Cerpen : Karet Gelang Pemberian Ibu

pixabay
Oleh: Dani Alifian

Bagaimanapun ia adalah ibuku, surga ada ditelapak kakinya.
Sebelum aku pergi merantau, ibu berpesan agar menjaga karet gelang ini dengan baik. Aku masih ingat ibu memberikan karet gelang berwarna merah polos ini ketika aku berpamitan untuk menggapai cita-cita di kota. Dengan berhati-hati ibu mengenakannya pada tangan kiriku sembari berpesan “Karet gelang ini, jangan sampai kamu lepas,” diuliknya gelang itu dengan baik, ibu mencengkram mesra pergelangan tangan kiriku. Ibu juga berkata suatu saat nanti aku akan menemukan karet gelang yang sama pada pergelangan tangan yang berbebeda.
Aku mendengar dari nenek karet gelang yang ibu berikan padaku itu sama seperti yang dipakai pada tangan kiri ayah. Karet gelang itu bukti kasih yang mengikat orang tuaku. Ayah memberi ibu mahar karet gelang lantaran ayah tidak cukup biaya untuk membelikan ibu perhiasan yang mewah. Nenek juga bercerita tentang sosok ayah yang hingga kini tak pernah kembali, dan aku juga tak tahu dimana ia berada. Kata nenek ayah saat ini berada di kota yang tengah aku tuju, bekerja serabut untuk menghidupi dirinya sendiri, meski sebenarnya nenek tidak tahu tepat dimana ayah berada.
Ibu tidak pernah berkehendak untuk menceritkan sosok ayah padaku, ada semacam rasa yang tertahan di kedalaman hatinya. Rasa yang sejak lama ia pendam sendirian sembari membesarkanku. Sejak aku berumur 2 tahun, ayah sudah tidak pernah pulang, bahkan ayah sudah berhenti mengirimi kami uang.
Ibu terpaksa mencari usaha sebagai bekal penghidupan, saat itu keluarga kami begitu kesulitan. Ditambah nenek yang sudah tidak mampu bekerja, juga menjadi beban tanggungan ibu. Mulanya, ibuku usaha berjualan bakso, namun tidak bertahan lama. Rencana yang ibu gagas pertama kali itu menemui kegagalan setelah seorang pembeli dengan terang-terangan mengatakan bakso buatan ibu rasanya ambyar. Ibu kemudian tersedu, aku yang masih berumur 10 tahun kala itu belum mengerti mengapa ibu begitu sedih seperti itu.
Setelah kegagalan usaha pertamanya, keluarga kami harus mencari pinjaman sana sini. Hutang keluarga kian membengkak, ditambah rentenir yang datang saban Senin untuk menagih hutang ayah. Hingga suatu hari rentenir yang dikenal orang kampung merangkap menjadi mucikari menawari ibu sebuah pekerjaan.
Aku masih belum paham ibu bekerja sebagai apa, dimana kantornya, dan siapa bosnya. Kala itu aku masih berusia 10 tahun lebih 7 bulan. Setiap jam 3 malam, saat nenek tengah membangunkanku untuk salat malam, ibu terlihat sudah terkapar di atas dipan dengan baju setengah lengan, dan rok mengangkang, lengkap lipstik merah marun yang belum layu dari bibirnya. Aku bertanya pada nenek “Mengapa ibu tidak nenek bangungkan?”.
“Ibumu pasti masih kecapekan, ia harus bekerja keras membanting tulang”, setiap nenek berkata kalimat itu air matanya selalu mengucur. Seusai salat aku amati sajadah nenek yang basah dengan linanga air mata. Sejak kejadian itu aku tidak tega untuk bertanya lagi soal ibu.
***
“Hei jangan kabur,” ucapku dengan nada terangkat mengacungkan pistol siap membidik kaki seorang pencopet yang mencuri dompet. Copet itu tidak menghiraukan ucapanku, ia terus berlari sebisa yang ia jangkau. Umurnya yang lebih tua sekian puluh tahun dariku membuat staminanya tidak stabil. Aku hanya terpaut beberapa langkah dibelakangya, sementara pistol ditanganku sudah siap dengan peluru hendak menyembur ke arah si pencopet.
Saling kejar mengajar pun terjadi, sementara jauh tertinggal di belakang dua anak buahku yang tengah berusaha menenangkan korban yang baru saja dicopet dompetnya. Aneh rasanya seorang copet begitu berani melancarkan aksinya didekat petugas berseragam cokelat hitam yang siap berjaga-jaga keamanan lalu lintas.
“Darr” si lelaki paru bayu itu jatuh tersungkur, tidak kuat lagi melangkah. Dari saku kiri celana dinas cokelat hitam kukeluarkan borgol, dengan aba-aba sudah siap meringkuknya.
“Mau kemana kamu, sudah diam,” entah mengapa setelah kuucapkan kalimat itu, tanganku tertahan, mataku terbelalak melihat karet gelang berwana merah ditangan lelaki itu. Dompet yang dicurinya ia sembunyikan dibalik punggung, dengan tangan kanan. Sementara tangan kirinya hendak menghalau borgolku. Kita saling menatap dengan wajah seolah sudah saling mengenal sebelumnya. Sembari memelas rasa kasihan ia berkata dengan nada sengau pada ku “Pak jangan tangkap saya, saya mencuri hanya untuk makan pak, tidak lebih.”
