Jika Jurnalisme Bukan Monopoli Wartawan*


Press, Journalist, Photographer, News, Headlines
Jurnalisme selalu identik dengan profesi wartawan. Bahkan ada yang menyebut wartawan ialah orang yang hidup dan bernapas dari bahasa. Profesinya menuntut mereka agar selalu berkecimpung dan berkreasi dalam bahasa. Mulai dari penggodokan konsep di meja redaksi hingga proses wawancara dan reportase, lalu menyusunnya menjadi satu karya jurnalistik berupa berita.
Namun, sejak menjamurnya media dalam jaringan (daring) atau media online, karya jurnalistik wartawan dipandang sebagai perusak bahasa. Sebagaimana tulisan Fadjriah Nurdiarsih di liputan6.com bahwa “media massa pun mulai tercemari dengan gaya berbahasa yang bertujuan menarik lebih banyak pembaca”. Banyak wartawan telah mencampuradukkan bahasa lisan ke dalam penulisan beritanya. Dari kejadian itu antara wartawan dan editor dianggap telah mengubah fungsi berita yang harusnya mengungkap, malah mendekatkan.
Fadjriah mencontohkan media IDN Times yang menampilkan artikel berjudul “Kenapa Sebagian Perempuan Alami Nyeri Haid Berlebihan? Ini 7 Faktanya”. Viva.co.id menampilkan artikel berjudul ”5 Alasan Wanita Nikahi Daun Muda, Nomor 4 Mengejutkan”. Lalu, detik.com menampilkan artikel berjudul ”Ikan Hiu Ramai-Ramai Datang ke Pantai Israel, Mengapa?”.
Judul-judul itu tentu saja melanggar kaidah penulisan bahasa dan penggunaan bahasa jurnalistik yang harusnya judul ditulis dengan jelas, sehingga pembaca dapat menggambarkan isi beritanya. Namun, sekali lagi, gaya penulisan judul seperti itu hanyalah bertujuan untuk membuat pembaca penasaran sehingga media yang bersangkutan dikunjungi banyak pembaca. Karena semakin banyak pembaca, maka medianya menjadi semakin populer, mengundang para pengiklan, dan mendapat keuntungan. 
Kalau hanya ingin mengejar keuntungan, sehingga media-media melanggar kaidah penggunaan bahasa, menurut saya itu hanya strategi media untuk bertahan hidup saja. Karena pertanggungjawaban media ialah kepada masyarakat pembacanya, maka semua tergantung pada pembacanya. Apabila pembacanya sudah semakin cerdas bermedia dan tidak mau mengonsumsi berita-berita tersebut, pasti jumlah kunjungan ke media daring akan turun dengan sendirinya.
Persoalannya sekarang ialah bagaimana cara media menyiasati dengan diterbitkannya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 63 Tahun 2019 tentang Penggunaan Bahasa Indonesia. Jika dalam Perpres sebelumnya Nomor 16 Tahun 2010 hanya mengatur penggunaan bahasa Indonesia dalam pidato resmi presiden dan/atau wakil presiden serta pejabat negara lainnya, sedangkan perpres terbaru sudah mengatur lebih luas lagi. Salah satunya ialah penggunaan bahasa Indonesia harus memenuhi kriteria yang baik dan benar dalam informasi melalui media massa.
Ketika aturan ini mulai ditetapkan, maka semua media wajib menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Lalu, pertanyaannya ialah 1) bagaimana nasib kebebasan berkreasi bagi media (wartawan dan tim redaksi) untuk bermain-main bahasa?; dan 2) bagaimana jika ternyata masyarakat pembaca masih condong pada media yang gaya bahasanya kurang memperhatikan kaidah? Tentu ini akan menjadi tugas berat pemerintah untuk meyakinkan pihak media dan masyarakat pembaca tentang arti pentingnya penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Namun, menurut pendapat saya, antara media dan masyarakat pembaca ialah setali tiga uang. Untuk mengubah media, maka harus juga mengubah masyarakatnya. Dibutuhkan kreativitas yang sangat tinggi untuk membuat perubahan. Tentu saja bentuk kreativitas yang harus bisa melampaui kecerdasan media dan masyarakat dalam menggunakan bahasa.
Mengutip cuitan Ariel Heryanto “Bahasa yang hidup dan bergelora dalam masyarakat itu ibarat samudera yang luas, terbuka, dan dinamis. Bahasa yang direkayasa segelintir elit ahli itu ibarat air dalam kotak kaca akuarium”.
Kalau ternyata pemerintah masih ragu dengan kemampuannya, sebaiknya jangan dilakukan sama sekali. Biarkanlah media dan masyarakat semakin cerdas berbahasa secara alamiah.
Jika jurnalisme bukan monopoli wartawan, bahasa juga bukan monopoli wartawan apalagi pemerintah. []
-----------------------------------------------
*) Tulisan ini merupakan materi seminar “Bahasa dalam Pena Jurnalisme” yang diselenggarakan Pusat Bahasa Universitas Abdurachman Saleh Situbondo, pada 21 Oktober 2019.

Jika Jurnalisme Bukan Monopoli Wartawan* Jika Jurnalisme Bukan Monopoli Wartawan* Reviewed by takanta on Oktober 21, 2019 Rating: 5

Tidak ada komentar