Suluh


pixabay

Oleh: Muhammad Ghufron*
Sekelumit Sosok
Suatu hari di waktu pagi yang cerah, sosok berjanggut tebal itu pernah mempunyai kebiasaan mulia. Duduk mematung di kursi sembari memangku buku ditemani secangkir kopi dan rokok sambil menghadap sinar matahari. Kebiasaan itu dilakukan sehabis bangun dari tidurnya di waktu pagi. Tak banyak yang dilakukan olehnya selain bersetia mencumbui buku-buku. Itulah Karl Marx. Sosok yang menjadikan buku sebagai jembatan menuju lorong-lorong ide dan pemikiran. Membaca buku seolah menjadi ibadah wajib bagi Marx.
Hingga terlahirlah ke dunia, aliran Marxisme yang membawa segudang misi ide-ide tentang Karl Marx.  Das Kapital yang tebalnya berjilid-jilid itu merupakan kitab suci aliran ini. Pemikirannya secara gradual dikaji oleh para pemikir dan tokoh-tokoh dunia sebagai rujukan merevolusi tatanan masyarakat yang sedang mengalami kejumudan yang bertungkus-lumus dengan pengapnya ketertindasan. Itulah mengapa di masa rezim Orde Baru yang bobrok itu, buku ini dilarang terbit dan sempat sesekali dibredel.
Disaat getirnya rezim` Orde Baru bertakhta, muncullah sosok yang hadir membawa segudang ide ke tengah-tengah masyarakat republik Indonesia saat itu. Menawarkan wawasan visioner tentang bangsa. Sebut saja Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Sosok yang dijuluki Sang Guru Bangsa tersebut merupakan representasi dari sebuah ikhtiar melepaskan bangsa dari tubir kehancuran.
Serupa dengan Karl Marx, Gus Dur merupakan pembaca buku yang ulung dan tekun. Semasih duduk di bangku MTs dirinya telah berhasil menghatamkan Das Kapital nya Karl Marx yang tebalnya berjilid-jilid itu. Baginya mencumbui buku merupakan suluh mengimajinasikan bangsa dan rujukan menambah horizon pengetahuan.
Barangkali wawasan kebangsaan yang lekat dengan pluralisme terlahir dari kebiasaan yang mulia satu ini. Sebab menjadi musykil membidani ide-ide segar tentang wawasan pluralisme jika tidak merujuk pada buku-buku.
Itulah Gus Dur dan Karl Marx. Dua sosok pembaca buku yang selalu mengakrabi aksara-aksara, menjadikan buku sebagai suluh menerangi kegelapan. Kini keduanya merupakan salah satu representasi sosok manusia abadi yang karya-karyanya tak akan lenyap begitu saja dalam rajutan narasi intelektual umat manusia. Kini keduanya telah mangkat. Meninggalkan warisan berupa karya-karya yang patut kita renungi bersama. Tentunya ihwal laku  literasi yang harus kita tiru.
Ada Suluh dalam Diri Pembaca.
Sekelumit dua sosok berkekasih buku seamsal Marx dan Gus Dur mengajarkan kita betapa redupnya jika dunia tanpa buku. Seisi manusia di muka bumi ini seketika berubah menjadi janggal dan berpongah-pongahan jika masih menampik gairah literasi.
 Ada yang jadi tukang jagal dengan karakter antagonis yang merindukan perkelahian sesama manusianya, ada juga yang selalu menyetubuhi kebencian hingga lahirlah anak haram yang dinamai permusuhan. Dan masih banyak lagi kejanggalan-kejanggalan yang timbul akibat kita tidak mencumbui buku dan mengambil hikmah di dalamnya.
Kini kegamangan dan rasa waswas untuk menepaki jalan masa depan semakin terasa. Kompleksitas kehidupan umat manusia terbelenggu oleh jalan buntu. Sebab ide-ide dan wawasan tak lagi mengalir secara jernih. Seketika menjadi beku. Inilah sepenggal gambaran nestapa yang tercipta akibat kita menarik diri dari buku- buku. Sains menjadi mati. Sastra seketika bungkam. Dan pemikiran pun ikut-ikutan macet.
Lihatlah sejenak kondisi bebal pemuda-pemuda kita yang jauh dari buku-buku. Kita sungkan meratapi problem anak muda yang semakin mengacuhkan diri dari gairah literasi. Akan tampak ke permukaan perdebatan-perdabatan ngelantur tanpa makna yang dibuat untuk menunjukkan eksistensinya sebagai seorang intelektual. Semuanya hanyalah bungkus yang terlalu bergagah-gagahan menang sendiri. Padahal apa yang dibicarakan nir- referensi.
