Takanta: Dua Tahun (Semoga) Menjadi Diri Sendiri



Apakah setiap hal perlu dirayakan? Bagaimana cara merayakannya?
Setiap bulan Juli tiba, saya berusaha menikmatinya dengan biasa. Melewati setiap pergantian tanggalnya tanpa menyiapkan sesuatu yang spesial. Padahal, satu hari di bulan itu, saya menerimanya sebagai hari saya dilahirkan. Sebagaimana yang tercatat pada akta kelahiran dan ijazah, tanggal 8 Juli ini: meski tanpa balon, kue tar dan nyala lilin, harusnya saya juga merayakannya lalu berlagak bahagia.
Bulan ini, sudah 26 tahun saya hidup. Diberi kesempatan oleh Allah. Sejauh itu pula saya tidak sekalipun merayakan ulang tahun. Saya selalu gagal merayakan dan dirayakan. Saya gagal merayakan karena pembiasaan orang tua saya sejak kecil yang tidak pernah mau merayakan ulang tahun. Sebagaimana orang desa pada umumnya kala itu.
Teman-teman sekolah saya juga gagal merayakan ulang tahun saya. Karena di bulan Juli biasanya sudah masuk masa libur sekolah. Libur semester genap. Belakangan saya menyadari lahir di bulan Juli ternyata memberi saya bahagia yang lain. Setidaknya, saya terhindar dari lemparan tepung dan telur di sekolah.
Apakah Anda mengalaminya? Saya ucapkan selamat.
Tunggu dulu. Mengapa ada tepung dan telur di perayaan ulang tahun? Bukankah dua benda itu lebih cocok diracik atau diolah menjadi kue, perenyah makanan dan semacamnya. Sehingga lebih tepat guna dan bermanfaat. Apakah kita terlambat membayangkan bahwa ada orang-orang di ujung sana yang kesulitan membeli bahan meskipun hanya tepung dan telur. Sehingga perayaan dengan cara seperti itu tidak menjadi lumrah yang salah kaprah.
Lebih jauh lagi, mengapa terbiasa pakai kue tar yang di atasnya dinyalakan lilin berbentuk angka sesuai usia yang merayakan? Yang pada akhirnya, nyala lilin itu harus ditiup sampai mati lalu semua bertepuk tangan. Sampai sekarang saya berpikir meniup lilin di acara ulang tahun itu simbol kematian dengan tepuk tangan sebagai perayaannya. Apakah itu merayakan kematian? Oh, tentu tidak. Bahwa ada pendapat semakin hari usia manusia berkurang alih-alih bertambah itu soal keyakinan. Tapi, ulang tahun tetap menjadi perayaan yang membahagiakan dan orang-orang yang datang turut mendoakan supaya yang ulang tahun diberkati, panjang umur dan bahagia. 
Tetapi, apakah itu sebenar-benarnya identitas kita dalam merayakan ulang tahun?
                                                                    ***
Pemerintah Situbondo sepantasnya bersyukur punya rakyat dengan energi kreatif yang tidak pernah surut. Ketika para birokrat kota kebingunan menyusun program kunjungan wisata dan masih kelimpungan mencari identitas dirinya, sejumlah pemuda-pemudi Situbondo sudah bergerak lebih tangkas. Mereka berkumpul dan bersinergi di ruang publik: warung kopi, trotoar kota dan alun-alun. Merencanakan setiap ide di kepala menjadi tindakan nyata yang sederhana namun menyenangkan.
Sebagaimana lahirnya Takanta.id, website kaum muda Situbondoan. Website ini dikelola secara mandiri oleh beberapa pemuda. Mereka merupakan teman-teman yang lahir dari rahim dunia tulis-menulis seperti: KPMS dan GSM. Awak redaksinya  hanya 2 sampai 4 orang. Tetapi, website ini sudah berani menyediakan banyak rubrik. Ada 10 rubrik: apacapa, ngaleleng, apresiasi, kakanan, feminis, komik, cerpen, puisi, cerbung, dan ulas.
Secara kebaruan atau updating tulisan, website tersebut masih lebih aktif daripada website resmi pemerintah kota. Menurut Imron, pemred takanta.id, setiap harinya ia bisa menerima 2 sampai 3 naskah yang dikirimkan penulis secara suka rela. Artinya, semangat untuk menghidupi website tersebut telah menyala. Ada kesamaan harapan tentang tersedianya ruang publik maya yang memfasilitasi laku kreatif kaum muda Situbondoan tanpa batas dan syarat. Sebuah angin segar yang layak dinikmati dan dirayakan bersama.
Sabtu, 6 Juli 2019 Takanta.id berulang tahun yang ke-2. Sebagai rasa syukur atau katakanlah rasa bahagia, awak redaksi menyiapkan acara ulang tahun. Konsepnya sederhana: berbagi rasa dan kenangan. Ya, diskusi atau berbagi proses kreatif dari beberapa penulis situbondoan yang baru-baru ini menerbitkan buku terbarunya. Ada juga dialog dengan beberapa pegiat blogger, desainer grafis dan content creator. Serta diskusi publik tentang perkembangan literasi di Situbondo.
Di ulang tahunnya yang ke-2 ini, saya berharap Takanta.id tetap menjadi dirinya. Ia tidak harus menjadi mojok.co atau tirto.id cabang Situbondo. Sekali lagi, tetaplah menjadi diri sendiri, yang berpihak pada kaum tertindas, yakni: mereka yang putus cinta dan patah hati. Takanta.id harus jadi penyeka air mata mereka yang dihantam pahitnya kehilangan dan perpisahan.
Selamat ulang tahun, Takanta.id. Panjang umur, kenangan.

*) penulis adalah pendiri Komunitas Literasi Sumberanyar.   

Takanta: Dua Tahun (Semoga) Menjadi Diri Sendiri Takanta: Dua Tahun (Semoga) Menjadi Diri Sendiri Reviewed by takanta on Juli 05, 2019 Rating: 5

Tidak ada komentar