Timpangnya Demokrasi Tanpa Oposisi



Oleh : Nurul Fata
Membiarkan negara tanpa oposisi dianggap hal biasa di negeri ini. Barangkali pendapat itu hanya berlaku bagi elite-elite politik saja. Ya, karena mereka ini yang kerap melontarkan pernyataan itu. Seolah-olah oposisi bagi mereka adalah kelompok yang harus menentang dan bertentangan dengan pemerintah. Sehingga melahirkan mindset negatif di masyarakat, yaitu adanya oposisi tidak lain hanya untuk memusuhi pemerintah.
Dalam sistem bernegara, pandangan itu bertentangan dengan konsep trias politika ajaran Montesquieu, yaitu pemisahan kekuasaan menjadi tiga: eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Nah, hadirnya legislatif supaya tidak hanya membuat undang-undang, mereka juga dituntut mencegah kesewenang-wenangan pemimpin negara atau presiden. Sehingga di sinilah terjadi check and balance itu.
Artinya, kehadiran lembaga legislatif yang kita kenal “DPR” ini, dari awal seharusnya memposisikan diri sebagai kekuatan oposisi yang riil. Sehingga legislatif tidak hanya jadi “paduan suara yang hanya tahu nyanyian lagu setuju,” (meminjam lirik lagu Om Iwan Fals), yang kemudian dikendalikan oleh eksekutif.
Belakangan ini, pernyataan semacam itu kerap kita dengar lagi dari elite parpol, yang kader-kadernya banyak mengisi kursi lembaga legislatif.
Menanggapi bergabungnya partai yang selama ini berseberangan ke koalisi pemerintah, Ketua DPP PDI Perjuangan Ahmad Basarah menilai hal itu bukan sesuatu yang tabu. Menurut Basarah, dalam Demokrasi Pancasila, oposisi hanya ada saat pilpres (Kompas.com, 16/10).
Senada dengan apa yang disampaikan oleh Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto saat bertemu presiden.
“…kan, kita di Indonesia tidak mengenal oposisi, ya Pak ya?” kata Prabowo yang disambut Jokowi dengan jawaban, “enggih.” (Kompas, 11/10)
Nah, menurut saya, argumentasi yang dibangun oleh Basarah tidak sepenuhnya benar. Jika oposisi hanya ada pada saat pilpres, di mana disintegrasi yang ditunjukkan elite-elite politik menjadi virus perpecahan di masyarakat. Lalu setelah itu disatukan lagi berlandaskan Demokrasi Pancasila, yang kemudian merujuk pada sila ke-3, yaitu Persatuan Indonesia. Justru menimbulkan pertanyaan dalam benak saya, sikap oposisi dalam pilpres itu untuk siapa? Karena oposisi dan kontestasi beda makna.
Baik, kalau memang menginginkan tidak adanya oposisi dalam demokrasi kita, yang tujuannya agar semuanya bersatu. Pertanyaan saya, bagaimana jika kekuasaan negara justru membawa perpecahan? Misal kebijakan di bidang agraria yang tidak berpihak terhadap rakyat, diskriminasi terhadap aktivis dan sebagainya. Lantas siapa yang akan mengoreksi itu, jika legislatif yang dipercaya rakyat sudah tidak menganggap perlu adanya oposisi? Menurut saya, hal itu justru merusak sila Persatuan Indonesia.
Kalau saya boleh mengatakan, tujuan dari argumentasi tersebut adalah untuk mengingatkan pada publik bahwa pemerintah tidak perlu koreksi lagi, karena elite-elite politik sudah berada dalam satu kolam yang sama.
Meskipun ada adagium yang menyatakan bahwa politik itu dinamis dan elastis seperti karet. Harusnya itu cukup berlaku pada saat kontestasi pemilu saja. Yang mana perubahan pilihan begitu saja terjadi seketika lepas dari prediksi-prediksi. Tetapi kalau adagium itu digunakan kaitannya dalam menghilangkan oposisi di parlemen. Untuk apa sistem demokrasi kita pertahankan?
Ya, kita tahu PKS masih konsisten berada di luar pemerintah. Lalu apakah itu yang disebut oposisi?
Dengan posisi PKS itu, lantas sudah memenuhi standar oposisi dalam menjalankan sistem yang demokratis? Tentu tidak. Dalam sebuah negara yang demokratis, perlu adanya oposisi yang kuat, berkualitas. Minimal pihak oposisi ini imbang agar tidak melahirkan demokrasi yang timpang. Oleh karena itu, tidak perlu lah elite-elite parpol yang sebelumnya berseberangan ngemis-ngemis.
Biasanya pihak yang kalah dalam kontestasi. Agar tetap mempertahankan harkat dan martabatnya. Pilihan terbaik adalah memposisikan diri sebagai oposisi.
Seperti Gerindra, PKS, dan PAN apalagi ditambah Demokrat, perlu belajar dari PDI-P yang menunjukkan kesetiaannya kepada pemilih, dengan memilih oposisi  ketika dua kali kalah kompetisi Pilpres.
Sayangnya, beberapa elite-elite parpol di atas belakangan ini, kelihatannya hendak berpaling mengkhianati konstituennya. Padahal sikap politik mereka hari ini menentukan keberhasilan kerja-kerja politik di masa yang akan datang. Hari ini adalah penentu kepercayaan konstituennya di tahun mendatang. Bukan malah menciptakan kekecewaan.
Sebetulnya, tidak hanya para pendukung yang berharap adanya oposisi yang kuat. Tapi harapan yang sama juga datang dari publik secara umum. Agar tercipta demokrasi yang sehat, tidak timpang, tidak buta akan kepentingan rakyat kecil. Ya, kalau masih memaksa, secepatnya saja kembali pada sistem otoritarianisme ala Orba. Biar tidak perlu lagi samar-samar ada penindasan di dalam demokrasi.

Timpangnya Demokrasi Tanpa Oposisi Timpangnya Demokrasi Tanpa Oposisi Reviewed by Redaksi on Oktober 18, 2019 Rating: 5

Tidak ada komentar