Jika kita hendak kembali sejenak megafirmasi diktum Latin yang berbunyi “ Historia Magistra Vitae”. Sejarah adalah guru kehidupan. Maka kita akan kembali menemukan secercah inspirasi yang berpendar relevan untuk kita kontekstualisasikan hingga kini. Inspirasi itu berkelindan ihwal sejarah Indonesia merdeka yang tidak bisa dilepaskan begitu saja dari kuatnya basis membaca founding fathers.
Lihat saja pergumulan heroik Tan Malaka, Bung Karno, Syutan Sjahrir, dan Bung Hatta dengan buku-buku. Tan Malaka misalnya, saat hendak studi ke Belanda seorang ibu kosnya berkata wajah Tan Malaka seolah berwarna hijau saking terlalu lamanya mencumbui buku.
Hal serupa juga terjadi pada diri Bung Hatta saat diasingkan ke Digul. Dirinya masih menyempatkan diri mengemas buku-bukunya sebanyak 16 peti. Bahkan dari saking mulianya buku dalam diri Hatta, jangankan tangan manusia, setitik debu pun harus hilang dari setiap buku. Lain halnya dengan Bung Karno yang menjadikan buku sebagai mahar meminang sang istri, ibu Rahmi.
Tak ayal jika pada masa kolonial Belanda, ide-ide mereka sanggup mengisi relung-relung publik sebagai pemantik api perjuangan. Mereka sanggup menjadikan buku sebagai suluh mengimajinasikan bangsa dan menjadikan gairah literasi sebagai laku hidup mereka.
Bagi mereka buku menjadi bungkus sekaligus substansi yang bisa menjadi penuntun ke arah pemuliaan adab bangsa Indonesia. Berusaha mengambil hikmah dibalik buku untuk kemudian dimanifestasikan dalam laku sehari-hari. Karenanya buku merupakan sirkulasi pengetahuan yang bisa dijadikan teman setia sambil merenungi hakikat diri sebagai manusia. Dengan begitu, buku menjadi semacam pemantik untuk mengaktualisasikan proses humanisasi dalam ranah praksis.
Membungkus diri dengan buku, berarti kita telah berupaya membangun narasi intelektual. Kita lalu menjadi manusia yang tak hanya mematutkan diri seraya menghamba pada sampah-sampah peradaban. Sebab dalam diri kita telah tersublimasi hikmah adiluhung yang terdapat dalam buku-buku. Itulah mengapa K. H. Zainal Arifin Thoha pendiri komunitas Kutub berujar, “ Bacalah semua buku. Jangan takut. Tuhan bersama bersama pembaca buku”.
Tuhan kita telah memberi salah satu suluh itu dalam buku. Para pembaca buku mempunyai nyali untuk menapaki jalan terjal, berbatu, dan berduri dihadapan para pemuja anti kebenaran. Sebab  dirinya  telah terbekali oleh petunjuk Tuhan yang termanifestasi dalam buku. “Tuhan kita termanifestasi dalam buku”. Ucap Azyumardi Azra suatu kali dalam Musyawarah Buku.
Tak perlu cemas menghadapi situasi kehidupan berbangsa dan bernegara yang semakin dinamis. Sebab kita telah mengantongi pundi-pundi pengetahuan yang bisa meluncurkan ide-ide untuk membidani lahirnya negara yang berdaulat. Bukankah secara historik ideologi bangsa kita terlahir dari pergumulan ide-ide pendiri bangsa?
Akhirnya, melakukan ikhtiar dengan membaca buku, kita seolah menerobos lorong-lorong pengap kejumudan. Pikiran pun seakan dibiarkan bertualang menjemput pengetahuan. Sekalipun raga di belenggu, namun pikrian akan tetap leluasa bertualang menyusuri taman-taman pengetahuan. “Kalian boleh saja memenjarakanku asalkan aku bersama buku, karena dengan buku aku bebas”. Demikian Bung Hatta berujar. []

 *)  Alumnus PP. Annuqayah  Lubangsa dan MA 1 Annuqayah Guluk- guluk Sumenep Madura. Karya-karyanya pernah dimuat di sejumlah media seperti, Radar Madura, Kabar Madura, Mata Madura, NU Online dan Laduni.id.


Menjadikan Buku sebagai Suluh Menjadikan Buku sebagai Suluh Reviewed by takanta on Juli 11, 2019 Rating: 5

Tidak ada komentar