Jihu Rasa Puisi



Saya tidak punya menu khusus dalam hal makanan. Saya bisa makan dengan menu-lauk apa saja dengan sama nikmatnya. Misalnya, saya bisa makan dengan lauk mie instan yang sudah direbus plus menu tambahan ikan bakar. Bagi sebagian orang, paduan menu tersebut mungkin terasa aneh dan tidak nyambung. Apalagi Anda yang hidup dalam keluarga yang lihai memasak. Kebiasaan saya itu pastilah jadi bahan olok-olokan yang renyah. Tapi, saya tidak peduli. hehe
Ketika makan, saya pun tidak bisa duduk di satu tempat. Makan pertama di depan TV, kalau nambah, saya bisa pindah ke dapur atau ke teras depan. Di teras depan, saya biasa makan dengan ditemani ayam-ayam kampung piaraan saya. Biasanya saya berbagi makanan dengan mereka. Sambil makan, kepala ikan, tulang, dan gumpalan nasi yang agak keras saya lempar ke kerumunan ayam. Mereka rebutan. Saya bahagia.
Semua itu karena saya ingin menikmati apapun yang ada di sekitar saya. Yang ditakdirkan datang untuk saya. Sederhana. Mengalir saja. Makanan-makanan itu, adalah rejeki yang Tuhan kirim untuk saya. Mana mungkin saya menolaknya hanya karena penilaian rasa sebagian orang bahwa itu menu yang tidak cocok. Tidak nyambung dimakan bersamaan. Sedangkan ayam-ayam itu. Mereka adalah kawan makan yang baik dan menyenangkan. Karena berkat mereka, tidak ada yang mubazir dari sisa makanan yang tertinggal di piring. Yang sengaja tidak dihabiskan karena alasan kenyang dan sebagainya.
Tapi hari itu, saya tidak ingin berbagi makanan dengan ayam-ayam saya. Karena saya sedang tidak di rumah. Saya sedang berada di Nine Cafe bersama Imron. Pagi itu, saya baru bangun tidur. Dari lantai dua saya turun ke lantai satu.Saya lihat Imron sudah bangun. Ia main laptop. Saya lihat ia memutar lagu via youtube. Saya duduk persis di samping Imron.
“Kok gak ada makanan, ya,” ujar saya sambil melihat-lihat sekitar ruangan.
Imron tidak merespon. Ia tetap main laptop sambil senyum-senyum sendiri. Saya rasa dia mulai kesurupan jin cafe atau jangan-jangan dia tidak sepenuhnya sadar. Masih ngelindur. Saya tengok laptopnya, ternyata dia sedang menonton kartun. Dia mutar lagu plus film kartun secara bersamaan. Ya Allah, seusia Imron tontonannya masih kartun. Pantas saja kalau dia gak berani menikah karena mungkin alam bawah sadarnya masih anak-anak. Masih unyu-unyu. Tapi, jangan khawatir, dia sudah tunangan, kok.
Jihu ala Wilda
Tidak berapa lama dari keanehan Imron, Wilda datang. Ia menyalami saya dan Imron kemudian duduk di sebelah kanan saya.
“Wilda bawa apa itu?” ujar Imron.
“Jihu, mas,” jawab Wilda.
“Wah, enak itu. Cobalah buka. Saya lapar ini,” lanjut Imron.
Asem Imron ini. Tadi saya ajak ngobrol gak merespon. Giliran ke Wilda langsung nyambung. Benar-benar lelaki dengan perangkat sensor perempuan yang lebih dominan Imron ini
Tanpa pikir panjang, Wilda langsung mengeluarkan kotak oval dari dalam bungkus plastik. Saya lihat gorengan dengan bahan tepung-tahu yang ditaburi sambal cabai mentah yang ditumbuk. Mirip sambal geprek. Belum mencicipinya, saya sudah kebayang pedasnya. Ubun-ubun sampai merespon salting khas orang kepedasan.
                                                                       ***
Ini kali ke tiga saya makan jihu. Sebelumnya saya dua kali makan di rumah. Adik saya biasanya beli di warung sebelah rumah. Harganya menyesuaikan. Seribu dapat dua potong, dua ribu dapat empat potong dan seterusnya. Mau beli seribu atau dua ribu rasa pedasnya menurut saya tetap sama. Lain hal dengan jihu buatan Wilda.
Ada yang berbeda dari jihu yang biasa saya makan dengan jihu buatan Wilda. Jika biasanya saya makan jihu dengan cita rasa khas pedagang, kali ini saya makan jihu khas penyair. Wiihh.. keren gak tuh? Tapi, memangnya apa sih bedanya?
Ini pengalaman pertama saya makan jihu rasa puisi. Saya coba mengalisisnya.
Wilda datang ke cafe seorang diri dengan menenteng plastik berisi jihu. Wadahnya terbuat dari plastik putih berbentuk oval. Wilda datang tanpa senyum dan tanpa banyak bicara. Ia seperti murung atau jangan-jangan bersedih. Jika dipuisikan kira-kira yang terjadi kalimat seperti ini:
Pada kesendirian yang tak pernah beranjak ini
            Aku menemui sepi yang teramat panjang
            Kujinjing sebungkus air mata dari mataku, menemuimu
            Agar Kau tahu, hatiku masih bersedih karena kepergianmu
Wilda membawa jihu dengan menyertakan 4 tusuk lidi yang ujungnya sudah lancip. Saya, Imron dan Zaidi memakainya untuk mengambil jihu di dalam wadah. Kemudian melahapnya. Wilda seolah ingin bilang bahwa,
            Kau tahu, hatiku masih luka
            Kedatanganmu,
Sebagaimana kepergianmu yang tergesa-gesa itu
            Membuatku tertusuk-tusuk oleh senyummu
Senyummu yang kini ku sadari hanyalah palsu
            Palsu!           
Saya berkali-kali bilang ke Wilda kalau jihu buatannya benar-benar enak. Paduan tepung dan tahunya tidak begitu lengket. Ini bertolak belakang dari jihu yang sering saya makan di rumah. Renyahnya mantap. Tidak terlalu kering, juga tidak terlalu basah. Wilda seolah ingin menyampaikan pesan bahwa ia tetap tabah.
            Biarlah luka ini mengering bersama kepergiannmu
            Biarlah bekas senyummu terhapus oleh sakitku atas kepalsuanmu
            Biarlah hati ini menghapus namamu dengan airmataku
            Tak ada yang perlu ditulis lagi
            Tidak ada!     
Jihu di mangkok putih itu sudah tandas. Saya, Imron dan Zaidi menikmatinya dengan cara yang berbeda. Dengan kekhusukan yang berbeda. Zaidi lebih banyak melahapnya dengan pelan dan tanpa komentar. Sementara Imron pura-pura kenyang padahal masih lapar. Lah, buktinya dia lahap sampai potongan jihu terakhir kok. Sepertinya Imron memang kesurupan jin cafe.
Bagi saya, jihu buatan Wilda lebih banyak berpuisi. Ia seolah merangkum kesedihan di hati Wilda yang berkali-kali dirundung sepi dan kehilangan. Benarkah demikian, Wilda?            

*) penulis merupakan seorang lelaki yang dirundung duka dan kehilangan.

Jihu Rasa Puisi Jihu Rasa Puisi Reviewed by takanta on Juli 29, 2019 Rating: 5

Tidak ada komentar