Aku masih terdiam lalu ingat pada cerita nenek dan pesan ibu tentang karet gelang pemberian ibu, dengan merendah aku bertanya pada lelaki itu. “Bapak dari mana?”
***
Setelah aku beranjak dewasa, aku memutuskan untuk merantau ke kota. Tempat dimana ayah katanya hidup disana, meski aku tidak tahu dimana tepatnya. Aku sangat ini memeluk ayah, merasakan kasih sayang seorang ayah pada anaknya. Belaian tangan kasar dan luapan kasih sayang seperti yang kulihat ketika hari perpisahan sekolah. Aku akan mengajak ayah kembali ke kampung berkumpul menjadi keluarga yang utuh kembali, dan ibu bisa berhenti bekerja banting tulang.
Saat itu aku sudah mengerti ibu bekerja sebagai apa, tetapi aku tidak kuasa untuk menyebut ibu demikian. Aku juga tidak enak hati melarang ibu berhenti bekerja, bagaimana pun ia tetaplah ibuku, surga berada di telapak kakinya. Aku bisa menyelesaikan pendidikan menengah atas juga berkat keringat ibu.
Setelah aku lulus dari sekolah menengah pertama, kesehatan nenek semakin memburuk. Usia nenek sudah begitu renta, memasuki awal pendaftaran sekolah menengah atas ibu kebingungan mencari biaya pendidikan. Meski begitu, ia selalu meyakinkanku “Nak, kamu harus tetap lanjut, masalah biaya biar ibu yang usaha, ada kemauan pasti ada jalan.”
Beruntung dan menyedihkan, menjelang beberapa hari sekolah yang aku tuju menutup pendaftaran, nenek kutemukan sudah tidak mengeluarkan napas sedikit pun diatas sajadah tempat biasanya ia menangis.
Saat itu hari masih sangat dini, sekira pukul empat lebih beberapa menit. Aku bangun dari tidur merasa bersalah pada nenek dan Tuhan karena telah melewatkan salat malam. Ketika beranjak dari tempat tidur aku beranggapan nenek mungkin lupa untuk membangunkan. Aku segera bergegas menuju kamar mandi untuk kemudian menunaikan salat subuh. Di tempat salat biasanya aku beribadah bersama nenek, kutemukan ia tengah sujud. Setelah selesai dari salat, nenek masih dalam keadaan sujud, merasa ada yang aneh aku menunggu beberapa saat. Hingga sepuluh menit berlalu, nenek masih dalam posisi yang sama.
Akhirnya ku berikan diri untuk membangunkan ibu. Meski kelihatannya ibu baru pulang beberapa jam yang lalu, dengan baju setengah lengan, dan rok yang mengangkang. Ibu membaringkan nenek dengan ekspersi yang datar, dalam beberapa saat ibu berkata “Nenekmu sudah mati, besok kamu bisa pergi mendaftar ke sekolah itu, biaya tanggungan ibu sudah berkurang.” Aku senang sekaligus sedih mengdengar ucapan ibu yang tetap dengan wajah datar.
Karena keterbatasan biaya, nenek dimakamkan dengan prosesi alakadarnya. Ibu tampak tidak begitu bersedih, akupun demikian. Berkat kematian nenek itulah beban ibu semakin berkurang, dan aku bisa melanjutkan pendidikan.
***
Poncopet itu tidak kunjung menjawab pertanyaanku, ia hanya tertunduk sayu. Dari matanya kuamati ada yang tengah ia tahan, nampaknya bapak itu terisak. Aku melupakan cerita nenek, bapak itu diringkus oleh dua orang anak buahku yang datang beberapa saat setelah bapak itu jatuh tersungkur.
Dompet yang ia sembunyikan telah aman ditanganku, lalu kuberikan pada pemiliknya. Tetapi ditanganku kini ada satu dompet kulit dengan bagian luarnya mengelupas. Kubuka dompet itu, isinya kosong kerontong, menyisakan beberapa kartu tanda pengenal. Kuraih salah satu kartu yang ada di dalamnya. Tertulis identitas dengan alamat sama persis dengan alamat rumahku, Jl. Sriwolutunggal, no 125, Kec Samagenang, Cilacap, Jawa Tengah. Kuamati dalam-dalam foto pria dalam kartu itu. Aku seperti begitu akrab dengan guratan di wajahnya. Dan kemudian aku ingat ciri lelaki pencopet itu, karet gelang merah di tangan kirinya.
Segera aku bergegas menuju mobil yang telah siap meringkusnya. Dari arah belakang kuteriakkan sebuah panggilan dengan keras, “Ayah,”dengan segera lelaki itu berkelibat dari pegangan kedua temanku. Ia berlari dengan kaki tertatih, dan memelukku.

BIODATA PENULIS
Dani Alifian, penulis merupakan mahasiswa semester 2 PBSI – Universitas Islam Malang. Buku antologi puisi pertamanya berjudul Harta, Tahta, Wanita (2019). Saat ini aktif menulis di beberapa media daring, dan blognya sendir bacotsam.wordpress.com. Dapat dihubungi melalui IG: @dani_alifian, Akun FB: dani alifian,Twitter: @dani_alifian Nomor telepon: 082338868178.

Cerpen : Karet Gelang Pemberian Ibu Cerpen : Karet Gelang Pemberian Ibu Reviewed by takanta on Juli 23, 2019 Rating: 5

Tidak ada komentar