Geliat Literasi dan Harapan yang Takkan Mati

 


Oleh Imam Sofyan*

 

Akhir-akhir ini, kata “literasi” mulai menggema di bumi Situbondo. Di mana-mana, saya mendengar celetukan kecil yang bikin senyum-senyum sendiri, “Yak, reng literasi…” katanya sambil lalu, seolah-olah literasi adalah sejenis status sosial baru. Tapi begitulah, kata itu lambat laun jadi akrab di telinga warga. Menyelinap masuk ke obrolan warung kopi, naik motor, atau sekadar lewat di beranda medsos.

Bagi saya, literasi adalah pondasi paling awal, sebelum orang sibuk membicarakan enam macam literasi yang kerap disampaikan secara formal: baca tulis, numerasi, digital, sains, finansial, dan terakhir budaya dan kewarganegaraan. Tapi jujur saja, pegiat literasi tak perlu ribet menyampaikan itu semua secara ndakik-ndakik. Biarkan ia tumbuh alami. Seperti tanaman liar yang mekar karena cinta, bukan karena disiram secara berlebihan.

Kerja literasi itu bukan kerja yang hasilnya langsung kelihatan. Ia bukan mie instan. Bahkan bukan mie yang dimasak pakai kompor gas. Kerja literasi adalah kerja jangka panjang. Bisa jadi hasilnya baru tampak lima, sepuluh, bahkan dua puluh tahun ke depan. Karakter kerjanya pelan, tidak terburu-buru. Bukan seperti lalu lintas informasi digital yang bikin kepala cenat-cenut. 

Saya teringat ucapan Fahruddin Faiz, mengutip pepatah Stoic, “Alam semesta tidak pernah terburu-buru. Tapi semuanya tercapai.” Lalu beliau memberi contoh: matahari dari timur ke barat, apakah dia terburu-buru? Tidak. Biar saja sampai ke barat dengan ritme yang pas.

Begitu juga literasi. Karena ia lebih mengutamakan proses, maka tidak banyak yang betah berjalan di jalur ini. Apalagi orang-orang yang maunya serba cepat dan viral. Padahal, yang instan itu biasanya rapuh. Mudah patah dan gampang hilang. Maka, di titik ini, kerja literasi bisa kita anggap sebagai ibadah. Dan seperti halnya ibadah, ia perlu kekhusyukan di atas rata-rata.

Situbondo, khususnya para pegiat literasinya, patut bersyukur dan berbangga. Literasi bukan hanya jadi wacana, tapi mulai hidup di ruang-ruang nyata. Komunitas-komunitas seperti Bookparty, Situbondo Read Aloud, Besuki Membaca, Takanta, dan lain-lain yang saban minggu menyusun kegiatan secara diam-diam tapi konsisten—semuanya jadi bukti.

Tidak berhenti di sana, pemerintah daerah, dalam hal ini Bupati dan Bunda Baca Situbondo, juga turut meramaikan. Mereka menjadikan perpustakaan sebagai tempat tongkrongan, tempat ngopi, tempat diskusi. Ini menarik. Karena selama ini kita sering lupa bahwa perpustakaan adalah ruang publik yang hangat.

Akhir April kemarin, Bupati dan Bunda Baca Situbondo bahkan menyempatkan diri berkunjung ke Perpustakaan Nasional RI. Ini bukan kunjungan biasa. Ini simbol dukungan. Karena tidak semua bupati peduli pada literasi. Tidak semua bunda baca mau terlibat sejauh itu. Yang terbaru, kabarnya perpustakaan daerah akan dibuka sampai malam. Gagasan sederhana, tapi penting. Karena tidak semua warga bisa datang pagi atau siang hari. Apakah langkah ini cukup? Belum. Tentu belum. Jalan masih panjang. Bahkan bisa sangat panjang. Tapi biarlah Bupati dan Bunda Baca bekerja dengan gaya mereka sendiri. Sementara komunitas literasi tetap berjalan sesuai karakternya—pelan, tekun, dan tahan banting.

Keberpihakan pemerintah Situbondo terhadap literasi patut diapresiasi. Ini bukan pujian kosong. Karena kerja literasi memang berbeda dengan isu lain. Ini bukan hanya soal kegiatan membaca. Tapi menyangkut indeks pembangunan manusia. Dan akan sangat tidak adil jika IPM hanya dinilai dari pendidikan formal. Literasi perlu keterlibatan pemerintah—untuk menjangkau desa-desa, untuk membuat infrastruktur literasi bisa diakses dengan mudah. Literasi perlu ruang eksperimental. Perlu tempat di mana warga desa bisa belajar memasak, melukis, bersastra, atau mengembangkan keterampilan hidup lain.

Anak-anak sekolah juga butuh ruang imajinasi yang hidup di perpustakaannya. Dua hal ini—desa dan sekolah—bisa bergerak bersama kalau ada keberpihakan kebijakan. Ibarat kata, kita sedang menunggu Mas Bupati berseru seperti Vladimir Putin saat menyemangati pasukannya: “Hura!” dan kita semua bisa menjawab dengan gegap gempita: “Huuuraaaa… Huuuuraaaa… Huuuraaaaa!”

Melihat geliat komunitas literasi yang tak henti bekerja, ditambah dukungan pemerintah yang semakin terasa, saya yakin hari-hari yang akan datang akan menyenangkan. Akan ada hari di mana kita lebih sering membicarakan ide-ide, bukan hanya sensasi. Hari ketika kita bisa menertawakan lucunya tulisan warga Situbondo sendiri. Hari ketika kita sibuk ngopi dan berdiskusi: “Buku apa yang akan kita cetak berikutnya?” Bukankah itu menyenangkan, Tuan dan Puan? Nikmat literasi mana lagi yang kau dustakan, kalau acara-acara membaca mulai ramai dan buku-buku lokal mulai jadi bahan obrolan hangat? Iklim ini harus dibentuk bersama. Sebagai bentuk perlawanan yang manis terhadap bisingnya dunia tektoker dan saudara-saudaranya.

Dunia literasi akan mengakar sampai ke desa-desa kalau ibu-ibu PKK mulai mencari resep dari buku-buku di perpustakaan desanya. Kalau petani datang untuk baca tentang teknik pertanian terbaru. Kalau anak-anak dan remaja bisa menemukan dunia baru lewat puisi, cerpen, dan buku-buku nonfiksi. Dan semua itu dimulai dari satu hal: ketersediaan akses.

Saya pribadi menaruh harapan pada Bupati Situbondo sekarang ini. Semoga tak hanya berpihak, tapi juga adil terhadap literasi. Jangan sampai anggaran alat kebersihan di Dinas PUPR lebih besar dari dana untuk perpustakaan dan kearsipan. Meski... ya sudahlah, kalau pun rezim sebelumnya seperti itu, barangkali mereka sedang sungguh-sungguh menerapkan prinsip “kebersihan sebagian dari iman.” Kita husnuzon saja.


*Penulis adalah Pendiri Gerakan Situbondo Membaca. Tukang ojek aplikasi Joker. Kalau sedang tidak narik, biasanya duduk di bawah pohon mangga, membaca buku, atau menulis ini itu sambil berharap literasi tetap tumbuh di tanah kelahirannya.

Editor: Hans.

Geliat Literasi dan Harapan yang Takkan Mati Geliat Literasi dan Harapan yang Takkan Mati Reviewed by takanta on Mei 19, 2025 Rating: 5

Tidak ada komentar